Kamis, 24 Juli 2008

DEMOKRASI ATAU THEOKRASI?

Pada suatu ketika, bangsa Israel mendatangi nabi Natan yang telah menjadi tua dan meminta seorang raja. Permintaan ini mengesalkan sang nabi. Tetapi ternyata bukan hanya sang nabi yang dibuat kesal, tetapi Allah. Ia menyatakan: “sebab bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah yang mereka tolak, supaya jangan Aku menjadi raja atas mereka” (1 Samuel 8:7).

Dari perkataan Tuhan tersebut, terlihat nyata sekali bahwa Ia menghendaki sebuah theokrasi. Allah memerintah dan berkuasa sebagai raja.

Dalam sejarah Israel, khususnya ketika mereka keluar dari Mesir, Theokrasi bukanlah suatu gagasan yang abstrak, sebaliknya justru konkrit. Theokrasi telah terwujud melalui kepemimpinan Musa yang dilanjutkan oleh Yosua dan para hakim dan nabi.

Theokrasi dengan demikian sesungguhnya bukanlah sebuah masyarakat tanpa pemimpin. Pemimpin tetap ada. Namun pemimpin memiliki peranan sebagai penyambung lidah Allah; penerus perintah Allah. Dan Kitab Suci mencatat peranan yang sedemikian, di mana para pemimpin tersebut selalu menyampaikan apa yang menjadi titah Allah, Sang Pemimpin yang sesungguhnya. Musa menegaskan: “Bangsa ini datang kepadaku untuk menanyakan petunjuk Allah” (Keluaran 18:15).

Bukan berarti bahwa dengan demikian pemimpin terlepas dari kesalahan, apalagi dari tanggung jawab. Catatan hidup Musa menunjukkan bahwa ia beberapa kali melakukan kesalahan yang membuatnya menerima hukuman dari Allah.

Allah menghendaki Israel menjadi “kerajaan imam dan bangsa yang kudus” bagiNya (Keluaran 19:6). Allah menginginkan Israel menjadi bangsa yang kudus, yaitu dipisahkan dari bangsa-bangsa lain yang serta –merta berbeda dengan bangsa-bangsa lain tersebut. Mereka dipisahkan untuk menjadi kumpulan imam yang membawa dan memimpin bangsa-bangsa lain beribadah kepada Allah.

Bila melihat hubungan antar sesama yang terjadi dan juga dititahkan Allah, maka kehidupan Israel dalam periode waktu ini bersifat egaliter. Yitro mengajurkan pengangkatan pemimpin-pemimpin kepada Musa hanya dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah hukum di antara rakyat Israel, dan bukan dalam rangka membangun strata sosial-politik dalam masyarakat. Seorang budak Ibrani dapat menjadi seorang merdeka di tahun ketujuh. Bahkan Allah melarang mereka untuk menindas dan menekan orang asing. Ia menyatakan kepada bangsa Israel, “kamu pun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir” (Keluaran 22:21).

Sekalipun Allah menjadi kesal atas keinginan Israel untuk memiliki seorang raja, namun sebelumnya Ia telah mengantisipasi hal tersebut. Hal ini terlihat nyata dalam Ulangan 17:14-20. Ia memberikan sebuah hukum tentang raja kepada Musa, kalau-kalau Israel meminta seorang raja.

Pengangkatan seorang raja atas Israel membawa dampak akan hadirnya kelas-kelas yang berbeda dalam masyarakat yang kemudian hari menjadi sama dengan bangsa-bangsa lain di sekitarnya. Muncul dinasti raja, kelompok bangsawan, saudagar, rakyat biasa bahkan budak-budak. Sesuatu yang sesungguhnya tidak dikehendaki oleh Allah.

Dari sebuah bangsa yang theokratis, Israel berubah menjadi bangsa yang otokratis. Raja memiliki kekuasaan yang tak terbatas. Dapat dikatakan, inilah awal kehancuran Israel.

Ketika Yesus hadir di bumi, ia memiliki banyak murid. Ada setidaknya dua kejadian di mana ribuan orang mengikut Dia. Dari sekian banyak, Ia memilih duabelas orang untuk menjadi rasul-rasulNya (Yun.: apostoloi), yaitu orang-orang utusanNya. Yesus telah menetapkan bahwa pola kepemimpinan yang harus diterapkan para rasul adalah pemimpin yang melayani. Pemimpin pelayan.

Ia menyatakan: “barangsiapa hendak menjadi pemimpin hendaklah ia menjadi pelayan” (Matius 23:11), di mana sebelumnya, Ia juga mengatakan: “Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias” (Matius 23:10).

Ketika Yesus hendak naik ke sorga, Ia terlebih dahulu menunjuk Petrus untuk menggantikan posisiNya sebagai pelayan para pengikutNya. Ia berkata, “Gembalakanlah domba-dombaKu” kepada Petrus. Ia tidak menyatakan: “Pimpinlah domba-dombaKu”, tetapi “gembalakanlah”.

Pengangkatan Petrus jelas sebuah theokrasi; penunjukan langsung oleh Tuhan tanpa disertai persidangan. Tuhan tidak menanyakan pendapat rasul-rasulNya yang lain. Kisah Para Rasul mencatat bagaimana jemaat mula-mula hidup. Banyak di antara mereka yang menjual harta-benda mereka dan membagikannya kepada yang berkekurangan, sehingga keadaannya menjadi seperti yang Paulus katakan: “Orang yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan" (2 Korintus 8:15) mengutip dari Keluaran 16:18.

Pemilihan pengganti Yudas Iskariot bukan menggunakan cara-cara persidangan atau rapat, tetapi undi. Ini adalah metode yang sudah lama digunakan oleh para imam dalam menentukan suatu pilihan. Memang jemaat memberikan dua orang calon. Namun pemilihannya diserahkan kepada Tuhan karena mereka percaya undi yang menggunakan dua buah batu, yaitu urim dan tumim, merupakan sarana Tuhan menunjukkan kehendakNya.

Ketika para rasul memiliki tanggung jawab yang semakin besar dan tidak lagi dapat dipikul, mereka menyerahkan kepada jemaat untuk memilih tujuh orang diaken. Para rasul tidak turut campur dalam pemilihan tersebut. Jemaat memilih ketujuh orang tersebut berdasarkan kriteria penuh iman dan Roh Kudus. Dalam kejadian ini, nuansa demokrasi mulai nampak. Jemaat memilih sendiri, bahkan secara langsung. Jemaat terlibat dalam memilih para pemimpinnya. Namun pemilihan tersebut disertai kriteria-kriteria yang menjadi tolok ukur.

Di sinilah letak perbedaannya. Keduabelas rasul adalah pilihan Tuhan sendiri. Dan kerasulan tidak pernah lagi terulangi dan menjadi hak istimewa keduabelas orang tersebut. Kemudiannya, kerasulan bukan lagi jabatan individual, tetapi disandang oleh gereja yang mewarisi ajaran para rasul.

Namun dalam merintis jemaat, para rasul yang merintis memiliki otoritas untuk memilih para penatua (Yun.: presbuteroi) yang adalah para pemimpin atas jemaat tersebut (Kisah Para Rasul 14:23).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat campuran antara theokrasi dengan demokrasi. Theokrasi dilakukan dengan kesungguhan memohon petunjuk Tuhan tanpa disertai otokrasi dan korupsi, sementara demokrasi dilakukan dengan kepatuhan pada nilai-nilai dan integritas ilahi tanpa disertai intrik-intrik lobi, politik uang dan kekuatan massa, apalagi prostitusi.
(c) Asigor P. Sitanggang

Senin, 21 Juli 2008

SIAPAKAH YESUS YANG ANDA KENAL?

Ketika Yesus berada di kampung halamanNya (kota Nazaret) dan memberitakan Injil di sana, sebagian besar umat Yahudi menolak Yesus. Mengapa mereka menolak Yesus?

Terlihat jelas dalam Luk. 4:23 bahwa ketika Yesus berkhotbah di depan mereka, mereka belum melihat Yesus mengadakan mukjizat-mukjizat. Mereka mendengar bahwa di Kapenaum, Yesus mengadakan begitu banyak mukjizat. Karena begitu banyak mukjizat yang terjadi, berita menyebar hingga ke kampung halamanNya. Orang-orang di sana penasaran. Siapa sih orang ini?

Ketika Yesus datang ke Nazaret, setelah dari Kapernaum, Ia berkhotbah di sinagoge. Ia berkhotbah dengan penuh kuasa. Tetapi setelah berkhotbah berapi-api, ternyata mereka mengenali Yesus.

Bukan mengenali Yesus dalam identitas sorgawi dan kekalNya, tetapi di dalam identitas lahiriahNya: Ia anak Yusuf. Mat. 13:55 mengatakan bahwa Ia adalah anak tukang kayu. Dalam Injil Markus lebih jelas lagi, Yesus adalah seorang tukang kayu. Tukang kayu dalam bahasa Yunani adalah tekton, yang memang berarti tukang kayu. Tetapi tukang kayu yang dimaksud adalah seorang buruh kasar. Dalam bahasa Inggris seringkali disebut manual worker: pekerja dengan tangan. Mereka mengenal ibu Yesus, Maria, dan adik-adikNya, Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon dan adik-adik perempuanNya. Karena mereka mengenal Yesus dengan latar belakang lahiriahNya, mereka menolak Yesus.

Hanya karena mereka mengenali latar belakang lahariah Yesus, mereka kecewa dan menolak Yesus. Dalam bahasa Inggris disebut offended, yang berarti terluka. dalam bahasa Yunani digunakan skandalizo. Arti harafiah kata tersebut adalah, menyandungi, membuat orang lain jatuh dalam dosa, dan menjatuhkan.

Bagi banyak orang, keberadaan Yesus menjadi berkat, seperti misalnya, perempuan yang kedapatan berzinah, Maria-Marta, lima ribu orang, empat ribu orang yang diberi makan, dan masih banyak lagi. Bahkan Injil Yohanes katakan tak terbilang perbuatan Yesus. Mengapa Yesus yang sama; pribadi yang sama, keberadaan yang sama dengan kuasa dan otoritas yang sama memberikan hasil yang sangat berbeda, bahkan bertolak belakang?

Jawabannya adalah karena penerimaan yang berbeda, atau bertolak belakang. Mereka, orang-orang Nazaret, kecewa karena mereka memiliki konsep Yesus (baca: Mesias) menurut hati mereka sendiri, bukan menurut apa yang ada pada diri Yesus.

Ketika Yesus datang ke bumi, Ia adalah Allah yang menjadi manusia. Namun bukan sekadar manusia. Manusia yang sangat hina, apalagi bila dibandingkan kemuliaan yang tak terbatas yang Ia miliki dalam kesetaraanNya dengan Allah (Ef. 2:1-8). Ia menjadi manusia yang begitu hina. Ia lahir di kandang, kandang domba. Bukan hanya itu, Ia yang adalah keturunan Daud, lahir di keluarga miskin, dengan seorang ayah tukang kayu. Bahkan Yesus sendiri seorang tukang kayu. Ia dilahirkan dan dibesarkan di daerah miskin. Galilea adalah provinsi yang paling miskin dan buruk. Bukan hanya miskin, bahkan menurut sejarah, Galilea merupakan provinsi yang dicap sebagai sarang penyamun. Namun Ia memilih lahir di sana.

Ketika Ia memberitakan Injil, Ia mendirikan suatu gerakan, yang merupakan gerakan rakyat jelata. Dan saat itu, terdapat banyak gerakan seperti ini. Orang-orang Yahudi menolakNya dan orang-orang Yunani-Romawi mengejekNya. Orang-orang kekaisaran Romawi menganggap Yesus orang gila, penyesat, dan pemberontak. Ajaran-ajaran yang Yesus ajarkan dianggap sesat. Bagi orang-orang percaya saat ini kebangkitan orang mati adalah hal yang wajar, tetapi bagi orang-orang Romawi dan Yunani saat itu, itu merupakan pengajaran yang dipandang menyesatkan. Ketika Yesus menyatakan diri Anak Allah, orang-orang Yahudi menganggap Ia adalah penyesat, nabi palsu, dan berbagai tuduhan lainnya.

Demikian pula ketika murid-murid melanjutkan pemberitaan Injil. Di mana-mana dianggap sesat. Tetapi justru gerakan ini kemudian hari berkembang pesat. Tetapi kini orang-orang percaya mengetahui gambaran yang sebenarnya mengenai gerakan Yesus. Ketika orang-orang bergabung denganNya, yang bergabung adalah orang-orang susah, miskin, papa, dan seterusnya (1 Kor. 1:18-25). Baru sekitar abad ke-4, kekristenan menjadi agama negara, dan banyak orang kaya berlomba menjadi orang Kristen. Inilah tahap awal pembusukan kekristenan.

Saat ini beragam orang menjadi Kristen. Pada zamanNya, banyak orang kecewa, termasuk ribuan orang yang telah kenyang dengan makan makanan mukjizat (lima roti dua ikan untuk 5000 orang laki-laki dewasa), hanya karena ternyata Yesus tidak seperti yang mereka bayangkan dan inginkan.

Siapakah Yesus yang dicari orang-orang percaya? Siapkah orang-orang percaya menerima Yesus, ketika Ia datang dalam kehinaan seperti ketika Ia datang kepada bangsa Israel? Bila orang-orang percaya ada dalam posisi orang-orang Yahudi kala itu, berjumpa dengan Yesus yang lebih banyak diikuti oleh orang-orang miskin, penyakitan dengan bau busuk tubuhnya, mengembara ke mana-mana seakan-akan tidak jelas tujuannya, siapkah orang-orang percaya menerima Dia dalam keadaan seperti itu? Siapkah orang-orang percaya ketika ternyata memang kelimpahan ada padaNya namun juga ada kesengsaraan?

Yesus adalah Juruselamat yang membawa orang-orang percaya kepada Kerajaan Allah; Ia bukan Juruselamat ekonomi dan keuangan. Yesus adalah Allah dan Penguasa, dan bukan pesuruh. Ia bukanlah seorang office boy atau cleaning service yang dapat diperintah sesuka hati.

Banyak orang percaya berharap mereka memperoleh sesuatu ketika mengikut Yesus. Benar memang ada pengharapan, tetapi pengharapan akan kehidupan yang kekal. Bukan kehidupan berlimpah saat ini. Benar ada berkat, tetapi juga ada derita.

Ketika orang-orang percaya mengucapkan Doa Bapa Kami, mereka mengucapkan “datanglah kerajaanMu”. Kapankah sesungguhnya itu datang? Penggenapannya nanti, tetapi sekarang ini, setiap orang percaya harus hidup dalam pola Kerajaan Allah. Semua orang percaya sesungguhnya adalah agen-agen Kerajaan Sorga yang menghadirkan sorga ini ke bumi dan bukan membawa neraka kepada orang-orang lain. Bukan mengocehkannya, tetapi menerapkannya.

Minggu, 20 Juli 2008

KOMPROMI ATAU TRANSFORMASI?

Kristus telah menebus semua hutang kita dan memakukan surat hutang tersebut di kayu salib. Kematian Kristus ini membebaskan kita, orang yang menerima anugerahNya, dari semua roh yang ada di dalam dunia ini. Setiap orang percaya telah merdeka dari ikatan dengan roh-roh dunia. Dengan demikian ia tidak perlu lagi menundukkan diri kepada roh-roh dunia. Roh-roh dunia ini termanifestasi dalam berbagai macam peraturan duniawi yang menyelusup dalam bentuk-bentuk keagamaan yang berbau atau bernuansa Kristiani, padahal sejati-jatinya tidak demikian.
Paulus menyatakan bahwa ketika kita ditebus oleh Kristus, sesungguhnya kita telah mati bersama Dia, dan dengan demikian tidak hidup lagi di dalam dunia. Tidak hidup lagi dalam dunia bukan dalam pengertian bahwa kita semua kemudian bunuh diri. Ataupun kita orang percaya harus menjadi eksentrik, eksklusif atau mengucilkan diri dari komunitas ataupun lingkungan. Bukan demikian pemahaman alkitabiah yang benar.
Bila melihat teks aslinya, maka terjemahan yang lebih tepat untuk ayat 20a adalah sbb.: “bila kamu telah mati bersama Kristus dari unsur-unsur dunia ini” Dalam teks asli tidak ada kata bebas, sebaliknya dalam teks Indonesia tidak ada kata unsur-unsur (Yun.: stoikeion). Dalam teks ini kata yang digunakan untuk mati (Yun.: apothnesko) bukanlah kata figuratif atau kata yang bermakna konotatif (samaran/bukan arti yang sebenarnya), melainkan mati secara harafiah, seperti matinya tubuh manusia.
Jelas maknanya adalah bahwa orang yang telah ditebus oleh Tuhan Yesus haruslah tidak dapat dirangsang, digoda atau dirayu sama sekali oleh unsur-unsur dunia. Mengapa? Karena ia sudah mati terhadap unsur-unsur tersebut. Seperti halnya orang mati tidak mungkin ia bereaksi terhadap apapun yang dilakukan orang-orang lain terhadap dirinya. Bila dia dipukul, dijotos, dijewer, dll., ia tidak akan bereaksi. Ya, karena ia sudah mati. Demikianlah bila kita mati terhadap unsur-unsur dunia ini. Kita sama sekali tidak memberikan respons terhadap rangsangan, godaan dan rayuan dunia.
Bila kita telah mati bersama Kristus terhadap unsur-unsur dunia, maka sesungguhnya kita tidak boleh bahkan tidak bisa lagi hidup di dunia. Maksudnya tentu dalam pengertian bahwa kita tidak lagi hidup dengan gaya, cara dan arah seperti sebelumnya ketika kita masih hidup dalam kesia-siaan, dalam keduniawian, dan dalam keegoisan, dengan semua sifat dunia. Cara hidup kita tidak lagi seperti umumnya orang di dunia hidup. Cara hidup kita bercorak sorgawi, dan panutannya adalah seperti Kristus hidup di muka bumi ini. Bagaimana Ia hidup di bumi ini, demikianlah sepatutnya kita hidup.
Oleh karena itu, setiap orang percaya tidak perlu lagi menundukkan diri pada berbagai macam aturan dunia. Aturan dunia yang dimaksud adalah aturan-aturan yang berkaitan dengan hal-hal yang “rohani”, bahkan seakan-akan bernuansa atau berwarna Kristiani, padahal sebetulnya tidak sama sekali.
Dalam perikop ini, Paulus memberikan contoh, seperti: jangan pegang ini, jangan makan ini, jangan sentuh itu. Aturan-aturan, atau lebih tepatnya, larangan-larangan (ada juga yang berupa perintah-perintah) ini, bukan sekadar aturan, tetapi diberikan muatan rohani atau Kristiani di dalamnya. Sementara Alkitab tidak mengajarkan demikian. Tetapi diupayakan dasar-dasar Alkitab untuk mendukungnya.
Pada zaman Paulus, ada banyak pengajar Kristen yang masih dipengaruhi oleh Yudaisme (agama Yahudi), yang dipenuhi oleh berbagai macam aturan. Namun banyak juga pengajar Kristen yang dipengaruhi oleh agama-agama kafir yang sebagian, mirip dengan Yudaisme, penuh dengan peraturan-peraturan untuk dapat mencapai sorga atau untuk menghadap Tuhan. Bagi Paulus, semua peraturan tersebut, yang tidak alkitabiah, hanya membuat jemaat terbelenggu dan itu berasal dari roh-roh dunia.
Perlu diperhatikan di sini, bahwa roh-roh jahat bukan hanya dan bukan terutama terwujud di dalam ikatan-ikatan yang harus diusir dan ditengking melalui pelayanan pelepasan. Bagi Paulus ternyata bahwa lebih berbahaya konsep-konsep yang menguasai dan diyakini Gereja tetapi tidak alkitabiah yang berasal dari roh-roh dunia, daripada roh-roh yang mengikat dan harus diusir.
Di dalam dunia modern, terdapat banyak contoh sederhana: Gereja aliran tertentu selalu mengadakan penantian sepuluh hari menjelang hari Pentakosta untuk mendapatkan pencurahan Roh Kudus.
Banyak pendeta dan/atau gereja yang melarang makan makanan tertentu, atau minum minuman tertentu. Sebuah gereja bahkan melarang minum fanta atau cocacola. Ada yang melarang wanita memakai pakaian pria, termasuk celana panjang.
Roh nenek moyang dapat diinjili, sehingga opung, eyang, engkong, opa, yang belum sempat jadi Kristen, ketika diinjili, dapat menjadi Kristen. Ridicule.
Gereja terlalu permisif atau kompromistik dengan adat istiadat, sehingga cenderung sinkretistik. Banyak bentuk adat yang masih mewarisi penyembahan dinamisme dan animisme tetapi ditolerir begitu saja. Gereja tidak boleh anti adat-istiadat, tetapi sebaliknya Gereja juga tidak boleh tunduk dan takluk kepada adat-istiadat. Gereja -seperti dikatakan oleh John Calvin- harus mentransformasi budaya, termasuk ada-istiadat di dalamnya.
Gereja cenderung bersikap rasisme atau rasialisme atau setidaknya memiliki kecenderungan berpihak pada etnis-etnis tertentu. padahal Alkitab sendiri sudah katakan bahwa tidak ada lagi orang ‘jauh’ dan orang ‘dekat’, tidak ada lagi Yahudi atau Yunani, semuanya telah menjadi satu karena Kristus.
Ada gereja yang bersifat nasional, tetapi kesukuannya terlalu kental. Ini terlihat dari namanya. Salah satu cabangnya ada di Papua, tetapi masih menggunakan nama gereja suku tertentu di wilayah barat Indonesia. Bahkan ketika membuka cabang di New York, masih mengunakan nama suku tertentu tersebut.
Belum lagi gereja yang namanya di bagian akhir ada nama negara yang menunjukkan sifat nasionalitasnya, justru terjebak pada isu pri-dan-nonpri. Padahal, bila melihat Matius 5:5: “Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi,” maka semua orang percaya yang lemah lembut adalah pribumi dan tidak ada yang non-pri.. Bahkan mereka yang dianiaya karena Kristus adalah prisorga seperti dikatakan Mat. 5:10: “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga”. Oleh karena itu, hilangkan kebiasaan menekankan pri dan non pri, karena semua orang percaya yang lemah lembut dan siap menderita bagi Kristus adalah pribumi dan prisorga. Yang perlu ditekankan adalah bersediakah Gereja menjadi lemah lembut dan menderita bagi Kristus?
Belum lagi penekanan yang sangat berlebihan yang diberikan pada satu sisi Kekristenan, seperti minyak urapan, perjamuan kudus, karunia-karunia, bahasa lidah, pembesaran gereja atas nama penginjilan padahal hanya merebut domba-domba Gereja lain, dan berbagai peraturan lainnya. Semua penekanan yang menjadi ‘peraturan’ –tetulis ataupun tidak tertulis– sangat membahayakan Gereja Tuhan itu sendiri dan menjadi agen-agen pembusukan dan pengkafiran Gereja.
Kekristenan adalah agama roh. Artinya, sesungguhnya Kekristenan tidak memiliki ritus-ritus atau ritual-ritual dan berbagai macam aturan tidak boleh begini dan tidak boleh begitu atau harus begini dan harus begitu, yang kalau tidak dilakukan akan membuat seseorang masuk neraka dan tidak bisa masuk sorga. Menurut Paulus sendiri, seperti yang tercantum dalam Kolose 2:20-23, larangan-larangan atau perintah-perintah itu, atau berbagai aturan dan sikap yang diperankan Gereja, adalah rupa-rupa peraturan dunia yang merupakan perwujudan dari roh-roh dunia. Sementara, setiap orang percaya telah mati atas roh-roh dunia.
Bahkan, ketika Tuhan Yesus memerintahkan untuk Gereja melakukan baptisan dan perjamuan, yang merupakan sakramen Kristen, muatan yang terkandung di dalamnya tidak lebih hanya bersifat simbolik. Sebagai contoh, baptisan. Baptisan adalah suatu tindakan simbolik di mana pelakunya melambangkan dirinya mati bersama Kristus terhadap dosa untuk bangkit bersama-sama Yesus di dalam kemuliaan (lihat Rm. 4:1-6). Bila melihat hakekat baptisan pada ayat yang disebutkan di atas, maka yang berarti bukanlah baptisannya, melainkan mati terhadap dosa dan hidup dalam Kristus. Bila seorang Kristen telah dibaptis namun tidak sungguh-sungguh sudah mati terhadap dosa dan hidup dalam Kristus, maka baptisan tersebut tidak ada gunanya sama sekali.
Yang dikembangkan di dalam kehidupan orang-orang percaya adalah manusia batiniahnya; bagaimana orang-orang percaya hidup dalam tuntunan Roh Kudus dan FirmanNya; bagaimana orang-orang percaya semakin serupa dengan Kristus sesuai kesaksian Alkitab. Menjadi serupa dengan Kristus. Imitatio Christi. Itulah tujuan hidup kita. Dan inilah visi Gereja. (c) Asigor P. Sitanggang

MENJADI MANUSIA

Seorang filsuf Yunani, Plato, mengatakan bahwa manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jiwa dan tubuh. Jiwa lebih tinggi dari tubuh. Tubuh menjadi penjara bagi jiwa. Untuk itu manusia harus banyak melakukan meditasi untuk mati raga sehingga hidupnya dikendalikan oleh jiwanya.
Muridnya, Aristoteles, mengatakan bahwa manusia adalah mahluk atau binatang yang berakal (animal rationale). Yang membedakannya dengan hewan hanyalah ia memiliki rasio. Selebihnya, ia tidak berbeda dengan binatang. Walaupun ini tidak sesuai dengan pemberitaan Kitab Suci, namun sekarang ini nyata sekali bahwa manusia seringkali tidak lebih dari binatang! Ayah memperkosa anak kandungnya. Anak memperkosa ibu kandungnya. Manusia begitu mudah mencabut nyawa sesamanya. Seorang wakil rakyat meminta pelacur sebagai salah satu bentuk gratifikasi. Dan masih banyak lagi.
Manusia seperti singa yang ketika terancam akan segera memberikan perlawanan atau pembalasan, di mana prinsipnya adalah to kill or to be killed (membunuh atau dibunuh). Lucunya, di Gereja, seringkali jemaat, bahkan pelayan jemaat, juga memiliki prinsip seperti ini.
Betapa seringnya manusia menjelekkan sesamanya (dalam bentuk gosip, fitnah, hujatan, dll.). Betapa seringnya ia bergembira atas kesusahan dan penderitaan orang-orang lain. Bukankah ini serupa dengan prinsip di atas? Mungkin ia tidak membunuh atau dibunuh secara fisik, tetapi secara karakter. Namun tetap itu merupakan suatu peragaan nafsu binatang.
Tidaklah seluruhnya keliru bila kemudian, pikiran yang tidak dikendalikan oleh firman Tuhan yang dimiliki Charles Darwin kemudian menyatakan bahwa manusia berasal dari kera. Jangan-jangan manusia lebih rendah dari kera. Pernahkah ada dalam berita, seorang anak kera membunuh induk kera? Pernahkah ada kera yang membalak hutan? Pernahkah ada kera mengeksploitasi alam?
Dalam Kejadian 1:26-27, diceritakan bahwa ketika Allah menciptakan manusia, Ia menciptakan dengan suatu metode yang sangat berbeda dengan metode yang Ia gunakan untuk menciptakan semua ciptaanNya yang lain. Ketika Ia menciptakan alam semesta, Ia hanya menyatakan: “Jadilah terang,” “Jadilah cakrawala,” “Jadilah …,” maka semua itu jadi! Dengan hanya mengucapkannya, semuanya itu terjadi. Bahkan ada seseorang secara berkelakar, menyatakan seandainya Allah tidur beristirahat, dan dalam tidurNya Ia berkata, “jadilah A atau jadilah B,” maka semua itu tetap terjadi.
Tetapi ketika Ia menciptakan manusia, Ia mengadakan kesepakatan terlebih dahulu dalam persidangan ilahi Allah Tritunggal. Ingatlah perkataan: “Baiklah Kita menjadikan manusia …” (Kej 1:26 – cetak miring tambahan penulis). Kemudian Ia menciptakan suatu cetak biru (blue print - meminjam istilah modern) manusia, yaitu segambar (Ibr.: tselem; Yun. eikon; Lat.: imago) dan serupa (Ibr.: demuth; Yun. homoiosis; Lat.: similitudo) dengan Allah.
Setelah itu, Ia membuat tubuh manusia dari debu tanah dan mendesainnya dengan kedua belah tanganNya sendiri dengan indahnya sehingga secara fisik gambar dan rupa itu dapat tertampilkan. Ketika dikatakan bahwa Allah membentuk tubuh manusia (Ing.: to carve), maka terdapat nilai seni di sana dan menunjukkan betapa Allah sangat menyayangi ciptaanNya yang khusus ini.
Terakhir, tetapi bukan yang terkecil, Ia menghembuskan nafas (Ibr.: neshama) kehidupan kepada manusia sehingga memiliki roh (Ibr.: ruakh) dan menjadi mahluk yang hidup (Ibr. nefesh). Allah menghendaki roh ini menjadi line komunikasi Allah dengan manusia.
Jadi manusia adalah gambar dan rupa Allah yang memiliki nafas hidup atau roh yang berasal dari Allah. Namun, ketika manusia jatuh ke dalam dosa, gambar dan rupa itu, meskipun masih ada, telah menjadi rusak. Kedatangan Kristus ke bumi disertai kematian dan kebangkitanNya, membuat setiap orang yang percaya kepadaNya memperoleh pemulihan gambar dan rupa Allah dalam suatu proses terus-menerus dijadikan segambar dan serupa dengan Allah.
Ketiga kondisi tersebutlah (cetak biru, metode penciptaan dan pemberian nafas hidup) yang membedakan manusia dengan binatang menurut Alkitab. Bila Charles Darwin mengatakan bahwa manusia adalah keturunan kera, biarlah itu hanya untuk nenek moyang Darwin saja. Jelas sekali perbedaan antara manusia dengan hewan.
R. Soedarmo dalam buku dogmatikanya menjelaskan perbedaan dasar manusia dan hewan. Hewan memang memiliki pengetahuan, tetapi ia tidak memiliki akal budi. Ia mungkin memiliki seni, tetapi tidak berbudaya. Ia mungkin berkumpul, tetapi tidak mampu bersekutu. Yang paling membedakan adalah ia tidak hidup dalam kasih dan tidak mengenal serta bersekutu dengan Tuhan.
Menurut kesaksian Injil dan pengakuan iman kita, Yesus adalah sekaligus Allah dan manusia. Bila hendak melihat Allah, lihatlah Yesus. Bila ingin melihat manusia yang sejati, lihatlah Yesus. Dalam hidupNya di bumi, Ia memiliki hubungan yang sejati dengan Allah dan dengan sesamaNya manusia. Dengan demikian manusia hanya menjadi manusia yang sejati jikalau ia memiliki dua hubungan tersebut, yaitu hubungan yang intim dengan Allah sekaligus hubungan yang karib dengan sesamanya manusia. Dan manusia dipanggil untuk memulihkan gambar dan rupa Allah yang telah rusak tersebut. Panggilan tersebut diwujudkan untuk tidak lagi hidup dalam nafsu binatang, tetapi sebagai manusia sebagaimana selayaknya.(C) Asigor Sitanggang.

PEMIMPIN ATAU PENATALAYAN?

Pada suatu ketika, Yesus menanggalkan jubahNya, mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggangNya. Ia kemudian menuangkan air ke dalam sebuah wadah, dan mulai membasuh kaki murid-muridNya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu (Yoh. 13:4-5).
Apa yang Yesus lakukan di sini sesungguhnya dapat dikategorikan sebagai suatu pemberitaan simbolik. Tidak setiap hari Yesus membasuh kaki murid-muridNya. Model pemberitaan seperti ini juga seringkali dilakukan oleh para nabi. Kadangkala disertai dengan maknanya dan kadangkala tidak. Sesungguhnya tidak ada sedikitpun indikasi bahwa Yesus memerintahkan untuk mempraktekkan tindakan simbolisme tersebut menjadi suatu ritual gerejawi. Walau demikian, tidak dapat dikatakan keliru untuk melakukannya dalam suatu ritual gerejawi selama hakekat dan maknanya tidak hilang.
Dan yang Yesus lakukan ini terjadi menjelang hari Paskah. Atau dengan kata lain, Ia sedang mempersiapkan murid-muridNya secara khusus menjelang penderitaan dan kematianNya. Yesus melihat ada keperluan mendesak untuk menjelaskan kepada para muridNya bagaimana hubungan antar sesama pengikutNya harus dijalin, terlebih ketika murid-muridNya harus hidup tanpa disertai lagi oleh Tuhan.
Yesus hendak menunjukkan kepada mereka suatu suri teladan. Ia yang adalah Guru dan Tuhan mereka, bahkan Tuan atas alam semesta dan Pencipta langit dan bumi, mau membasuh kaki mereka. Tuhan mencuci kaki manusia. Bila Tuhan saja mau membilas kaki murid-muridNya, maka terlebih para muridNya. Bila Yesus yang adalah Tuhan mau mencuci kaki murid-muridNya, maka murid-muridNya yang hanyalah sesama manusia, tidak ada yang lebih rendah dan lebih tinggi di hadapan Tuhan, harus saling melayani dalam kerendahan hati yang tulus.
Ketika Yesus tiba pada kaki Petrus, maka Petrus menolak Yesus membasuh kaki Petrus. Dapat dikatakan bahwa ini adalah salah satu kelebihan Petrus. Ia memandang bahwa ia tidak layak dibasuh kakinya oleh Gurunya. Yang lain, menerima saja tanpa memikirkan maknanya, tetapi Petrus, walaupun tidak menangkap maksud Tuhan dengan tepat, memiki upaya untuk memahami. Itulah sebabnya, menurut pemahamannya, ia tidak layak untuk dibasuh oleh Tuhan Yesus.
Tetapi kemudian, Tuhan menyatakan bahwa bila Petrus tidak dibasuh kakinya oleh Yesus, ia tidak mendapat bagian di dalam Yesus. Bagian dalam teks Yunani adalah meros. Kata ini berarti bagian, anggota, atau tujuan. Ketika Yesus mengatakan itu kepada Petrus, sesungguhnya Yesus sedang memanfaatkan tindakan simbolikNya untuk memberikan suatu pemahaman rohani. Maksudnya adalah bila Petrus tidak dibasuh secara rohani oleh Kristus (oleh darah dan RohNya), Petrus tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah bersama Kristus.
Ketika Petrus mendengar penjelasan Yesus, ia malah meminta agar seluruh tubuhnya dibasuh. Tetapi Yesus mengatakan, barangsiapa sudah mandi, ia tidak perlu lagi membasuh dirinya, selain kakinya. Yesus menggunakan sarana fisik itu (pembasuhan air) untuk membahas sesuatu yang tidak berkaitan dengan tujuanNya dalam pembasuhan air dengan Petrus.
Bila Kristus tidak merasakan kehinaan ketika Ia membasuh kaki para muridNya, maka jelas Yesus hendak menyatakan bahwa orang percaya tidak perlu merasakan kehinaan ketika melayani sesamanya, sebaliknya bahkan memberikan pelayanan tersebut dengan kasih dan kerelaan.
Bahkan Yesus mengatakan di bagian lain, “Barangsiapa hendak menjadi terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi yang terkecil; barangsiapa hendak menjadi pemimpin hendaklah ia menjadi pelayan.” Sebelumnya, Yesus menyatakan bahwa dunia memiliki pola pemerintahannya. Pemerintah-pemerintah “memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras”, Tetapi untuk orang-orang percaya, Yesus memberikan sebuah model khusus. Yang ingin menjadi besar harus menjadi pelayan. Yang ingin menjadi terkemuka harus menjadi hamba.
Inilah model hubungan antar sesama orang percaya yang Tuhan telah tetapkan, yaitu menerima pelayanan orang-orang lain dan memberikan pelayanan kepada orang-orang lain, tanpa memandang muka lagi. Tidak ada lagi orang yang hanya dilayani dan memberi perintah. Pemimpin menjadi penatalayan. Penguasa menjadi hamba.
Organisasi dan struktur organisasi gerejawi diperlukan untuk melangsungkan gerak langkah pekerjaan gerejawi. Namun bukan berarti bahwa pola pelaksanaan harus dikerjakan seperti organisasi sekuler. Pola pelaksanaan haruslah seperti yang Tuhan ajarkan. Semua orang percaya adalah pelayan atas semua orang percaya. Semua orang adalah pelayan semua orang. Maka pola yang berkembang adalah saling melayani sehingga tidak ada yang terbesar dan terkecil. Tidak ada yang terpenting dan terpinggir. Tidak ada yang sentral dan marginal. Tidak ada yang perlu merasa bangga apalagi angkuh dengan keadaannya. Tidak perlu ada yang merasa hina atau lemah dengan keadaannya.
Majelis jemaat, pendeta, bahkan ketua sinode bukanlah juragan yang harus dilayani. Itu semua hanyalah jabatan fungsional di mana semakin tinggi jabatannya, ia harus semakin menjadi pelayan. Secara konkrit dan praktis, bukanlah sebuah kehinaan bila seorang pendeta mengepel lantai gerejanya. Bukanlah sebuah kemalangan bila seorang ketua sinode menuangkan kopi ke dalam gelas-gelas para peserta rapat.
Kristus adalah kepala, semua jemaat adalah anggota tubuh. Kristus adalah Tuan dan semua jemaat adalah abdiNya. Dengan demikian dalam jemaat, semua adalah pelayan semua.
(This article has been published in Batakpos, Saturday July 19, 2008)