Minggu, 24 Mei 2009

Valentine's Day

Sejarah Hari Valentine
Setiap Februari, di seluruh Indonesia, permen, bunga, dan hadiah komunikasi antara orang-orang terkasih, semua atas nama Tetapi siapakah santo yang misterius ini dan mengapa kita merayakan hari raya ini? Sejarah Hari Valentine - dan santonya - dipenuhi dengan misteri. Tetapi kita mengetahui bahwa bulan Februari telah lama menjadi bulan romansa. Hari Valentine, seperti yang kita tahu saat ini, mengandung latar belakang Kristen maupun tradisi Romawi kuno. Jadi siapakah Santo Valentine dan bagaimana ia menjadi terkait dengan ritual ini kuno ini? Saat ini, Gereja Katolik mengakui sekurang-kurangnya tiga orang kudus bernama Valentine atau Valentinus, semua yang telah menjadi martir.
Satu legenda menyatakan bahwa Valentine adalah seorang imam yang bertugas pada abad ketiga di Roma. Ketika Kaisar Claudius II memutuskan bahwa prajurit yang lajang lebih baik daripada yang memiliki isteri dan keluarga, dia melarang perkawinan untuk anak laki-laki - yang merupakan calon-calon potensial untuk menjadi prajurit. Valentine, menyadari ketidakadilan dekrit tersebut, menentang Claudius dan terus melakukan pernikahan untuk anak-anak muda secara rahasia. Ketika tindakan Valentine yang diketahui, Claudius memerintahkan agar ia dihukum mati.
Cerita lainnya menyarankan Valentine mungkin telah dibunuh untuk mencoba untuk membantu diri Kristen tajam penjara Roma dimana mereka sering dipukul dan disiksa.
Menurut salah satu legenda, Valentine sebenarnya mengirim ucapan pertama 'valentine' sendiri. Sementara di dalam penjara, dipercaya bahwa Valentine jatuh cinta dengan seorang gadis muda - yang mungkin adalah putrid rekannya di penjara - yang selalu mengunjungi selama pemenjaraannya. Sebelum kematiannya, diyakini bahwa ia menulis untuk kekasihnya sebuah surat, yang ditandatanganinya 'Dari Valentine-mu,' sebuah ungkapan yang masih digunakan hari ini. Meskipun kebenaran di balik legenda Valentine adalah gelap, cerita-ceritanya pasti menekankan pendekatannya sebagai simpatisan, heroik, dan yang terpenting, figur romantis. Tidaklah mengherankan bahwa di abad pertengahan, Valentine adalah salah satu santo yang paling populer di Inggris dan Perancis.
Sementara sebagian orang percaya bahwa Hari Valentine dirayakan di pertengahan bulan Februari untuk memperingati ulang tahun dari kematian atau penguburan Valentine - yang mungkin terjadi sekitar 270 AD – sementara orang-orang lain menyatakan bahwa gereja Kristen mungkin telah memutuskan untuk merayakan hari raya Valentine di pertengahan bulan Februari sebagai suatu upaya untuk 'Kristenisasi' pada perayaan kafir festival Lupercalia.
Di Roma Kuno, bulan Februari merupakan awal musim semi resmi dan dianggap sebagai waktu untuk pemurnian. Rumah-rumah secara ritual dibersihkan dengan menyapunya bersih dan kemudian memercikkan garam dan tepung sejenis gandum di seluruh bagian dalam rumah mereka. Lupercalia, yang dimulai pada pertengahan bulan of Feb, 15 Februari, adalah sebuah perayaan kesuburan yang didedikasikan untuk Faunus, dewa pertanian Romawi, serta kepada para pendiri kota Roma, Romulus and Remus.
Untuk memulai festival, para anggota dari Luperci, sebuah ordo imam Roma, akan berkumpul di gua suci di mana bayi Romulus and Remus, para pendiri kota Roma, diyakini telah merawat oleh serigala betina atau disebut juga lupa. Para imam akan kemudian mengorbankan seekor kambing, untuk kesuburan, dan seekor anjing, untuk pemurnian.
Para laki-laki kemudian mengiris kulit kambing menjadi irisan-irisan, kemudian mencelupkannya ke dalam darah pengorbanan dan membawanya ke jalan-jalan, dan dengan lembut menyentuh para wanita dan ladang-ladang pertanian dengan irisan-irisan kulit kambing. Sama sekali tidak takut, kaum wanita Roma dengan gembira menyambut sentuhan kulit-kulit kambing karena percaya bahwa itu akan membuat mereka lebih subur di tahun mendatang.
Kemudian pada hari tersebut, menurut legenda, semua perempuan muda di kota akan menempatkan nama mereka dalam pasu besar. Pemuda-pemuda lajang di kota itu kemudian akan memilih nama dari pasu dan akn menjadi pasangan dengan perempuan yang dipilih untuk tahun itu. Pasangan-pasangan ini ini sering berakhir pada perkawinan.
Paus Gelasius menyatakan 14 Februari sebagai Hari Santo Valentine pada sekitar tahun 498 Masehi. Sistem lotere Romawi untuk pasangan romantis dianggap tidak Kristen dan dilarang. Kemudian, selama abad pertengahan, secara umum dipercaya di Perancis dan Inggris bahwa 14 Februari merupakan awal musim perkawinan burung, yang ditambahkan ke dalam ide bahwa pertengahan bulan Februari - Hari Valentine - seharusnya menjadi hari untuk romansa (romance).
Kisah valentine tertua yang masih tersimpan saat ini adalah sebuah puisi yang ditulis oleh Charles, Duke of Orleans, kepada istrinya ketika ia dipenjarakan di Tower of London setelah penangkapannya di dalam Pertempuran Agincourt. Pesannya, yang ditulis pada tahun 1415, merupakan bagian dari naskah koleksi British Library di London, Inggris. Beberapa tahun kemudian, dipercaya bahwa Raja Henry V menyewa seorang penulis bernama John Lydgate untuk menulis surat valentine kepada Catherine dari Valois.
Di Inggris Raya, Hari Valentine mulai secara populer dirayakan di sekitar abad ketujuhbelas. Pada pertengahan abad kedelapanbelas, adalah wajar bagi teman-teman dan kekasih-kekasih di dalam semua kelas sosial untuk saling bertukar tanda-tanda kasih atau surat-surat yang ditulis tangan. Pada akhir abad, kartu-kartu yang dicetak mulai menggantikan surat-surat yang ditulis sebagai akibat meningkatnya teknologi mesin cetak.
Kartu-kartu ucapan yang siap pakai adalah suatu cara yang mudah bagi mereka untuk mengekspresikan emosi mereka dalam satu waktu ketika ekspresi langsung dari perasaan seseorang tidak dapat diutarakan. Harga-harga perangko yang murah juga berkontribusi untuk peningkatan popularitas mengirimkan kartu-kartu ucapan Hari Valentine. Orang-orang Amerika mungkin mulai bertukar kado valentine pada awal 1700. In the 1840s, Pada tahun 1840-an, Esther A. Howland mulai menjual kartu-kartu ucapan valentines yang pertama yang diproduksi secara besar-besaran di Amerika.
Menurut Greeting Card Association, diperkirakan satu milyar kartu valentine dikirimkan setiap tahun, sehingga Hari Valentine merupakan hariraya terbesar kedua di dalam hal mengirimkan kartu ucapan dalam setahun. (Diperkirakan 2,6 miliar kartu Natal dikirim pada hariraya Natal.)
Sekitar 85 persen dari semua produk terkait valentine dibeli oleh perempuan. Selain Amerika Serikat, Hari Valentine juga dirayakan di Kanada, Meksiko, Inggris, Perancis, dan Australia.
Salam-salam atau ucapan-ucapan valentine menjadi populer sejak zaman Abad-abad Pertengahan (ucapan tertulis Valentine's baru muncul setelah tahun 1400), dan kartu Valentine yang paling tua diketahui adalah yang dipamerkan di British Museum. Kartu ucapan Hari Valentine komersial pertama yang diproduksi di AS diciptakan di 1840s oleh Esther A. Howland. Howland, yang dikenal sebagai Ibu Valentine, membuat kreasi dengan tali, kendali gambar berwarna dan dikenal sebagai "memo".

Prophet and Prophetism

NABI DAN NUBUAT


Nabi
Kata ‘nabi’ sejajar dengan kata navi di dalam bahasa Ibrani. Asal-mula kita navi telah menjadi perdebatan yang lama. Sebagian mengaitkan akar kata kerja dengan perilaku tidak terkendali seakan-akan seorang navi adalah pribadi yang melulu ekstatis. Dan memang nabi-nabi Kanaan, ekstasi (keadaan tidak sadar atau tidak terkendali dan berada di dalam suasana yang lain seakan-akan berada di dunia lain) adalah ciri khas nabi-nabi Israel. Melalui musik (2 Raj. 3:15), dan dengan tarian (1 Raj. 18:26), mereka mencapai keadaan penuh gairah dan semangat serta dikuasai oleh yang ilahi (Curt Kuhl, The Old Testament: Its Origin and Composition Richmond: John Knoxx Press, 1961, h. 155).
Yang lain mengaitkannya dengan ‘menyembur keluar’ seakan-akan di bawah pengilhaman ilahi. Yang lebih realistis adalah mengaitkannya dengan akar kata bentuk Akkadian nabu yang berarti ‘memanggil,’ ‘mengumumkan’, sehingga navi dengan demikian adalah ‘pembaca pengumuman’(R.K. Harrison, Introduction to Old Testament Grand Rapids: Eerdmans, 1969, h. 742).
Tetapi ada ahli lain, Albright, yang menunjukkan bahwa penafsiran umum navi sebagai ‘pembicara’ tidak tepat, karena navi adalah sosok yang khusus di hadapan Allah. Menurutnya, navi harus ditafsirkan di dalam pengertian pasif, yaitu sebagai seseorang yang dipanggil oleh Allah, dan bukan di dalam pengertian aktif, yaitu sebagai seseorang yang memanggil manusia di dalam Nama Ilahi (Harrison, th.1969, h. 742).
Penggunaan istilah tersebut di dalam Alkitab digambarkan paling nyata di dalam pesan Allah kepada Musa, yiatu pada waktu Musa diumpamakan seperti ‘Allah’ dan Harun digambarkan sebagai ‘penyambung lidah’ (Kel. 4:15-16), dan pada waktu Musa digambarkan sebagai ‘Allah bagi Firaun’ dan ‘Harun’ adalah nabnya’ (Kel. 7:1-2). Di sini jelas bahwa nabi dilukiskan sebagai penyambung lidah Allah (W.S. LaSor et al. Pengantar Perjanjian Lama, Jakarta: BPK GM, 1994, h. 184).
Di dalam bahasa Yunani digunakan istilah profetes, yang pada dasarnya berarti ‘seorang yang berbicara atas nama dewa dan menyampaikan kehendaknya kepada manusia’. Istilah ini berasal dari dua kata, fetes, yang berarti ‘berbicara’, dan pro, yang berarti ‘atas nama’ dan ‘sebelumnya,’ sehingga profetes dapat berarti ‘berbicara atas nama, mengumumkan’ atau ‘mengatakan sebelumnya, atau meramalkan’. Jadi seorang nabi bukan hanya seorang yang memiliki fungsi meramalkan tetapi juga mengumumkan sesuatu. Kedua arti ini terkandung di dalam profetes dan ditemukan di dalam Alkitab (LaSor, 1994, 1: h. 184).
Meskipun orang pertama yang disebut navi di dalam Perjanjian Lama adalah Abraham (Kej. 20:7), kenabian (prophetisme) sedemikian di antara orang-orang Ibrani dapat dikatakan secara sah bermula pada secara historis pada Musa. Musa kemudian menjadi sebuah tolok ukur perbandingan bagi nabi-nabi berikutnya (Ul. 18:15 dst; 34:10). Ini mungkin tidak lebih daripada suatu tindakan pengamanan dasar, karena ternyata istilah Perjanjian Lama navi diterapkan kepada suatu rentang kepribadian yang luas dengan banyak fungsi, yang beragam dari yang primitif hingga yang sangat canggih, termasuk yang bersifat visioner maupun individual dan etis.

Pelihat
Terdapat dua istilah lain yang ditujukan kepada nabi-nabi Ibrani, yaitu ro’eh dan hozeh. Ro’eh adalah bentuk partisif aktif dari kata kerja “melihat” dan secara umum diterjemahkan sebagai “pelihat”. Hozeh adalah bentuk partisif aktif dari kata kerja lain yang juga berarti “melihat” tetapi karena tidak memiliki kesejajaran, di dalam bahasa Inggris tetap diterjemahkan nabi. Di dalam konteks-konteks di mana kedua istilah ini muncul, mereka menyarankan beberapa kesejajaran fungsi-fungsi kenabian, sebagai contoh, 2 Samuel 24:11, di mana nabi Gad adalah pelihat di dalam istana Daud, atau 2 Raja-raja 17:13, di mana nabi dan pelihat secara seimbang bertanggung jawab untuk memperingatkan kedua kerajaan. (Harrison, th.1969, h. 743).
Menurut para ahli, adalah suatu hal yang menyedihkan bahwa tulisan-tulisan kanonis Ibrani tidak menyimpan makna yang menyeluruh dan akurat atas ketiga istilah yang telah disebutkan di atas dalam kaitan dengan kenabian dan keilahian pada masa kuno. Sebelum zaman Samuel utusan ilahi disebut sebagai seorang “manusia Allah” di dalam acuan umum kepada navi, dan selama masa awal kerajaan kedua ungkapan tersebut (navi dan ro’eh) memiliki arti yang sinonim. 1 Samuel 9:9 menunjukkan ada suatu masa di mana navi dan ro’eh adalah dua hal yang berbeda.
Di sepanjang penggunaan Perjanjian Lama, hozeh memiliki arti yang sama dengan ro’eh. Keduanya digunakan di dalam kaitan dengan keilahian (Zak. 10:2; Yeh. 21:21), persepsi akan kejadian-kejadian penting (Mzm. 46:8; Yes. 5:12), pengkajian karakter (1 Sam. 16:1; Mzm. 11:4, 7), penglihatan dari Allah (Mzm. 27:4; Yes. 6:5), kegiatan kenabian secara umum (Yes. 1:1; Yeh. 13:3), dan pembalasan dendam (Mzm. 58:10; 54:7). Dan orang-orang yang diberikan karunia-karunia kenabian atau keilahian diperhadapkan dengan banyak keadaan yang sangat beragam. (Harrison, th.1969, h. 744).
Nubuat adalah bagian penting di dalam peribadahan agama Yahudi kuno terbukti melalui penemuan-penemuan naskah-naskah Ugaritik (naskah-naskah kuno di dalam tulisan Ugarit). Dan karena nabi-nabi adalah orang-orang yang memiliki hubungan khusus dengan Allah, maka tidak aneh jika mereka sering berada di tempat-tempat peribadahan (bukit-bukit pengorbanan). Namun demikian, mereka berbeda dengan imam-imam yang adalah pelayan-pelayan resmi peribadahan, mereka bukanlah pelayan-pelayan resmi yang ditahbiskan (Harrison, th.1969, h. 746).

Hakekat Kenabian
Hakekat inspirasi kenabian bagi banyak ahli telah menjadi perdebatan panjang. Sementara penglihatan-penglihatan, mimpi-mimpi, tindakan-tindakan simbolik, keadaan tidak sadar diri, dan yang sejenisnya telah sering memainkan peranan di dalam membentuk ungkapan khusus yang terekam di dalam teks Kitab Suci, perlu diamati bahwa sang nabi memberikan pengantar atas beritanya dengan pernyataan bahwa itu membentuk suatu ungkapan akan suatu pengalaman pribadi yang langsung akan wahyu ilahi (misalnya Kel. 4:15 dst; 7:1 dst; Yer. 1:9; 23:22; Hos. 1:1, dll.).
Pada banyak kejadian, aktivitas Roh Allah dikaitkan dengan fungsi-fungsi kenabian (Bil. 11:29; 1 Sam. 10:6 dst; 1 Taw. 12:18; 2 Taw. 24:20; Neh. 9:20; Yeh. 11:5; Hos. 9:7; Yl. 2:28 dst), tetapi tanpa suatu konsistensi. Yeremia, sebagai contoh, tidak pernah menyebutkan Roh Allah di dalam kaitan ini. Ini menjadi penting karena ia adalah nabi yang paling menyadari panggilan pelayanannya sebagai nabi, dan ia menyadari bahwa itu berkaitan dengan kendali-kendali batiniah yang tidak dapat kendalikan sama sekali (Harrison, th.1969, h. 751).

Ciri-ciri Nabi
Menurut LaSor, terdapat tiga ciri khas nabi. Ciri yang pertama adalah keadaan ekstase (keadaan di luar kesadaran diri). Ini menjadi ciri utama. Keadaan ekstase ini dapat terjadi secara mendadak dan disertai dengan gerakan-gerakan tubuh yang tidak wajar. Contoh di dalam Perjanjian Lama adalah Raja Saul, ketika ia mendadak dikuasai oleh Roh. Itu sebabnya orang bertanya, “Apa Saul juga termasuk golongan nabi?” (1 Sam. 10:11). Dan Samuel adalah tokoh Alkitab yang menjadi pelopor peralihan masa kekuasaan imam-imam di Silo kepada masa kenabian yang ekstatis (Harrison, thn. 1969, h. 710).
Namun W.R. Smith, seorang ahli Perjanjian Lama, mengatakan hal yang berbeda. Ia mengatakan bahwa Allah berbicara kepada nabi-nabi-Nya tidak dengan proses ajaib atau melalui penglihatan kepada orang gila, tetapi dengan kata-kata yang dapat dimengerti yang ditujukan kepada akal dan hati. Nampaknya kedua hal tersebut terdapat di dalam pemahaman nabi di dalam Alkitab (LaSor et al. 1994, 2: h. 185).
Ciri kedua adalah panggilan. Para nabi yakin bahwa mereka dipanggil secara khusus oleh Allah untuk menyampaikan pesan-pesan Allah. Panggilan ini bersifat obyektif sekaligus subyektif. Obyektif di dalam hal bahwa panggilan tersebut terjadi secara historis dalam kehidupan sang nabi; dan subyektif di dalam hal bahwa Allah melibatkan pikiran dan perasaan individual sang nabi (LaSor et al. 1994: 185).
Ciri terakhir adalah kekudusan. Allah menggunakan orang-orang kudus sebagai nabi-nabi-Nya. Ini adalah suatu kesimpulan tidak langsung. Sebagai contoh, adalah mustahil bila Natan yang menegur Daud karena perzinahannya dengan Batsyeba tetapi tidak menjaga dan mengendalikan hawa nafsunya. Tetapi di sisi yang lain, Alkitab lebih menekankan penyerahan diri sang nabi sejati kepada Allah daripada keunggulan moralnya (LaSor et al. 1994, 2: 186).

Nubuat
Menurut LaSor, secara umum terdapat dua macam pendekatan terhadap nubuat: yang pertama menekankan unsur ramalan, sementara yang kedua menekankan unsur pemberitaan yang diterapkan pada keadaan saat itu. Di dalam Alkitab, kedua unsur tersebut ada.
Apabila ayat-ayat dari kitab-kitab para nabi diambil dan disatukan sehingga membuat ‘nubuat yang membuktikan kebenaran Alkitab’ atau ‘membuktikan Yesus Kristus sudah terdapat di dalam nbuuat,’ maka kita dapat menimbulkan kesan bahwa dalam nubuat ‘sejarah telah ditulis sebelumnya.’ Namun bila kita mempelajari semua kitab itu, konsep ini ternyata tidak ada.
Sesungguhnya setiap nabi dan pemberitaannya menunjukkan bahwa ia benar-benar terlibat dalam peristiwa-peristiwa yang dialami bangsanya sendiri. Ia berbicara tentang raja dan praktek penyembahan berhala, nabi upahan, imam palsu, pedagang dengan neraca palsu, hakim yang berpihak pada orang kaya dan tidak adil kepada orang-orang miskin, perempuan serakah yang mendorong suaminya melakukan hal-hal yang jahat untuk menjadi kaya, dll. Semua hal ini adalah ‘nubuat’ di dalam pengertian Alkitab. Nubuat adalah pesan Allah kepada umat-Nya. Nubuat pada saat yang sama adalah ancaman yang mengandung hukuman sekaligus berita yang berisikan harapan.
Allah tidak hanya memperhatikan masa kini saja. Sejak semula, Ia telah menyusun rencana-Nya bagi manusia dan tidak pernah melupakan tujuan dan pekerjaan-Nya. Ia menyatakan tujuan itu kepada para nabi (Am. 3:7). Karena itu, nubuat bukan hanya merupakan pesan Allah tentang keadaan kini, tetapi juga memperlhatikan bagaimana keadaan itu sesuai dengan rencana-Nya, bagaimana Ia akan memakainya untuk mengadili, memurnikan atau menghibur dan mendorong umat-Nya. Nubuat dengan demikian adalah pesan Allah untuk masa kini dalam terang rencana penyelamatan-Nya yang terus berlangsung. Nubuat yang bersifat ramalan hampir selalu dihubungkan dengan keadaan zaman nabi yang mengucapkannya.
Karena rencana penyelamatan Allah memuncak pada Yesus Kristus, maka segala nubuat menunjuk pada Dia. Dalam arti ini, Ia ‘menggenapi’ nubuat, atau nubuat itu digenapi di dalam Dia. Inilah batasan-batasan yang diambil dari bukti-bukti Alkitab. Oleh karena itu, jabatan, fungsi dan peranan nabi, nubuat dan hal-hal kenabian di masa Gereja sekarang bukan lagi milik orang per orang tetapi milik Gereja secara kolektif.


Bibliografi

Harrison, R.K. Introduction to Old Testament Grand Rapids: Eerdmans, 1969.

Kuhl, Curt The Old Testament: Its Origin and Composition Richmond: John Knoxx Press, 1961.

LaSor W.S. et al. Pengantar Perjanjian Lama, Jakarta: BPK GM, 1994

Eskatologi

ESKATOLOGI

Eskatologi, di dalam bahasa Inggris disebut eschatology, berasal dari kata eskhatos yang secara harfiah berarti ‘terakhir’. Ada beberapa ayat di dalam Alkitab, khususnya Perjanjian Baru, yang menggunakan kata ini ataupun variannya. Di antaranya adalah 1 Pet. 1:20 (eskhaton ton khronon, akhir masa); 1 Yoh. 2:18 (eskhate hora, saat terakhir); Kis. 2:17 (eskatha ta herema, hari-hari terakhir).
Eskatologi sendiri adalah bagian dari teologi, khususnya dogmatika atau teologi sistematika, yang mengkaji apa yang diyakini sebagai hal-hal terakhir yang akan terjadi di dalam sejarah dunia, atau tujuan akhir kemanusiaan, yang secara umum disebut dengan akhir dunia atau akhir zaman.
Semua agama meyakini akan adanya suatu akhir bagi dunia ini. Namun bukan hanya agama-agama, sebaliknya filsafat bahkan ilmu pengetahuan modern meyakini adanya akhir bagi dunia ini.
Di dalam Perjanjian Lama, terdapat gagasan-gagasan tentang eskatologi, dan umumnya Gereja Kristen memahaminya sebagai pendahuluan bagi kegenapan Wahyu Kristen. Setidaknya eskatologi Perjanjian Lama mencakup keempat hal di bawah ini, yaitu: (1) monoteisme ketat; tidak ada panteisme ataupun dualisme ilahi (yang jahat dan yang baik berasal dari satu ilahi). Alam semesta diperintah oleh hikmat, keadilan dan kemahakuasaan Allah yang esa dan sejati. Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya dan ditetapkan untuk memiliki relasi dengan Allah dan bersekutu dengan Dia; (2) Kematian bukan pemusnahan, tetapi orang-orang mati turun ke Sheol, dunia orang mati, namun di sana Yahweh tetap adalah Allah, dan bukan iblis yang berkuasa; (3) tendensi untuk meleburkan individu ke dalam bangsa dan memperlakukan bangsa (Israel) sebagai sebuah umat atau suatu kesatuan religius. Akibatnya, eskatologi dipahami di dalam suatu kebangkitan kerajaan teokratis, yang berarti eskatologi dipahami lebih secara kolektif (sebagai suatu bangsa atau umat) daripada pribadi atau individu; (4) terakhir, doktrin immortalitas sangat kuat di dalam eskatologi Perjanjian Lama. ADa keyakinan akan kehidupan yang diberkati setelah kematian,
Sementara Gereja-gereja Kristen memiliki beragam interpretasi atas eskatologi Perjanjian Baru. Pada prinsipnya eskatologi mencakup kematian, penghakiman, sorga dan neraka. Gereja Katolik Roma membagi ke dalam dua jenis eskatologi, yaitu eskatologi individu dan eskatologi kosmik (dunia). Dalam konsep eskatologi individu, terdapat empat hal penting, yaitu kematian, penghakiman partikuler (individual), sorga, purgatori (api penyucian, yaitu suatu tempat penghukuman temporer dengan waktu tertentu setelah selesai beralih ke sorga) dan neraka.
Eskatologi kosmik (dunia atau umum) mencakup pertama-tama zaman akhir (mendekati akhir dunia). Perjanjian Baru, bahkan Yesus Kristus sendiri menegaskan, bahwa sejak zaman Perjanjian Baru, dunia memasuki zaman akhir. Namun di sisi yang lain, Kristus menegaskan bahwa Injil harus diberitakan kepada seluruh dunia sebelum dunia berakhir. Kedua, penghakiman terakhir yang bersifat menyeluruh atas orang-orang yang hidup dan mati di mana Kristus menjadi hakim. Ketiga, penghukuman dan penghancuran atas dunia. Yang terakhir, kehidupan yang kekal. Katolik Roma sendiri tidak terlalu merinci hal-hal apa yang akan terjadi pada akhir dunia.
Pengakuan Iman Rasuli mencatat: “Aku percaya … kebangkitan orang-orang mati, dan hidup yang kekal” di bagian akhirnya. Kredo ini diterima oleh hampir semua gereja di seluruh dunia. Dan inilah juga yang diakui oleh Gereja-gereja Protestan. Gereja-gereja Protestan arus utama (Lutheran dan Kalvinis) memiliki pemahaman yang serupa dengan Gereja Katolik Roma, di mana kedua pelopor Protestanisme ini tidak memberikan jabaran yang sangat rinci tentang eskatologi. Yang berbeda hanyalah tidak ada purgatori di dalam konsep Protestanisme ini. Namun umumnya, sebagaimana terlihat di dalam buku-buku dogmatika kelompok arus utama, mereka menyatakan bahwa kematian manusia bukanlah hanya kematian tubuh, tetapi kematian seluruhnya.
Sebagian kelompok Protestanisme arus utama meyakini bahwa kematian manusia adalah kematian seutuhnya manusia, yaitu tubuh, jiwa dan roh, dan bukan kematian tubuh semata-mata di mana jiwa bersifat kekal dan melayang keluar dari tubuh. Dasarnya adalah bahwa manusia bukanlah terdiri dari tiga bagian, yaitu roh, jiwa dan tubuh, atau dua bagian, yaitu jasmani dan rohani, di mana ketiga tubuh mati bagian yang rohani tetap hidup. Sebaliknya, Protestanisme ini mempercayai bahwa ketika manusia mati, ia mati seluruhnya, yaitu roh, jiwa dan tubuhnya. Dasar lainnya adalah bahwa terdapat janji akan kebangkitan daging (G.C. van Nifttrik dan B.J. Boland, Dogmatika Masakini, Jakarta: BPK GM, 1995, h. 519-522, 530).
Sementara sebagian teolog Protestan arus utama lainnya, meyakini bahwa ketika manusia mati, tubuhnya mati tetapi jiwanya kembali kepada Allah (lihat R. Soedarmo Ikhtisar Dogmatika Jakarta: BPK GM, 1993, h. 239; Harun Hadiwijono Iman Kristen Jakarta: BPK GM, 1995, h. 475-477). Bbeberapa kelompok lain, kelompok Injili misalnya, menyakini bahwa kematian hanya meliputi tubuh, tetapi tidak mencakup jiwa (Paul Enns, The Moody Handbook of Theology, Malang: SAAT, h. 461).
Di dalam kelompok Protestan lainnya, Injili, Karismatik dan Pentakosta, eskatologi menjadi jauh lebih terperinci. Di sini hanya hendak dijabarkan saja pokok-pokoknya, tanpa lagi merinci kelompok mana meyakini yang mana. Rincian tersebut cenderung menjadi pokok atau sumber perpecahan dan bukan pemersatu. Di antaranya adalah keyakinan tentang kerajaan seribu tahun (millenium). Topik ini berasal dari Wahyu 20:2, 7, di mana dikatakan bahwa Yesus Kristus akan memerintah selama seribu tahun (Latin: mille). Selama masa itu iblis diikat. Setelah itu, iblis dilepaskan sebagai pendahuluan konflik terakhir dan dia serta sekutu-sekutunya ditumbangkan. Kepercayaan akan pemerintahan yang benar-benar berlangsung selama seribu tahun dikenal sebagai milenialisme (atau khiliasme, dari kata Yunani khilias, yang berarti seribu). Mengenai hal ini, tidak dipungkiri bahwa topik ini hanya tercantum di dalam satu pasal dari sebuah kitab yang penuh dengan angka simbolis yang tafsiran-tafsirannya menjadi perdebatan-perdebatan.
Gagasan tentang milenialisme muncul di dalam tulisan beberapa bapa gereja terdahulu dan khususnya Montanus, yang mendirikan bidat Montanisme pada abad kedua akhir dan awal abad ketiga. Agustinus juga pada awalnya mengajukan gagasan ini, tetapi kemudian mengubah pandangannya dengan mengatakan bahwa kerajaan seribu tahun adalah masa antara kedatangan Yesus yang pertama dan yang kedua dan pengikatan iblis di dalam masa itu adalah kuasa yang diberikan kepada gereja untuk “mengikat” dan “melepaskan” dosa (Yoh. 20:22). Gagasan-gagasan ini milenialisme umumnya ditolak oleh kelompok Reformator utama. Calvin menganggapnya “terlalu kekanak-kanakan untuk diperlukan serta tidak layak untuk disangkal” (Bruce Milne Mengenali Kebenaran, Jakarta: BPK GM, 1996, h. 359-360).
Di dalam milenialisme sendiri terdapat beberapa sudut pandang, yaitu pascamilenialisme, yaitu paham yang meyakini bahwa parousia (kedatangan Yesus Kristus yang kedua sebagai raja atas jagad raya) terjadi setelah kerajaan seribu tahun. Pramilenialisme memahami bahwa parousia terjadi sebelum kerajaan seribu tahun. Amilenialisme menegaskan bahwa millenium hanya bersifat simbolis dan tidak ada kerajaan seribu tahun dalam arti harfiah.
Selain itu, ada ajaran tentang tribulasi yang berbeda-beda Penganut amilenialisme memahami bahwa tribulasi (masa kesusahan besar) sudah dialami pada zaman sekarang, yaitu di zaman gereja menanti parousia. Penganut pascamilenialisme meyakini seperti yang diyakini oleh amilenialisme. Penganut premilenialisme terbagi dua. Kelompok premilenialisme historis meyakini bahwa gereja akan mengalami tribulasi. Dengan kata lain, pengangkatan gereja (rapture) terjadi di antara tribulasi dan kerajaan seribu tahun. Kelompok premilenialisme dispensasionalisme meyakini bahwa gereja tidak akan mengalami tribulasi. Dengan kata lain, rapture terjadi sebelum tribulasi dan kerajaan seribu tahun.
Selain itu, ada banyak istilah yang terkait dengan eskatologi yang perlu diketahui secara ringkas. Di bawah ini didaftarkan istilah-istilah tersebut:
Antikristus adalah personifikasi iblis yang melawan Kristus. Keterangan-keterangan paling jelas terdapat di dalam Injil Yohanes. Menurut Yohanes, antikristus sudah datang dan sudah bekerja, bahkan ada banyak antikristus dan munculnya antikristus merupakan tanda jelas bahwa ini adalah hari-hari terakhir (1 Yoh. 2:18). Selain itu, teks-teks lain yang membahas tentang antikristus adalah Daniel, Wahyu tetapi juga 2 Tesalonika.
Apokalupsis adalah istilah Yunani yang berarti “penyataan”. Kedatangan Yesus Kristus akan menyingkapkan tentang siapa Dia dan apa sebenarnya dunia ini. Pada waktu itu hal-hal yang saat ini tersembunyi akan menjadi jelas.
Epifania adalah istilah Yunani yang berarti “muncul “ atau “manifestasi” . Kata ini juga mengandung arti penyingkapan suatu selubung supaya apa yang sudah ada benar-benar terlihat seperti adanya.
Parousia adalah istilah Yunani yang berarti kedatangan kembali. Di dalam teologi Perjanjian Baru ini mengacu kepada kedatangan Yesus Kristus yang kedua kali ke bumi.
Sorga adalah kata yang tidak mudah dipahami mengingat Alkitab menggunakan istilah ini untuk tiga hal, yaitu sorga atmosfer (dalam bahasa Inggris heaven di sini dapat digantikan dengan sky atau langit); sorga angkasa (dalam bahasa Inggris dapat digantikan dengan space); dan sorga tempat kediaman Allah. Paulus menyebutnya sebagai “langit ketiga” (2 Kor. 12:2). Dalam bahasa Ibrani (PL) disebut shamayim yang berarti tinggi atau mulia. Dalam bahasa Yunani (PB) disebut ouranos yang hanya menunjuk kepada “yang di atas”.
Neraka lebih sulit dari sorga. Di dalam bahasa Ibrani, ada satu kata, yaitu sheol. Sheol muncul 65 kali, yang lebih menunjuk kepada tempat kemah tubuh manusia ke mana ia akan pergi, dan bukan tempat jiwa berada setelah kematian. Hades adalah terjemahan Yunani untuk sheol. Gehenna muncul 12 kali di dalam Perjanjian Baru yang menunjuk kepada penghukuman yang kekal. Tartaro hanya muncul sekali, di dalam 2 Petrus 2:4, tempat penghukuman malaikat-malaikat yang telah jatuh yang diadaptasi dari mitologi klasik Yunani. Abussos berarti tak berdasar dan diterjemahkan sebagai “jurang yang dalam sekali” dan merupakan penjara bagi Iblis. Pada kedatangan Kristus yang kedua, setan akan diikat dan dilemparkan ke abussos selama seribu tahun (Why. 20:1-3).


Kepustakaan
Becker, Dieter Pedoman Dogmatika Jakarta: BPK GM, 1993.
Enns, Paul the moddy Handbook of Theology Malang: Literatur SAAT, 2004.
Hadiwijono, Harun iman Kristen Jakarta: BPK GM, 1995.
Milne, Bruce Mengenali Kebenaran Jakarta: BPK GM, 1996.
Soedarmo, R. Ikhtisar Dogmatika Jakarta: BPK GM, 1993.
Van Niftrik G.C. Dogmatika Masa Kini Jakarta: BPK GM, 1995.
http://www.en.wikipedia.org/wiki/Eschatology
http://www.newadvent.org/cathen/05528b.htm

Baal, Berhala dan Perdukunan

BAAL, BERHALA DAN PERDUKUNAN

BAAL
Di dalam Alkitab TB LAI, kata baal muncul sebanyak 108 kali. Namun lima ayat pertama yang menyebut istilah baal tidak menunjuk kepada suatu entitas ilahi, melainkan menyangkut nama orang (2 ayat pertama, Kej. 36:38 & 39) dan tempat (3 ayat berikutnya, Kel. 14:2 & 9; Bil. 22:41). Istilah baal mulai digunakan untuk menunjuk kepada suatu entitas ilahi di kemunculan yang keenam di dalam Kitab Suci (Bil. 25:3).
Baal ternyata adalah istilah Ibrani ( lub) yang diserap baik oleh Alkitab bahasa Inggris maupun Indonesia (TB LAI) tanpa diterjemahkan. Arti harfiahnya adalah tuan, pemilik atau suami (J.D. Douglas ed. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini jilid I, Jakarta: YKBK,1995, h. 115).
Dari 108 kali kemunculannya, hanya 1 kali ia disebut di dalam Perjanjian Baru. Namun kemunculan kata baal yang hanya satu kali di Perjanjian Baru, yaitu Roma 11:4 merupakan suatu kutipan atas teks Perjanjian Lama. Suatu kesimpulan sederhana dapat dihadirkan di sini, yaitu bahwa Baal adalah suatu gagasan yang hanya muncul di dalam Perjanjian Lama dan merupakan pergumulan umat Perjanjian Lama.
Kadangkala, Tuhan Israel (Ibr.: YHWH, hwhy) disebut majikan ataupun suami bangsa Israel. Untuk pengertian tersebut, kata baal kadang ditujukan kepada Allah. Tetapi penyebutan ini dapat menyebabkan kekacauan penyembahan kepada Allah Israel. Untuk menghindari hal tersebut, digunakan kata lain yang sepadan untuk suami yaitu ish (cy lih. Hos. 2:15-16).
Kata Baal sendiri lebih menunjuk kepada ilah-ilah atau dewa-dewi yang disembah oleh bangsa-bangsa lain di sekitar Israel. Secara khusus, Baal adalah nama dewa (laki-laki) sesembahan bangsa-bangsa seperti Fenisia dan Kanaan pada zaman Israel kuno. Sementara, untuk dewi (dewa perempuan), adalah Asytoret. Sebagian ahli meyakini bahwa Baal adalah dewa matahari dan Asytoret adalah dewi bulan.
Kemungkinan besar saat itu, istilah yang umum dipakai untuk menyebut yang ilahi selain el (la) dan elohim (\yhla) adalah baal. Perlu diketahui bahwa el dan elohim sendiri bersifat umum yang dapat digunakan bagi ilah atau dewa-dewi manapun. Baal ini kemudian direpresentasikan ke dalam bentuk patung-patung yang sering disebut oleh Allah Israel sebagai berhala.

BERHALA
Sementara, kata berhala muncul sebanyak 152 kali di dalam Alkitab TB LAI. Kata ini hny muncul sebanyak 30 kali di dalam Perjanjian Baru. Di dalam Perjanjian Lama, kata ini muncul pertama kali muncul di dalam Keluaran 34:13. Berhala di dalam teks Inggris adalah idol. Namun di dalam Alkitab King James Version (KJV), kata idol hanya muncul sebanyak 119 kali.
Di dalam teks Ibrani (Perjanjian Lama), ada beberapa kata yang kemudian diterjemahkan menjadi idol (KJV) ataupun berhala (TB LAI), yaitu eliyl (lyla) yang secara harfiah berarti kesiasiaan (Im. 19:4; 26:1); gillul (llg) yang secara harfiah berarti kayu bulat (Ul. 29:17); hebel (lbh) yang secara harfiah berarti kekosongan (Ul.32:21); khamman (}mk) yang secara harfiah berarti batang kayu (Im. 26:30); mashkit (tykcm) yang secara harfiah berarti lukisan pada kayu (Bil. 33:52; ; Ul. 27:15); matstsebah (hbxm) yang secara harfiah berarti patung atau tugu (Kel. 34:13; Ul. 7:5; 12:3); pesel (lsp) yang secara harfiah berarti patung ukiran (Im. 26:1; Ul. 7:25; 27:15; Hkm. 18:30-31).
Selain ketujuh kata tersebut, masih ada 12 kata lain yang semuanya diterjemahkan berhala di dalam TB LAI dan idol di dalam Alkitab teks Inggris (seperti KJV). Kata-kata tersebut adalah aven, yang juga berarti kekosongan atau kehampaan (Ul. 32:21; Yes. 41:29; 66:3; 1 Raj. 16:13; Mzm. 31:6; Yer. 8:19); Emah, yang secara harfiah berarti terror (Yer. 50:38); Miphletzeth, suatu ketakutan, horor (1Raj.15:13; 2 Taw. 15:16); Bosheth, yang secara harfiah berarti memalukan atau hal yang memalukan (Yer.11:13; Hos. 9:10) yang menggambarkan penyembahan kepada Baal; Shikkuts, berarti jijik atau najis (Yeh. 37:23; Nah. 3:6); Semel yang berarti keserupaan atau gambar ukiran (Ul. 4:16); Tselem, yang berarti gambar atau bayangan (Dan. 3:1; 1 Sam. 6:5); Temunah, berarti keserupaan (Ul. 4:12-19); Atsab yang berarti suatu figure yang berasal dari akar kata bekerja yang menunjukkan bahwa berhala-berhala adalah hasil pekerjaan manusia (Yes. 48:5; Mzm. 139:24); Tsir yang berarti sebuah bentuk (Yes. 45:16); Massekah, yang berarti patung tuangan (Ul. 9:12; Hkm.17:3, 4); Teraphim, bentuk jamak yang berarti gambar-gambar, ilah keluarga yang disembah oleh keluarga besar Abraham (Yos.24:14; Hkm.17:5; 18:14, 17, 18, 20; 1 Sam.19:13) (Easton Bible Dictionary, entri idol).
Dari semua kata yang digunakan, dapat dijelaskan secara singkat bahwa berhala menurut Perjanjian Lama adalah patung-patung berbagai macam buatan tangan manusia yang mencitrakan suatu ilah atau ilah-ilah tertentu dan kemudian disembah manusia. Berhala-berhala tersebut adalah palsu – bukan Allah yang sejati sehingga menyembah berhala-berhala tersebut adalah sebuah kesiasiaan dan kekosongan.

PERDUKUNAN
Kata perdukunan tidak muncul sama sekali di dalam Alkitab. Sementara kata dukun hanya muncul satu kali di dalam Alkitab, yaitu Yehezkiel 13:18. Di dalam teks ini disebut ‘dukun-dukun perempuan’. Di dalam teks Ibrani, frasa tersebut adalah tafar (rpt) yang berarti menjahit. Secara bebas, di dalam teks tersebut diterjemahkan ‘wanita-wanita yang menjahit’ karena memang yang menjahit pada jaman itu adalah para wanita. Tetapi LAI menerjemahkan sebagai ‘duku-dukun perempuan’ berhubung teks tersebut secara tidak langsung berbicara mengenai perbuatan dukun.
Namun, itu berarti bahwa teks Alkitab tidak memuat kata dukun. Walaupun begitu, ada istilah-istilah lain yang serupa fungsinya dengan dukun. Kata-kata yg sejajar dg itu a.l. orang bijaksana(Ibr.: \ykj khakiym, harf.: orang bijak), ahli jampi (Ibr.: [cs asyaf, harf.: ahli astrologi), orang berilmu (\trj khartom, harf.: penyihir) ahli nujum (rzg gezar, harf.: peramal), (Dan.2:27; 4:7; 5:7, 11). Dan ada banyak istilah lain.
Ulangan 18:10-13 menjelaskan beragam istilah dan mengapa umat Israel tidak boleh terlibat dengan hal-hal tersebut:

“Di antaramu janganlah didapati seorangpun yang mempersembahkan anaknya laki-laki atau anaknya perempuan sebagai korban dalam api, ataupun seorang yang menjadi petenung, seorang peramal, seorang penelaah, seorang penyihir, seorang pemantera, ataupun seorang yang bertanya kepada arwah atau kepada roh peramal atau yang meminta petunjuk kepada orang-orang mati. Sebab setiap orang yang melakukan hal-hal ini adalah kekejian bagi TUHAN, dan oleh karena kekejian-kekejian inilah TUHAN, Allahmu, menghalau mereka dari hadapanmu. Haruslah engkau hidup dengan tidak bercela di hadapan TUHAN, Allahmu”.

Petenung, peramal, penelaah, penyihir, pemantera, pemanggil roh orang mati, roh peramal, yang disebut di atas adalah beragam bentuk perdukunan. Dan masih banyak bentuk ataupun penamaan lain yang mencakup perdukunan. Dan Allah membenci semua hal tersebut. Hal tersebut berlaku dahulu dan juga sekarang.

Penutup
Ketika Allah membawa Israel keluar dari Mesir, di Sinai Ia memberikan perintah yang jelas “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku” (Kel. 20:3). Penyembahan kepada Baal, berhala ataupun ilah-ilah lain adalah pelanggaran kepada perintah pertama. Dalam hal ini bukan sekadar melanggar hukum tetapi bahwa Baal, berhala dan ilah-ilah lain adalah allah-allah palsu. Menyembah mereka sama dengan menyembah allah-allah palsu yang sesungguhnya tidak ada, karena hanya ada satu Allah dan satu Tuhan, yaitu Allah semesta alam di dalam Tuhan Yesus Kristus.

Sabbath: Saturday or Sunday or Everyday?

SABAT ATAU HARI TUHAN

Pendahuluan
Apakah menjadi masalah hari apa yang kita rayakan – atau bahkan apa perlu kita mengkhususkan satu hari tertentu? Apakah Alkitab menetapkan hari Minggu sebagai hari Tuhan? Apakah Sabat diberikan bagi orang-orang Yahudi saja – sementara orang-orang Kristen diperintahkan untuk memelihara hari Minggu sebagai hari Tuhan?
Tanpa keraguan, kebanyakan orang Kristen menerima hari Minggu sebagai hari Tuhan Perjanjian Baru. Orang-orang Muslim hari Jumat. Beberapa agama tidak memelihara hari apapun. Tetapi ada orang-orang yang bersikeras bahwa hari Sabat masih mengikat. Namun demikian, hanya sebagian kecil yang memelihara hari Sabat secara serius – bahkan mayoritas besar kekristenan mengabaikan pertanyaan ini. Sebagai sebuah fakta berkaitan dengan hal ini, di seluruh dunia, di mana sedang terjadi kebangkitan agama-agama, termasuk kekristenan, kelompok Adventis kehilangan 1.5 juta anggota sejak lima tahun terakhir (www.exadventist.com - August 15, 2007). Bukti lain bahwa kebanyakan orang Kristen kurang memperhatikan topik ini –Sabat atau Minggu- terlihat dari banyaknya situs internet dari kelompok yang pro-Sabat sementara hampir tidak ada (jarang sekali) situs dari pro-Minggu.
Apa yang Alkitab katakan mengenai Sabat? Apakah hari Minggu yang benar, ataukah hari Sabtu?

Terminologi
‘Sabat’,dalam bahasa Inggris adalah Sabbath, berasal dari kata shabbat (Ibrani), yang berarti ‘berhenti’ atau ‘beristirahat’. Padanan dalam bahasa Yunani adalah Sabbaton dan Latin adalah Sabbatum.

Teks-teks Alkitab menyangkut Sabat
Hari Sabat adalah hari istirahat yang dikuduskan oleh Tuhan (Kel. 16:23; 31:15; Bil. 5:14). Semua pekerjaan dilarang, yang berlaku baik atas orang-orang Israel maupun orang-orang asing, binatang maupun manusia. (Kel. 20:8-10; Bil 5:12-14). Hal-hal berikut ini terlarang: memasak (Kel. 16:23); mengumpulkan manna (16:26 dst); menabur dan menuai (34: 21); menyalakan api (untuk memasak, 35:3); mengumpulkan kayu (Bil. 15:32.); mengangkut beban (Yer. 17:21-22); memeras anggur, membawa hasil tani, dan membawa ternak (Neh.13:15); berdagang (Ibid, 15).
Berjalan, dengan alasan agamawi, tidak dilarang, larangan dalam Kel. 16:29, mengacu hanya keluar untuk mengumpulkan makanan;ditetapkan dalam pengudusan hari-hari raya (Im.23:2-3), dan merupakan hal yang umum pada zaman raja-raja (2 Raj 4:23). Pada zaman kemudian, semua gerakan dibatasi hingga jarak 2000 hasta (1 hasta setara dengan jarak sekitar 45 cm. 2000 hasta berarti 900m/tidak sampai 1 km).atau disebut juga ‘seperjalanan Sabat’ (Kis.1:12).
Perhentian total dari bekerja hanya ditujukan untuk Sabat dan Hari Penebusan (Kel.12:16; Im. 23:7 dst). Pelanggaran dengan sengaja atas Sabat akan dihukum mati (Kel.31:14-15; Bil.l15:32-36). Larangan bekerja dibuat agar dapat mempersiapkan makanan, dan apapun yang diperlukan, sehari sebelum Sabat, yang dikenal sebagai hari persiapan (Paraskeue; Mat. 27:62; Mrk. 15:42, dll). Selain tidak boleh bekerja, kegiatan-kegiatan agamawi khusus harus dilakukan: (a) persembahan korban harian digandakan, di mana dua ekor anak domba usia setahun tanpa cacat dipersembahkan di pagi hari, dan dua di sore hari dan dua kali lipat jumlah tepung untuk korban sajian dari biasanya (Bil. 28:3-10); (b) roti-roti sajian yang baru baru ditempatkan di hadapan Tuhan (Im. 24:5; 1 Taw. ; 9:32). (c) Pertemuan ibadah harus diadakan (Im.23:23; Yeh.46:3). Ibadah di sinagoge mulai ada setelah pembuangan.

Makna Sabat
Sabat adalah pengudusan satu hari dari masa satu minggu kepada Allah sebagai Pencipta alam semesta dan waktu. Hari tersebut dengan demikian adalah hari Tuhan, yang mensyaratkan manusia untuk tidak bekerja untuk tujuan dan kepentingannya sendiri, karena dengan bekerja, ia akan menujukan hari tersebut bagi dirinya sendiri, dan pada hari Sabat ia akan mengabdikan semua kegiatannya kepada Allah dengan tindakan-tindakan ibadah yang positif. Setelah perjanjian Sinai, Allah berdiri di hadapan Israel sebagai Tuan atas perjanjian tersebut (Israel sebagai umat). Hari Sabat dengan demikian menjadi tanda dan pemeliharaannya adalah suatu peneguhan atas pakta dalam Keluaran 31:13.
Tetapi sementara Sabat adalah hari agamawi, ia memilih sisi sosial dan humanitarian. Itu juga ditujukan sebagai hari istirahat, khususnya untuk para budak (Bil. 5:14). Karena karakter ganda, agamawi dan filantropis, dua alasan yang berbeda diberikan untuk pemeliharaan hari itu. Yang pertama berasal dri beristirahatnya Allah pada hari ketujuh penciptaan (Kel. 20:11;31:17).Ini tidak berarti bahwa Sabat dibentuk pada saat penciptaan, tetapi bahwa orang-orang Israel harus meniru (to imitate) teladan Allah dan beristirahat pada hari di mana Ia telah kuduskan dengan beristirahat. Sabat sebagai tanda perjanjian Sinai menyinggung kelepasan dari perbudakan Mesir. Dengan demikian dalam sisi yang kedua, org23 Israel diikat untuk mengingat bahwa mereka dahulu adalah budak di Mesir dan dengan demikian harus beristirahat dengan ingatan penuh syukur dan mengijinkan budak-budak mereka untuk beristirahat (Bil. 5:14-15). Sebagai peringatan akan berkat-berkat Allah atas Israel hari Sabat seharusnya menjadi hari sukacita (Yes. 57:13) dan harus dipraktekkan demikian (Hos. 2:11; Rat. 2:6). Namun, di hari Sabat tidak ada puasa (Yudit 8:6).

Asal-mula Sabat
Hari Sabat pertama kali ditemukan dalam kaitan dengan pemberian manna (Kel. 16:22 dst), tetapi itu muncul sebagai sesuatu yang sudah dikenal oleh orang-orang Israel (Keluaran 16:22 dst). Hukum Sinai dengan demikian memberikan desakan hukum akan suatu tradisi yang sudah ada. Asal-mula kebiasaan ini tidak jelas. Ia tidak diadaptasi dari Mesir. Beberapa tahun terakhir suatu penemuan dari Babilonia ditemukan. Terdapat di sana sebuah loh batu dengan tulisan yang menyinggung kata shabbatu yang setara dengan um nuh libbi (dalam bahasa mereka), yang adalah ‘hari menyenangkan hati dewa-dewa’. Terdapat kalender di Babel antara bulan Elul dan Markhesyan disebutkan tanggal ketujuh, #14, #21, #28, dan #19, yang terakhir mungkin karena hari #49 (7x7) dari awal bulan pertama, sebagai hari-hari di mana raja, dukun dan tabib tidak boleh melakukan perbuatan tertentu. Hari-hari ini adalah Shabattu, yang sejajar dengan Sabat. Namun, hari-hari ini mengikuti fase-fase bulan, sementara Sabat Yahudi adalah perayaan mingguan tanpa kaitan dengan bulan.

Pemeliharaan Sabat
Pelanggaran-pelanggaran hari Sabat sering terjadi sebelum dan setelah pembuangan (Yer 17:19 dst, Yeh 20:13, 16, 21, 24; 22:8, 38); itu sebabnya para nabi memberikan penekanan yang besar pada pemeliharaan yang tepat (Amos 8:5; Yes 1:13; 57:13-14; Yer 17:19; Yeh 20:12 dst). Setelah Restorasi bait Allah, hari tersebut menjadi begitu profan dan Nehemia sulit menghentikan pelanggaran tersebut (Neh13:15-22). Tidak lama, sebuah gerakan dibuat untuk menegakkan pemeliharaan yang hati-hati yang beranjak begitu jauh dari hukum tersebut. Pada masa Makabe orang-orang Yahudi yang setia membiarkan diri mereka dibunuh daripada berperang pada hari Sabat (1 Makabe 2:35-38); Mathathias dan para pengikutnya menyadari kekonyolan kebijakan seperti itu dan memutuskan untuk membela diri mereka jika diserang pada hari Sabat, meskipun mereka tidak akan menyerang (1 Makabe 2:40-41; 2 Makabe 8:26).

Sabat dalam Perjanjian Baru
Kristus, sementara memelihara Sabat, menentang pelaksanaan yang kaku di mana manusia menjadi budak hari tersebut. (Matius 23:4), dan menyerukan prinsip "Sabat untuk manusia bukan manusia untuk Sabat " (Mark 2:27). Ia memulihkan Sabat, dan membela murid-muridNya. Dalam argumentasiNya, Ia menunjukkan bahwa Sabat tidak dilanggar dalam kasus-kasus yang perlu dan untuk menolong (Mat 12:3 sqq.; Mark 2:25 sqq.; Luk 6:3 sqq.; 14:5).
Paulus mendaftarkan sabat di antara aturan Yahudi yang tidak wajib bagi orang-orang Kristen (Kolose 2:16 Galatia 4:9-10; Roma 14:5). Orang-orang non-Yahudi mengadakan pertemuan-pertemuan pada hari pertama tiap minggu (Minggu) (Kisah Rasul 20:7; 1 kor 16:2). Dan dengan lenyapnya gereja-gereja Kristen Yahudi hari Minggu dipelihara sebagai hari Tuhan
Ada beberapa teks Alkitab dalam Perjanjian Baru yang berkaitan dengan Sabat:
• Matius 24:14-20: Di dalam perikop ini, Yesus menyarankan di dalam ayat 20 agar setiap orang berdoa “supaya waktu kamu melarikan diri itu jangan jatuh pada musim dingin dan jangan pada hari Sabat”.
• Markus 2:23-28: Yesus dan murid-muridNya memetik bulir-bulir gandum pada hari Sabat, dan dengan kasar dikritik oleh orang-orang Farisi. Yesus menjawab bahwa ketika Raja Daud lapar, ia memakan roti sajian di Rumah Allah. Yesus menyimpulkan dengan perkataan bahwa Sabat dibuat untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, maksudnya, kebutuhan-kebutuhan personal diutamakan.
• Markus 3:1-5: Di dalam perikop ini dan banyak perikop Injil lainnya, Yesus dengan tajam dikritik oleh orang-orang Farisi karena Ia menngambil makanan dan menyembuhkan orang pada hari Sabat. Yesus memelihara hari Sabat, tetapi mengkritik hukum dan peraturan orang-orang Farisi yang terlalu ketat menyangkut hari istirahat. Ia menekankan di seluruh pelayananNya sebuah tujuan yang berbeda bagi Sabat: sebuah hari yang seharusnya dinikmati oleh orang-orang percaya, dan suatu waktu di mana banyak aktivitas normal – khususnya yang menolong orang-orang lain – boleh dilakukan.
• Lukas 4:16: Yesus digambarkan sedang memasuki sinagoge pada hari Sabat, dan mengajar di sana, sebagaimana kebiasaanNya. Perikop yang serupa muncul di dalam Mrk 1:21, Mrk 6:2, Luk 4:31, Luk 6:6, Luk 13:10, dan Yoh 5:14.
• Luk 23:56: Para wanita pengikut Yesus “beristirahat menurut hukum Taurat” pada hari Sabat setelah Yesus mati di kayu salib. Di dalam Mrk 16:1, tiga wanita pengikut Yesus menunggu sampai hari Sabat berakhir ketika matahari terbenam di hari Sabtu sebelum membawa rempah-rempah untuk mengurapi tubuh Yesus.
• Kis 13:14: Paulus dan Barnabas pergi ke sinagoge pada hari Sabat di Antiokhia (Lih Kis 16:13; 17:2; 18:4).

Mengapa Kita tidak Merayakan Hari Sabat
Apakah Allah telah mengesahkan perubahan Sabat? Terdapat perbedaan yang jelas antara Sabat sebagai sebuah institusi dan hari khusus yang ditetapkan untuk melaksanakannya. Pertanyaannya, dengan demikian, adalah perubahan hari tidak mempengaruhi kewajiban terus-menerus akan Sabat sebagai sebuah institusi. Perubahan hari, atau tidak, Sabat tetap merupakan sebuah lembaga yang sacral yang sama. Itu tidak dapat dihapuskan. Sebelum membahas lebih jauh di PB, adalah baik bila melihat kembali kitab pertama dalam PL..
Kej 2:2-3 berbunyi demikian: “Ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuatNya itu, berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang dibuatNya itu, berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah dibuatNya itu. Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuatNya itu”.
Allah beristirahat karena pekerjaanNya telah selesai. Itu adalah satu-satunya alasan yang dapat dipertahankan. Allah beristirahat karena pekerjaanNya bukan hanya telah selesai tetapi baik. Tidak ada cerminan akan hal itu. Tetapi ketika pekerjaan sempurna Allah dinodai oleh dosa, dengan “Kejatuhan Manusia”, istirahat SabatNya dirusak. Ketika manusia jatuh, adalah perlu bagi Allah untuk mengulangi karyaNya, kali ini bukan melanjutkan penciptaan benda-benda material, tetapi dengan tujuan penebusan manusia agar ia dapat menjadi seorang ciptaan baru di dalam Yesus Kristus (2 Kor 5:17). Jadi Yesus, dalam menjelaskan misiNya berkata “BapaKu bekerja sampai sekarang [dalam penciptaan], maka Akupun bekerja juga [dalam penebusan]” (Yoh 5:17).
Di dalam Kej 2:1-3, kita hanya diberitahu bahwa Allah beristirahat dari pekerjaan penciptaanNya pada hari Ketujuh. Hari tersebut tidak disebut hari Sabat. Kita diberitahu bahwa Allah memberkati dan menguduskan hari tersebut. Yaitu, dipisahkan sebagai hari Istirahat. Perlu diperhatikan di sini bahwa kita tidak diberitahu panjangnya ‘hari Ketujuh’ dalam Minggu Penciptaan, tetapi itu seharusnya sejajar dengan hari-hari yang lain. Selain itu, perlu diperhatikan juga bahwa kata hari dalam teks Ibrani adalah ‘yom’. Yom seringkali dipakai untuk menandai waktu 1x24 jam. Namun dalam hari Penciptaan, definisi teknis atas yom tersebut tidak mungkin diterapkan, mengingat satu hari adalah masa/waktu di mana bumi berputar pada porosnya yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi dan matahari, sementara matahari diciptakan pada hari keempat. Bumi sendiri, pada Kej 1:2 dikatakan: “Bumi belum berbentuk dan kosong” di mana belum berbentuk dan kosong berasal dari kata tovu wavohu yang berarti kacau-balau. Bumi sudah ada, tetapi kacau-balau.
Jika Allah menetapkan “Sabat” sebelum “Kejatuhan Manusia,” menjadi aneh bahwa fakta tersebut tidak terekam di dalam Kitab Kejadian, dan bahwa Adam tidak diperintahkan untuk memeliharanya. Tidak ada bagian manapun di dalam Kitab Kejadian di mana Adam, atau keturunan-keturunannya, atau Nuh, atau Abraham memelihara hari Sabat. Satu-satunya kejadian di mana terdapat pembagian tujuh-hari ditemukan di dalam kisah air bah, yaitu Kej 7:4, 10, ketika tujuh hari anugerah diberikan sebelum air bah datang, dan Kej 8:8-12, di mana sebuah periode tujuh hari muncul di antara pelepasan burung merpati.
Kejadian pertama di mana Sabat disebut terdapat di dalam Kel 16:23-26, di dalam kaitan dengan pengumpulan manna. “Enam hari lamanya kamu memungutnya, tetapi pada hari yang ketujuh ada sabat, maka roti itu tidak ada pada hari itu”. Di sini ditemukan hari ‘ketujuh’ yang disebut Sabat. Bahwa Hari Ketujuh dari ‘Minggu Penciptaan’ adalah model untuk hari Sabat adalah jelas dari Kel 20:11: “Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya”. Tetapi kita tidak memiliki bukti bahwa Sabat diperintahkan untuk dipelihara hingga setelah Keluaran, dan alasannya adalah jelas. “Hari Istirahat’ Allah dirusak oleh ‘Kejatuhan Manusia’, dan tidak akan ada istirahat hingga penebusan dilakukan, dan ini dilakukan melalui penebusan anak-anak Israel dari MEsir melalui persembahan ‘Domba Paskah’ yang adalah lambang Kristus. Tujuan kelepasan mereka adalah bahwa mereka dapat beristirahat di Kanaan dari penderitaan dan perbudakan di Mesir (Ul 5:15).
Ketika beberapa minggu kemudian ‘Sepuluh Perintah Allah’ diberikan di Gunung Sinai Tuhan berbicara kepada orang-orang Israel “Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat” (Kel 20:8), hari Sabat yang harus mereka ingat bukanlah ‘Hari Ketujuh’ di mana Allah beristirahat, tetapi ‘Hari’ yang telah Allah tetapkan sebagai ‘Hari Sabat’ pada saat pemberian manna.
Perintah untuk memelihara hari Sabat diberikan kepada orang-orang Israel secara eksklusif. Itu tidak diberikan kepada orang-orang non-Yahudi. Itu diberikan kepada Israel sebagai ‘Tanda’ atas Perjanjian Musa. ”Katakanlah kepada orang Israel, demikian: Akan tetapi hari-hari SabatKu harus kamu pelihara, sebab itulah peringatan antara Aku dan kamu, turun-temurun, sehingga kamu mengetahui, bahwa Akulah TUHAN, yang menguduskan kamu” (Kel 31:13; Yeh 20:12, 19-21). Hari Sabat menjadi milik orang-orang Yahudi saja dan tidak mengikat bagi orang-orang kafir (dunia) dan bagi Gereja (orang-orang Kristen). Tidak ada bagian manapun di dalam Alkitab di mana Allah menyatakan bersalah orang-orang atau bangsa, kecuali bangsa Yahudi, yang tidak memelihara hari Sabat. Sebagai suatu ketetapan Yahudi, itu tidak pernah dibatalkan, diubah atau dialihkan ke hari lain, atau kepada umat yang lain.
Jika demikian, maka ‘Sabat’ tidak menjadi milik Gereja, dan tidak perlu dipelihara oleh orang-orang Kristen, karena ‘Hari Sabat’ adalah bagian dari ‘Hukum’, dan orang-orang Kristen tidak di bawah ‘Hukum’, tetapi di bawah ‘Anugerah’ (Rm 6:14). Di dalam suratnya kepada orang-orang Kristen di Galatia, Paulus menentang mereka yang kembali kepada ‘Hukum’, dan menyatakan bahwa mereka yang melakukan demikian berada ‘di bawah kutuk’. Gal 3:10: “Karena semua orang, yang hidup dari pekerjaan hukum Taurat, berada di bawah kutuk. Sebab ada tertulis: ‘Terkutuklah orang yang tidak setia melakukan segala sesuatu yang tertulis dalam kitab hukum Taurat”. Gal 4:9, 10: Tetapi sekarang sesudah kamu mengenal Allah, atau lebih baik, sesudah kamu dikenal Allah, bagaimanakah kamu berbalik lagi kepada roh-roh dunia yang lemah dan miskin dan mau mulai memperhambakan diri lagi kepadanya? Kamu dengan teliti memelihara hari-hari tertentu, bulan-bulan, masa-masa yang tetap dan tahun-tahun”. Jika orang-orang Kristen berada di bawah kewajiban untuk memelihara ‘hari Sabat Yahudi’ maka mereka di bawah ‘Hukum Perayaan’ Yahudi dan harus memelihara semua ketetapan dan hari-hari raya ritual Yahudi. Kol 2:16-17: “Karena itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat; semaunya itu hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus’. Hari Sabat di sini dalam teks Yunani adalah Sabbaton, yang memang mencakup semua bentuk sabat, tetapi terutama berarti hari Sabat. Kata yang sama digunakan di dalam Kel 20:8. Lima teks bahasa Inggris yang penulis baca juga menggunakan Sabbath days.
Sebagai sebuah lembaga Yudaisme, Sabat, dengan semua hari rayanya dan perayaan-perayaan ritualistic dan persembahan Yudaisme lainnya, berhenti berfungsi di penghujung Dispensasi Yahudi. Sabat Yahudi tidak diganti dengan Sabat Kristen, seperti halnya ‘Sunat’ dengan ‘Baptisan’. Tidak ada sama sekali ‘Sabat Kristen’. Sabat berkaitan langsung dan erat dengan Hukum, dan ‘Kristen’ dengan Anugerah, dan menggabungkan ‘Hukum’ dan ‘Anugerah’ adalah menggabungkan apa yang telah Allah pisahkan untuk selamanya.
Setelah Kebangkitan, Kristus dan murid-muridNya tidak pernah bertemu pada hari Sabat, tetapi pada hari pertama Minggu. Adalah benar bahwa mereka pergi ke Sinagoge-sinagoge Yahudi pada hari Sabat, tetapi bukan untuk beribadah, tetapi supaya mereka memiliki kesempatan untuk memberitakan Injil. Hari Pertama minggu adalah hari di mana orang-orang Kristen beribadah dan beristirahat. Fakta bahwa ‘hari kelahiran’ Gereja adalah pada hari Pentakosta, dan itu jatuh pada ‘Hari Pertama Minggu’ adalah bukti lebih jauh bahwa Gereja seharusnya memelihara ‘hari Pertama Minggu’ dan bukan hari’ Ketujuh’ atau ‘Sabat’.
Jika perubahan dibuat, haruslah dilakukan oleh Kristus dengan otoritasNya. Kristus memiliki hak untuk membuat perubahan (Mark 2:23-28). Sebagai Pencipta, Kristus adalah Tuhan atas Sabat yang Asli (Yoh 1:3; Ibrani 1:10). Itu sesungguhnya adalah suatu kenangan atas penciptaan. Sebuah karya yang lebih besar dari penciptaan telah dituntaskan olehNya dengan karya Penebusan. Kita tentulah berharap suatu perubahan seperti itu sehingga Sabat juga menjadi suatu peringatan akan karya yang lebih besar tersebut.
Benar, kita tidak dapat memberikan teks yang meneguhkan perubahan tersebut dalam banyak kata. Kita tidak memiliki hukum yang gamblang yang menyatakan perubahan tersebut. Tetapi terdapat bukti-bukti dalam bentuk lain. Kita tahu akan sebuiah fakta bahwa hari pertama tiap minggu telah dipelihara pada zaman para rasul, dan kesimpulannya adalah bahwa hari itu, Minggu, dipelihara oleh para rasul dan murid langsungnya. Ini, kita yakin sekali, mereka tidak akan melakukannya tanpa perijinan atau otorisasi dari Tuhan mereka.

Hari Tuhan (The Lord’s Day)
Memelihara hari Sabat adalah salah satu dari Sepuluh Perintah Allah (Dekalog). Dekalog adalah sebagian kecil dari Hukum Musa. Korban-korban persembahan dan peribadahan menyeimbangkan Hukum tersebut.
Hukum tersebut tidak pernah ditujukan bagi orang-orang kafir/non-Yahudi (Kel 19, 20). Orang-orang non-Yahudi tidak pernah berada di bawah Hukum Taurat (Ef. 2:11, 12). Memelihara hari Sabat, sebagai bagian dari Taurat, diberikan kepada orang-orang Yahudi, dan hanya kepada mereka saja (Kel. 31:17).
Yesus menggenapi tuntutan Hukum Taurat ketika Ia tergantung di kayu salib (Mat. 5:17). Yesus menebus kita dari kutuk Hukum Taurat ketika Ia tergantung di kayu salib (Gal. 3:13). Menghapuskan segala perintah dan ketentuan Hukum Taurat. Yesus menutup semua perintah Hukum Taurat, termasuk hari Sabat, ketika Ia tergantung di kayu salib (Kol 2:14). Yesus menyingkirkan perseteruan Hukum Taurat ketika Ia tergantung di kayu salib (Ef 2:16). Setiap orang yang berusaha memelihara hari Sabat Yahudi berkewajiban untuk memelihara semua tuntutan Hukum Taurat (Gal 3:10). Ini mencakup perintah peribadatan dan perayaan. Orang-orang Yahudi sendiri tidak dapat memelihara Hukum, karena mereka tidak memiliki lagi Imam Besar duniawi dan tidak ada Bait Suci untuk beribadah.
Hari Minggu, hari pertama dalam sepekan, disebut juga sebagai Hari Tuhan.
1. Adalah pada Hari Pertama Tuhan bangkit dari kubur.
2. Adalah pada Hari Pertama Tuhan menampakkan diri kepada Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus, dan Salome (Mat 28:1-9; Mereka 16:1).
3. Adalah pada Hari Pertama Tuhan Ia menampakkan diri kepada 10 rasul (Yoh 20:19).
4. Adalah pada Hari Pertama Tuhan menghembuskan Roh Kudus kepada para rasul (Yoh 20:22).
5. Adalah pada Hari Pertama Tuhan menampakkan diri kepada Tomas (Yoh 26).
6. Adalah pada Hari Pertama Tuhan naik ke sorga (Luk 24:13, 50).
7. Adalah pada Hari Pertama Tuhan mencurahkan Roh Kudus (Pentakosta – hari kelimapuluh) kepada umatNya (Kis 2:1-13). Pencurahan Roh Kudus adalah awal berdirinya Gereja. Semua Gereja di dunia mengakui bahwa Gereja berawal pada hari Pentakosta.
8. Adalah pada Hari Pertama Petrus sebagai pemimpin Gereja yang ditunjuk langsung oleh Yesus (Yoh 21:17) berkhotbah di depan umatNya dan rakyat Israel (Kis 2:14-36).
9. Adalah pada Hari Pertama terjadi pertobatan massal setelah Petrus berkhotbah.
10. Adalah pada Hari Pertama terjadi baptisan pertama oleh Gereja.
11. Adalah pada Hari Pertama Paulus berkumpul dan memecah-mecahkan roti dengan jemaat di Troas.
12. Adalah pada Hari Pertama Paulus meminta jemaat untuk mengumpulkan uang guna membantu jemaat yg miskin (1 Kor 16:1, 2).
13. Adalah pada Hari Pertama Tuhan memberikan penglihatan yang sangat luar biasa kepada Yohanes (Wahyu 1:10)

Kerja adalah Ibadah

KERJA ADALAH IBADAH

Dalam Alkitab TBLAI, terdapat 203 kali kata ibadah. Sementara untuk kata ‘kerja’ dan turunannya, terdapat sebanyak 533 kali. Sebuah fakta yang mengejutkan, bahwa Alkitab lebih banyak mencantumkan kata ‘kerja’ daripada kata ‘ibadah’. Sebuah fakta lain, kata ‘kerja’ muncul lebih dulu, yaitu di Kejadian. 2:2. Sementara kata ‘ibadah’ baru muncul pada Kel. 3:12.
Saat ini, ‘kerja’ yang hendak dibahas adalah ‘kerja’ sebagai sebuah profesi untuk mencari nafkah. Tetapi sebelumnya, menurut Galatia 6:4:
“Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri; maka ia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri dan bukan melihat keadaan orang lain”.
Ada pekerjaan lain yang tidak berkaitan dengan profesi kita. Dalam Galatia ini, pekerjaan merupakan terjemahan dari kata “ergo” yang berarti:
1. bisnis, usaha, yang dilakukan seseorang
2. suatu produk apapun yang dikerjakan oleh tangan, seni, industri atau pikiran.
3. suatu tindakan atau perbuatan atau sesuatu yang dilakukan
Walaupun arti harafiah ergo adalah pekerjaan profesi, namun Paulus menempatkannya dalam konteks iman seseorang dalam hubungannya dengan orang-orang lain.
Adalah suatu fakta alkitabiah bahwa kata ‘kerja’ pertama kali muncul dikenakan pada entitas Allah, pada diri Allah dan bukan diri manusia (Kejadian. 2:2: “Ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya itu, berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah dibuat-Nya itu”). Dengan kata lain, kerja adalah salah satu hakekat Allah. Ketika manusia bekerja, sesungguhnya itu adalah bagian dari gambar dan rupa Allah yang ia miliki (Kejadian 1:26, 27). Binatang dan mahluk-mahluk lain tidak bekerja. Kerja bukanlah kutukan Taman Eden. Dengan demikian, ketika kita bekerja, kita menjalankan hakekat kita sebagai manusia. Hakekat manusia yang merupakan turunan dari hakekat Allah. Manusia yang tidak bekerja telah kehilangan hakekatnya sebagai manusia. Manusia yang lebih menyukai bermalas-malasan juga telah kehilangan hakekatnya sebagai manusia.
Kerja, ergo, yang dibicarakan Alkitab tidaklah sebatas kerja di kantor. Bekerja di kantor atau perusahaan tempat seseorang bekerja adalah bagian dari ‘kerja’ atau ergo itu sendiri. Ketika Alkitab berbicara mengenai ‘kerja’, maka itu adalah keseluruhan kehidupan kita yang juga merupakan ibadah kita.
Ibadah sendiri dalam PB, dalam teks asli bahasa Yunani berasal dari banyak kata, setidaknya sembilan kata, yaitu:
1. Proskuneo: di antara orang-orang Timur khususnya orang-orang Persia, proskuneo berarti bersujud dengan lutut menyentuh tanah dan menyentuhkan kepala atau dahi ke tanah sebagai suatu ungkapan penghormatan atau pemuliaan yang mendalam.
2. Sebomai: menghormati, yaitu, mengagungkan. Lebih kepada pengabdian, keagamaan, ibadah.
3. Doxa: dalam PB selalu diartikan sebagai suatu opini atau pandangan yang baik akan seseorang yang menghasilkan pujian, penghormatan dan pemuliaan terhadap seseorang tersebut.
4. Latreuo: Melayani, mengabdi baik kepada dewa-dewa ataupun manusia dan digunakan baik kepada budak-budak maupun orang-orang merdeka.
5. Eusebeuo: Bertindak dengan penuh pengabdian kepada Allah, negara, majikan, keluarga, dan semua.
6. Ethelothreskeia: ibadah asketis yang dilakukan sukarela
7. Diakonia: pelayanan orang-orang yang diberikan kepada orang-orang lain yang menampilkan belas kasihan Kristen terutama mereka yang membantu memenuhi kebutuhan orang-orang dengan mengumpulkan dan membagikan bantuan atau sumbangan.
8. Leitourgia: Sebuah pelayanan atau ibadah imam-imam yang secara relatif berkaitan dengan doa-doa dan korban-korban persembahan yang diberikan kepada Allah dan juga suatu persembahan atau dukungan untuk kelegaan orang-orang yang membutuhkan.
9. Douleuo: menjadi seorang budak, melayani atau sebuah negara yang mengabdi kepada negara lain (dijajah). Secara metaforis berarti mematuhi, menyerahkan diri; dalam pengertian yang baik, memberikan pengabdian.
Jelas bahwa ibadah memiliki makna jauh lebih luas dari sekadar kebaktian Kristiani. Ibadah mencakup keseluruhan kehidupan kita.
Dengan demikian, bila dikaitan ke dalam dunia kerja dan profesi, maka seharusnyalah seorang Kristiani (a) menunjukkan imannya di mana saja dan kapan saja, bukan dalam rangka sok suci, tetapi bagian dari hidup yang memuliakan Allah. Amsal 15:17 menyatakan: “Lebih baik sepiring sayur dengan kasih dari pada lembu tambun dengan kebencian”.
Orang-orang percaya harus mulai belajar menjalani hidup yang sederhana di dalam kebenaran Allah. Berkat Allah tidak identik dengan kaya raya. Tanpa tendensi untuk menghakimi tetapi justru berusaha menyatakan secara jujur dan mengajak orang-orang untuk jujur terhadap diri sendiri, adalah sangat sulit sekali -khususnya di Indonesia- menjadi kaya raya secara benar;
(b) Menjadi pelayan terhadap sesama. Atasan harus mendapat penghormatan yang tinggi dari bawahan, sebaliknya atasan juga memberikan penghormatan yang tinggi kepada bawahan. Kepada para bawahan, Ia berkata: “Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia dengan takut dan gentar, dan dengan tulus hati, sama seperti kamu taat kepada Kristus, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan hati orang, tetapi sebagai hamba-hamba Kristus yang dengan segenap hati melakukan kehendak Allah, dan yang dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan dan bukan manusia” (Efesus 6:5-7). Kepada para atasan, Ia berkata, “Dan kamu tuan-tuan, perbuatlah demikian juga terhadap mereka dan jauhkanlah ancaman. Ingatlah, bahwa Tuhan mereka dan Tuhan kamu ada di sorga dan Ia tidak memandang muka” (Efesus 6:9);
(c) Bekerja bukan untuk manusia tetapi untuk Tuhan. “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya” (Kolose 3:23-24);
(d) Bertindak dan berperilaku yang murni, dan bukan sekadar moralis. Pilihan-pilihan benar, termasuk dalam pengambilan-pengambilan keputusan, yang dilakukan seorang percaya, dilakukan bukan karena ia seorang yang moralis, melainkan karena kemurnian hati yang ia miliki oleh karya Roh Allah;
(e) Menjadi saluran berkat dari berkat yang diperoleh, karena semuanya adalah milik Tuhan. Kolose 3:12 menyatakan: “Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran”.

Belajar Mengampuni

BELAJAR MENGAMPUNI


Setiap orang di dunia ini pasti pernah melakukan kesalahan; pernah berbuat salah. Ketika seseorang tersebut melakukan kesalahan, kadangkala ia hanya merugikan dirinya sendiri. Misalnya, ketika ia melanggar lampu lalu lintas. Kerugian yang timbul hanyalah bagi dirinya sendiri. Ia harus ditilang, harus mengikuti sidang, atau setidaknya harus ke kantor polisi untuk mengurus tilangnya. Dalam beberapa hal, mungkin sekali memang hanya dirinya sendiri, ketika ia berbuat salah, yang dirugikan.
Tetapi seringkali ketika seseorang melakukan kesalahan atau berbuat salah, ia melakukannya terhadap orang lain. Ia berbuat salah, atau berbuat jahat kepada orang lain. Atau setidaknya, tindakannya merugikan orang lain. Ada dampak yang merugikan yang diterima oleh orang lain.
Perbuatan jahat atau perbuatan salah yang seseorang lakukan terhadap orang lain, atau kerugian dan dampak negatif yang orang lain terima karena perbuatan salah seseorang, bisa saja tidak digubris oleh sang korban. Tetapi seringkali yang terjadi di dalam kehidupan adalah, kerugian dan dampak negatif itu bukan hanya dialami secara fisik, semisal kerugian keuangan, tenaga, waktu, dll. Kerugian dan dampak negatif itu bisa membekas secara emosional dan mempengaruhi jiwa seseorang. Untuk itu, jelas bahwa pelaku perlu diampuni dan korban perlu untuk mengampuni.
Pada kondisi tertentu, ternyata, pelaku kejahatan atau orang yang berbuat salah sangat membutuhkan pengampunan. Ini berarti ia berada dalam keadaan di mana perasaan atau jiwanya menuduh dan mendakwanya. Ia dikuasai oleh perasaan bersalah. Hatinya mendakwa dirinya sendiri.
Bila keadaan jiwa seperti ini tidak segera ditangani dengan tuntas, akan berdampak luas di dalam kehidupannya. Contoh paling mudah adalah: Don Juan. Ia begitu mencintai seorang wanita. Kemudian ia berbuat jahat dan wanita itu meninggalkannya. Don Juan patah hati. Ini membuatnya kemudian berusaha mencari cinta namun tidak menemukan. Akhirnya ia menjadi seorang playboy. Itu sebabnya bila ada pria begitu senang gonta-ganti wanita, ia diberi cap Don Juan. Banyak pria seperti ini. Belum lagi contoh-contoh yang lain.
Pengampunan yang sejati dan tulus yang disertai oleh pertobatan sang pelaku akan menghasilkan perubahan dan pemulihan yang luar biasa.
Demikian pula, jelas bahwa korban perlu mengampuni. Ketika seseorang mengalami kerugian yang sampai membekas atau bahkan menimbulkan luka di batinnya, ia akan dikuasai oleh amarah, dengki, benci dan dendam. Seringkali perasaan-perasaan negatif seperti ini disertai dengan reaksi fisik. Bisa berupa suara, bisa berupa tindakan-tindakan tertentu. Namun ada banyak orang yang berusaha mengendalikan reaksi fisiknya. Seakan-akan ia tidak terluka secara emosi, karena tidak nampak secara fisik. Padahal sesungguhnya ia sangat terluka. Seringkali orang-orang berusaha mengendalikannya dengan memendam perasaan-perasaan tersebut.
Bila hal ini juga tidak ditangani dengan tuntas, akan berdampak luas di dalam kehidupannya. Emosi-emosi negatif bila terus-menerus dipendam suatu saat akan mencapai klimaksnya dan meledak. Ledakan timbunan emosi-emosi yang negatif ini dapat terjadi ketika ia mengalami suatu kejadian yang begitu melukainya. Selama ini ia telah berusaha memendam dan berhasil. Tetapi kali ini tidak. Terjadilah ledakan itu dan ia mengamuk.
Ledakan timbunan emosi-emosi negatif ini juga dapat berbentuk munculnya ketidakseimbangan zat kimiawi yang mengendalikan seluruh kinerja tubuh sehingga mengakibatkan munculnya sakit-penyakit. Bisa saja mengakibatkan tekanan darah tinggi, gula darah yang tidak stabil, penyakit jantung, asam urat,bahkan kanker. Selain karena asupan makanan yang tidak sehat, penyakit-penyakit tersebut juga ditimbulkan oleh kondisi jiwa yang tidak sehat.
Belum lagi trauma-trauma yang diakibatkan luka-luka batin atau emosi. Pada tingkatan tertentu, luka-luka batin membuat seseorang trauma sehingga secara tidak sadar membatasi dirinya untuk tidak melakukan hal-hal tertentu di kehidupannya selanjutnya. Terjadi mind-block. Pikirannya secara tidak sadar memblokade dirinya sehingga ia tidak mau melakukan sesuatu hal tertentu. Misalnya, pada tingkat yang cukup parah, bila seorang wanita sejak masa kecilnya melihat ayahnya sering memukuli ibunya, ia di kemudian hari dapat bertumbuh sebagai wanita yang tidak ingin menikah, atau bahkan, lebih para lagi, tidak menyukai lawan jenis. Bila ini terus dikembangkan secara negatif, akan membuat ia menjadi seorang lesbian.
Jelas bahwa pengampunan yang tulus harus diberikan. Ketika seseorang terluka, baik ringan ataupun parah, ia harus segera mengampuni. Ini sesuai dengan apa yang Mazmur katakan bahwa sebelum matahari terbenam kita sudah harus mengampuni orang yang bersalah.
Secara rohani, Tuhan menegaskan bahwa kita harus mengampuni orang yang bersalah. Dasarnya adalah bahwa kita semua adalah orang-orang yang berdosa dan bersalah. Kita semua harus dihukum. Namun Tuhan telah mati ganti kita. Ia menggantikan kita menebus dosa-dosa kita semua. Ia melakukannya secara universal. Tidak ada anak emas atau anak tiri, apalagi anak pungut. Namun tolok ukur di mana apakah kita dapat memperoleh pengampunan itu adalah ketika kita juga mau mengampuni orang yang bersalah kepada kita, sebesar apapun kesalahan itu.
Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu” (Mat. 6:14, 15)

Bahkan bila kita hendak menyembah Allah dan bersekutu dengan Dia, mengampuni orang-orang lain yang bersalah harus dilakukan terlebih dahulu sebelum kita melakukan hal-hal lain. Karena menyimpan kesalahan orang-orang lain adalah suatu kejahatan di hadapan Allah dan itu membuat kita najis di hadapan Allah, seberapapun indahnya pujian penyembahan yang kita lantunkan.
Ini sejalan dengan yang Tuhan maksudkan dalam ucapan bahagia keempat: “Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan” (Mat. 5:7). Orang yang murah hati, termasuk mau mengampuni, akan beroleh kemurahan, termasuk pengampunan Allah dan juga dari sesama.
Tuhan memberikan gambaran yang luar biasa indah di dalam Matius 18. Dalam pasal ini Tuhan memberikan suatu perumpamaan. Seorang raja mengampuni (menghapuskan) hutang seorang bangsawan karena hutangnya begitu besar sementara bangsawan tersebut tidak dapat melunasinya. Ia berhutang sepuluh ribu talenta. Talenta (Yun.: talanton) adalah ukuran mata uang pada zamannya yang berbeda nilainya tergantung pada daerahnya. Bagi orang Yunani satu talenta sama dengan 60 mina atau 6000 dinar (yun.: drachma. Satu dinar adalah upah pekerja satu hari. Sekarang, tukang bangunan setidaknya dibayar satu hari Rp. 40.000,-). 10.000 talenta berarti 60. juta dinar = setidaknya dengan 2,4 triliun rupiah (versi I). Masih lebih besar daripada nilai yang dikorupsi oleh Adrian Waworuntu (‘hanya’ 1,7 triliun).
Di Israel, bila dikenakan pada logam perak, maka berat satu talenta perak adalah sekitar 45 kg. Bila dikenakan pada logam mulia (emas), maka berat satu talenta emas adalah sekitar 91 kg. Bila mengikuti ukuran berat talenta emas, maka 10 ribu talenta = 910 ribu kg emas. Berapa harganya? 1 gram emas 24 karat sekitar Rp. 90.000,-. Maka 910.000.000 gram = 81,9 triliun (versi II). Lebih besar lagi nilainya. Apa maksud dari perhitungan ini semua? Tidak lain dan tidak bukan adalah bahwa Tuhan Yesus hendak memberikan gambaran bahwa hutang dosa manusia begitu besar dan tak ternilai. Sejujurnya tidak ada orang perorang yang memiliki harta sedemikian banyaknya di muka bumi ini.
Bagaimana dengan kesalahan orang lain terhadap diri kita? Tuhan gambarkan senilai 100 dinar (=Rp. 4.000.000,-) saja. Empa juta rupiah saja. Apakah makna yang Tuhan hendak sampaikan? Betapapun besarnya kesalahan orang-orang yang bersalah kepada kita, sekali lagi, betapapun atau seberapapun besarnya, nilainya tidak lebih dari angka tersebut. Artinya, betapapun besarnya kesalahan dan dosa orang atau orang-orang lain kepada kita, dosa kita kepada Tuhan sangat jauh lebih besar daripada itu. Bila Tuhan mau mengampuni, maka kita juga wajib untuk mengampuni. Sudah selayaknya demikian.
Kini, bandingkanlah kedua jumlah itu. Manusia berhutang kepada Allah sebesar Rp. 2,4 triliun (versi I) atau Rp. 81,9 triliun (versi II). Sementara, seberapapun besar kesalahan orang-orang lain, di mata Allah, itu tidak lebih dari 4 juta Rp.
Mengapa sedemikian berbeda? Di mana letaknya? Letaknya adalah dosa atau hutang manusia kepada Allah berdampak kekal. Hutang sesama manusia hanya berlaku di bumi. Namun bila kita tidak mengampuni, akan memberikan akibat yang kekal, yaitu kehilangan berkat pengampunan Tuhan yang bersifat kekal itu.
Ketika kita tidak mau mengampuni kesalahan orang, ada algojo yang datang mendera kehidupan kita. Dan dikatakan bahwa algojo-algojo itu akan mendera sampai hutangnya dilunaskan. Dua tafsiran dapat diberikan untuk teks tersebut. Pertama, bila kita tidak mau mengampuni, algojo itu akan mendera sampai akhirnya kita mau mengampuni. Ini dapat berupa sakit-penyakit, masalah kejiwaan, dll., yang akan tuntas bila kita mau mengampuni.
Kedua, ini bisa berkaitan dengan neraka. Bila sampai mati kita tidak mau mengampuni, maka akan ada algojo-algojo yang mendera kita sampai hutang kita lunas. Kapan lunasnya? Tidak akan pernah lunas alias kekal karena sudah tidak ada kesempatan untuk mengampuni.
Kedua bentuk tafsiran tersebut dapat diterima. Pilih yang mana? Mengampuni sekarang juga setiap hari, mengampuni setelah mengalami berbagai macam masalah, atau membiarkan sampai tiba kekekalan?
Jiwa yang sehat adalah jiwa yang dibangun dengan kesadaran setiap hari mengampuni dan diampuni (bila memang ada yang perlu mengampuni dan diampuni), sehingga dengan demikian, iblis tidak memiliki tempat pijakan dalam kehidupan anda dan saya.

Kemurnian Hati

KEMURNIAN HATI


Dari seluruh Alkitab frasa ‘hati yang murni’ muncul hanya enam kali, yaitu Mazmur 24:4, Kisah Rasul 23:1, Kisah Rasul 24:16, 1 Timotius 1:5, 1 Timotius 1:19 dan 2 Timotius 1: 3. Masing-masing memiliki konteksnya sendiri. Kita akan menggabungkan semua pemahaman yang ada tentang hati yang murni dan membuat suatu konsep alkitabiah tentang kemurnian hati atau hati yang murni.
Sebelum membahas konsep tersebut, adalah perlu untuk memahami terminologi kata tersebut. Hati di dalam teks Ibrani adalah lev dan Yunani adalah kardia. Kedua kata tersebut secara harfiah berarti jantung. Tentu kita ingat istilah kardiologi (ilmu kedokteran tentang jantung). Istilah ‘hati’ digunakan penerjemah LAI sebagai terjemahan bebas atas levi dan kardia karena tidak tepat bila diterjemahkan ‘jantung’. Baik lev, kardia maupun heart (Inggris) menunjuk dua hal, yaitu jantung sebagai organ tubuh yang memompa darah sekaligus unsur batiniah manusia. Di dalam hal ini, istilah yang sesuai untuk bahasa Indonesia adalah ‘hati’ dan bukan ‘jantung’.
Dan ‘hati’ atau lev dan kardia ketika digunakan di dalam Alkitab, bila tidak menunjuk kepada organ tubuh manusia, berarti atau digunakan untuk menunjuk kepada manusia seutuhnya. ‘Hati’ adalah suatu ungkapan yang dipergunakan Alkitab untuk mengungkapkan segi hidup manusia yang tidak nampak, yang tersembunyi di belakang yang tampak, yang menjadi asas pribadi manusia. Dengan hatinya manusia dapat mengetahui, dapat mengerti dll. Dengan ungkapan hati ini Alkitab juga menunjuk kepada manusia dalam keseluruhannya (atau keutuhannya) dari segi batin. Hati dengan demikian adalah batin manusia.
Terdapat 24 kata di dalam teks Ibrani (menurut kamus BDB) dan 18 kata di dalam teks Yunani (menurut Thayer) yang berarti atau terkait dengan ‘murni’. Dan dari 42 kata tersebut, secara ringkas kata ‘murni‘ dapat didefinisikan sbb.: “terpisah, bersih, tidak tercampur unsur-unsur lain, tanpa cacat dan noda, tulus, tidak curang, tidak licik, lurus, halal, tanpa pengaruh dosa, bersih secara moral, bersinar, benar, bersih dari kesalahan, bebas dari hukuman, utuh atau sempurna”.
Hati yang murni, dengan demikian secara etimologis adalah batin yang lurus, benar, bermoral dan bersih dari dosa, kejahatan, kecurangan, kelicikan, cacat, noda dan hukuman”. Dan dalam pembahasan ini tentu yang menjadi tolok ukur atau standar adalah Firman Allah, yaitu Allah. Ketika dikatakan lurus, misalnya, ukurannya adalah Firman Allah. Demikian pula dengan benar, moral dan seterusnya.

Apakah gambaran hati yang murni itu?
Gambaran yang lengkap atau utuh mengenai hati yang murni adalah yang diperagakan oleh Yesus Kristus sendiri. Beberapa contoh dapat disebutkan di sini. Misalnya, ketika Ia bertemu dengan wanita yang ketahuan berzina dan pelacur yang sujud di kaki-Nya. Kedua wanita tersebut memiliki dosa-dosa seksual, tetapi Ia menerima mereka dengan tulus bahkan mengampuni mereka. Ketika Yesus Kristus mengobrak-abrik Bait Allah, Ia mengekspresikan amarah tanpa berbuat dosa. Amarah-Nya hanya karena Bait Allah dilecehkan. Ketika Ia bergumul mengenai sengsara yang Ia hadapi, Ia memilih mengikuti kehendak Bapa dan bukan kehendak-Nya sendiri. Ketika Ia disalib, dengan segala kesempatan dan kemampuan yang dapat Ia lakukan, Ia memilih tidak melawan dan mematuhi rencana Bapa atas-Nya.

Bagaimana memiliki hati yang murni?
Untuk dapat memiliki hati yang murni, seseorang harus bertobat terlebih dahulu. Bertobat di sini adalah percaya kepada Yesus Kristus dan karena percaya itu mengalami perubahan pikiran atau orientasi kehidupan secara menyeluruh. Metanoia secara harfiah berarti perubahan pikiran. Dalam konsep alkitabiah, perubahan ini tidak sekadar dari bergerak ke arah kiri berubah menjadi ke arah kanan, tetapi berubah dari dunia menjadi sorga. Yohanes 3:3 menjelaskannya. Seseorang harus dilahirkan kembali. Teks asli Yunani (Yun.: gennethe anothen) berarti dilahirkan dari atas. Ini untuk membedakan dunia bawah, yaitu bumi dengan dunia atas, yaitu sorga. Seseorang haruslah memiliki sorga sebagai orientasi kehidupan untuk dapat memiliki hati yang murni.
Pertobatan ini memberikan perubahan hati (lih. Yeh. 11:19; 36:26). Menurut teks ini, Allah sendiri yang memberikan hati tersebut, yaitu ketika seseorang bertobat. Allah menyediakan hati yang baru.
Namun, di sisi lain, karena setiap orang percaya telah berubah orientasi kehidupan, ia diminta bertanggungjawab untuk mengubah dirinya. Roma 12:1-3 menegaskan hal tersebut. Dan ada penekanan pada pikiran di sini (budi = nous yang berarti pikiran). Berubah di sini tujuannya adalah untuk tidak menjadi sama dengan dunia.
Perubahan ini berlangsung terus-menerus (2 Kor. 4:16), yaitu setiap hari. Dan tujuan perubahan tersebut adalah menjadi serupa dengan Kristus (Rm. 8:29; Rm. 12:2; 2 Kor. 3:18; Flp. 3:8). Menjadi serupa (summorfos: sun, bersama-sama dan morfe, bentuk atau kodrat, hakekat, berarti ‘menjadi sama bentuk, kodrat atau hakekat’) dengan Kristus berarti memiliki hati yang serupa dengan Kristus; memiliki batin yang serupa dengan Kristus.

Bersyukur kepada Tuhan

BERSYUKUR KEPADA TUHAN
1 Tawarikh 16:34
“Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya”

Apakah bersyukur itu? Bersyukur itu sama dengan mengucapkan terima kasih. Bersyukur kepada Tuhan berarti mengucapkan rasa syukur atau terima kasih kepada Tuhan. Ada banyak sekali landasan kita patut bersyukur kepada Tuhan:
1. Dia adalah pencipta kita. Ada orang-orang tertentu menyesal mengapa Tuhan menciptakan dirinya. Ayub adalah salah satu di antara orang-orang tersebut (lih. Ayub 3:3, 10-12, 16). Sebaliknya, kita perlu mengucap syukur kepada Allah karena Ia menciptakan kita. Jika Alkitab mengatakan bahwa burung-burung berkicau memuji Tuhan, maka manusia harus lebih dari burung-burung di dalam mengucap syukur kepada Tuhan. Mengapa? Karena Tuhan menciptakan manusia, dan hanya manusia dan tiada mahluk, segambar dan serupa dengan Allah; karena hanya manusia yang kepadanya diberikan keistimewaan untuk memiliki relasi dengan Allah. Pertanyaan sederhana yang perlu direnungkan adalah, kapan terakhir kali kita bersyukur kepada Allah karena kita adalah manusia dan bukan hewan? Kapankah terakhir kali kita bersyukur atas segala yang dijadikan-Nya? (Lih Mazmur 139: 14 Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya).
2. Allah adalah baik. Ini adalah karakteristik (kepribadian) Allah. Berbicara tentang karakteristik-karakteristik (kepribadian- kepribadian) Allah, tentu bukanlah hal yang temporer, melainkan permanen; bukan juga kondisional tetapi non-kondisional atau tanpa syarat. Kebaikan Allah adalah sebuah kemutlakan dan tidak disyaratkan oleh kondisi atau keadaan apapun, terlebih oleh kondisi atau keadaan sang ciptaan, yaitu manusia. Dengan demikian, apapun keadaan seseorang, Allah adalah baik baginya. Baik atau buruk, senang atau susah, sehat atau sakit, kaya atau miskin, kuat atau lemah, muda atau tua, terhormat atau tidak, mendapat berkat atau laknat (musibah), Allah adalah baik.
3. Allah adalah penyelamat. I Tawarikh 16:35 menyatakan: “Dan katakanlah: "Selamatkanlah kami, ya TUHAN Allah, Penyelamat kami, dan kumpulkanlah dan lepaskanlah kami dari antara bangsa-bangsa, supaya kami bersyukur kepada nama-Mu yang kudus, dan bermegah dalam puji-pujian kepada-Mu.”
Bagaimanakah kita mengucapkan syukur kepada Allah? (Lihat juga Mazmur 106:47).
1. Melalui perkataan atau ucapan bibir. Ibrani 13:15 menyatakan: “Sebab itu marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya”. Perkataan ini menjadi kesaksian hidup bagi orang-orang lain akan Allah (Lih. 2 Sam 22:50).
2. Melalui nyanyian yang memuji dan memuliakan Tuhan. II Tawarikh 5:13 mencatat: “Lalu para peniup nafiri dan para penyanyi itu serentak memperdengarkan paduan suaranya untuk menyanyikan puji-pujian dan syukur kepada TUHAN. Mereka menyaringkan suara dengan nafiri, ceracap dan alat-alat musik sambil memuji TUHAN dengan ucapan: "Sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya." Pada ketika itu rumah itu, yakni rumah TUHAN, dipenuhi awan”.
3. Melalui perbuatan. (Lih. Mzm. 50:23).

Untuk apakah kita mengucapkan syukur?
1. Karena kita menerima warisan sorgawi. Kita dahulu adalah hamba dosa dan sekarang menjadi pewaris Kerajaan Allah (Rm. 6:17). Ibrani 12:28 menyatakan: “Jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut”. Lihat juga Kol 1:12
2. Untuk segala sesuatu yang telah terjadi atas kehidupan kita. I Tesalonika 5:18 menyatakan: “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu”. Lihat juga Kol. 3:17; Ef. 5:20.
3. Untuk menggantikan semua hal, di hati dan perkataan, yang negative (Ef. 5:4). Sekalipun di dalam kesusahan, kecemasan, ketakutan, kekuatiran, dll., mengucap syukur menggantikan semua hal tersebut (Flp 4:6). Pengalaman Paulus dan Silas, rekan sepelayanannya, membuktikan hal tersebut (Kis. 16: 25 dst).

Amin.

Doa dab Tanggung Jawab

PERANAN DOA DAN PERANAN TANGGUNG JAWAB
DI DALAM MENJALANI HIDUP


Pendahuluan
Tentu kita semua sudah tahu tentang doa dan pasti sudah berdoa dengan tekun. Namun tidak keliru bila kita belajar kembali apakah doa secara ringkas. Di dalam teks Ibrani, ada 12 kata yang terkait dan diterjemahkan menjadi doa dan di dalam teks Yunani ada 7 kata.

Secara ringkas mari kita lihat pertama-tama dari teks Ibrani:
1. ba’u berarti petisi atau permintaan;
2. baqash berarti mencari di dalam doa; memohon;
3. darash juga berarti mencari (termasuk mencari Allah);
4. hamah berarti berseru, menjerit;
5. khannoth berarti berbelas kasihan;
6. khalah berarti memelas dalam kesakitan;
7. lakhash berarti berbisik (di dalam doa);
8. maseth berarti mengangkat tangan (seperti di dalam berdoa);
9. athar berarti membakar dupa, bersyafaat bagi orang-orang lain;
10. siyakh dan siykhakh berarti merenung, kontemplasi;
11. takhanun, takhanunah berarti doa yang sungguh-sungguh;
12. tephillah berarti nyanyian doa;

Sekarang mari kita lihat dari teks Yunani:
1. ara berarti doa (yg dinaikkan ke sorga);
2. de’esis berarti permohonan;
3. enteukhis berarti bersyafaat;
4. eukhe berarti sebuah harapan;
5. proseukhe berarti berdoa sungguh-sungguh;
6. proseukhomai berarti menyembah Allah;
7. leiturgeuo berarti mengabdi kepada negara; melayani Kristus baik melalui doa maupun menasehati orang lain tentang keselamatan.


Definisi Doa
Dari kesembilanbelas definisi kata tersebut dengan demikian dapat dipahami apa yang Alkitab ajarkan tentang doa. Paling tidak dapat dibangun definisi doa sbb.:
Doa adalah komunikasi dan percakapan dengan Allah; komunikasi jiwa dengan Allah, bukan hanya di dalam kontemplasi atau meditasi saja tetapi komunikasi langsung dengan Allah. Berdoa berarti mencari Tuhan; mencurahkan jiwa kepada Tuhan; dan mendekat kepada Allah.
Menurut Fausett, bagi orang-orang yang menentang doa (biasanya orang-orang skeptis), setidaknya ada dua argumentasi yang umum diajukan:
1. Manusia tunduk kepada hukum-hukum universal dan general;
2. kuasa predestinasi, hikmat dan kasih Allah membuat doa tidak berguna dan tidak perlu.
Terhadap kedua argumentasi tersebut, responsnya adalah bahwa:
1. hukum-hukum general adalah nama lain untuk kehendak Allah. Ada hukum-hukum yang lebih tinggi dari hukum general. Dan hukum general tunduk kepada hukum yang lebih tinggi tersebut.
2. Manusia diciptakan sebagai agen moral yang bebas menentukan sendiri.
Manusia, sejak jatuh ke dalam dosa, dilahirkan di dalam kelemahan. Kelemahan kita membawa diri kita sendiri kepada kasih, pemeliharaan dan kuasa Allah Bapa. “Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan” (Rm. 8:26).

Relasi Doa dengan Perbuatan
“Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya” (Mt. 6:8). Di sini Tuhan tidak melarang kita meminta kepada-Nya, tetapi Tuhan ingin kita tahu bahwa Bapa mengetahui semua keperluan kita. Ia mengetahui karena Ia mengasihi. Dan yang paling tahu apa yang kita perlukan adalah Allah.
Kita boleh berdoa untuk berkat tertentu, temporer dan rohani tetapi di dalam penundukan akan kehendak Allah bagi diri kita sendiri. “Jadilah kehendak-Mu” (Mt. 6:10) dan “jikalau kita meminta sesuatu kepada-Nya menurut kehendak-Nya” (1 Yoh. 5:14-15) adalah batasan atau limitasinya. Setiap doa yang benar dan sejati berisikan limitasi atau batasan ini. Ia tidak akan berdoa di luar kehendak Allah. Maka Allah kemudian menganugerahkan petisinya atau bahkan yang lebih baik dari itu sehingga tidak ada doa yang sejati yang sia-sia (2 Kor. 12:7-10; Luk. 22:42; Ibr. 5:7).
Dalam hal ini ia juga tahu dan yakin sekali bahwa yang ia kerjakan diberkati oleh Allah. Tetapi jika seseorang tidak yakin apa yang dilakukannya diberkati Allah atau tidak, maka dua hal yang harus direnungkan, (1) apakah ia sudah mempercayakan kehidupannya kepada Allah di dalam Yesus Kristus;(2) apakah ia mengerti kebenaran Firman Allah.
Doa menghasilkan dan menguatkan di dalam pikiran kita ketergantungan kepada Allah, iman dan kasih. Lebih jauh, doa tidak menggantikan kerja dan karya. Berdoa dan bekerja saling melengkapi dan memberikan keseimbangan (contoh: Neh. 4:9).
Dengan demikian, segala sesuatu yang kita jalani di dalam segala aspek kehidupan, kita jalani dengan bekerja dan berkarya semaksimal mungkin. Sebagai contoh, bila seseorang ingin memperoleh nilai yang baik di dalam perkuliahannya, ia harus rajin belajar. Bila ia ingin memperoleh nilai yang bukan hanya baik, tetapi terbaik, ia harus belajar dengan tingkat kerajinan dua kali lipat atau lebih. Bila seseorang ingin meraih karir yang baik, ia harus bekerja giat; bila ia menginginkan karir yang gemilang, ia harus bekerja dengan kerajinan dua kali lipat atau lebih. Ia harus gila-gilaan di dalam belajar atau bekerja.
Demikianlah Amsal menegaskan: “Tangan yang lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin menjadikan kaya” (Ams. 10:4), Adalah tanggung jawabnya untuk belajar rajin, bekerja rajin. Dan juga adalah tanggung jawab setiap orang percaya untuk menjaga kesehatan, untuk berhati-hati di dalam menjalani kehidupan, untuk tidak mencari musuh, untuk hidup di dalam kasih dan menghindari permusuhan, untuk taat kepada hukum, dst.
Tetapi dalam pada itu, ketika ia mempersiapkan dirinya dengan belajar sangat giat, ia juga berdoa dan meminta berkat kepada Allah. Dan ketika ia memperoleh nilai yang baik, atau bahkan yang terbaik, ia bersyukur bahwa itu adalah semata-mata karena berkat Allah. Ia menyadari bahwa berkat tersebut berasal dari Allah semata-mata. Amsal 10:22 menekankan hal tersebut: “Berkat Tuhanlah yang menjadikan kaya, susah payah tidak akan menambahinya”.
Ini menjadi jauh lebih jelas lagi di dalam Perjanjian Baru. Filipi 2:13 menyatakan: “karena Allah-lah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya” (lihat juga Rm. 9:16, 20, 21; Flp. 1:6). Ketiga perikop tersebut hendak menegaskan bahwa semua yang kita miliki, kerjakan dan raih adalah karya Allah di dalam kehidupan kita. Allah yang mengerjakan dari awal, mulai dari kehendak atau kemauan, juga kekuatan (semangat, gairah, persistensi dan konsistensi) untuk melaluinya, kemampuan (teknik, keahlian dan kreativitas) untuk melakukan, bahkan sampai pada pekerjaan (karya, hasil dan buah) yang terselesaikan dengan sempurna. Semua Allah yang mengerjakan di dalam diri kita.

Kesimpulan
Dengan demikian setiap orang percaya akan bertanggungjawab atas semua aspek kehidupannya dan menggarapnya sungguh-sungguh. Tidak ada satu aspekpun di dalam kehidupannya di mana ia tidak bertanggungjawab. Doanya memohon penyertaan dan berkat Tuhan bukan karena ia belum disertai dan diberkati tetapi karena ia meyakini penyertaan dan berkat Tuhan atas kehidupannya. Doa-doanya penuh ucapan syukur, ekspresi kasih kepada Allah dan penyerahan hidup kepada Allah, namun juga pertobatan dan introspeksi diri dengan bercermin pada Kristus. Dan tidak banyak permintaan diajukan di dalam doanya. Dan dengan penuh kerendahan hati, ia hanya mengatakan bahwa semua yang ia alami, kerjakan, miliki dan raih adalah karena Allah mengerjakannya di dalam kehidupannya.