Shalom,
Efesus 2:15 menyatakan: "sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya...". Ayat ini secara gamblang menyatakan bahwa semua hukum Taurat dibatalkan oleh kematian dan kebangkitan Yesus Kristus.
Di dalam Injil Yesus Kristus menyatakan demikian: "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi" (Mat. 5:17-18). Seringkali kedua ayat tersebut diartikan sebagai pernyataan Yesus Kristus bahwa Ia menghendaki semua pengikut-Nya untuk tetap memelihara hukum Taurat. Tetapi sesungguhnya pemahaman itu keliru.
Kekeliruan dapat terjadi bila hanya melihat satu-dua ayat tersebut tanpa memahami konteks keseluruhan di mana ayat tersebut berada. Dan sayangnya, hal seperti ini seringkali terjadi. Seringkali, satu-dua ayat dikutip untk mendukung suatu gagasan dengan hanya melihat kata-kata yang tersurat secara harfiah di dalam satu-dua ayat tersebut tetapi melupakan konteks di mana ayat tersebut berada.
Dalam hal ini, ketika Yesus mengatakan bahwa Ia tidak hendak meniadakan hukum, tidak berarti bahwa Ia menjadikan suatu kewajiba bagi para pengikut-Nya untuk mematuhi hukum Taurat. Yesus sendiri menyatakan bahwa Ia datang "untuk menggenapinya".
Apakah yang dimaksud dengan "untuk menggenapinya"? Tanpa keahlian bahasa Yunani pun sesungguhnya pembaca yang sungguh-sungguh tanpa prasangka awal (sehingga tidak terjadi eisegese, yaitu memasukkan gagasan pembaca sendiri ke dalam teks, melainkan eksegese, yaitu mengangkat keluar apa maksud teks yang sesungguhnya) dapat memahami maksud Yesus.
Marilah melihat teks selanjutnya. Ayat 21 & 22, (Mat. 5) misalnya, menyatakan: "Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: setiap orang yang marah tehadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala". Ayat 27-29 menegaskan bahwa perzinahan muncul ketika seseorang terangsang terhadap orang lain. Dan ada beberapa hal lain yang Yesus sebutkan sebagai perbandingan. Bila kita memperhatikan perbandingan-perbandingan yang Yesus lakukan antara hukum Taurat dengan ajaran-Nya sendiri, maka nampak dengan jelas bahwa Yesus memberikan ajaran-ajaran yang lebih tinggi.
Dan bila kembali kepada pernyataan Yesus bahwa kedatangan-Nya "untuk menggenapinya", menggenapi Taurat, maka dari teks asli dapat dipahami apa maksud Yesus. "Menggenapi" berasal dari plero yang berarti "menyempurnakan", "melengkapi", tetapi juga berarti "menuntaskan" ataupun "mengakhiri". Dari arti-arti tersebut kita menjadi paham maksud Tuhan. Maksudnya adalah kehadiran Tuhan menyempurnakan Taurat tersebut. Kematian dan kebangkitan-Nya menuntaskan hukum Taurat.
Yang dimaksudkan dengan menyempurnakan ataupun menuntaskan hukum Taurat adalah bahwa Yesus hendak mengajarkan makna dan hakekat (esensi) Taurat sehingga hidup keagamaan (ayat 20) pengikut Yesus bukan lagi melakukan hukum Taurat secara harfiah tetapi makna dan hakekat yang terkandung di dalam Taurat.
Di bagian lain Injil Matius, Yesus menegaskan hal tersebut. Yesus menyatakan: "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi" (Mat. 7:12). Kemudian, Yesus juga menegaskan: "Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tegantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi" (Mat. 22:37-40). Menurut Yesus, seluruh hukum Taurat dan Kitab para nabi (atau dengan kata lain, seluruh isi Perjanjian Lama), intinya adalah kedua hal tersebut:
1. perbuatlah kepada orang lain apa yang engkau ingin orang lain perbuat kepadamu
2. Kasihilah Tuhan Allahmu dan sesamamu.
Artinya, bila kedua prinsip itu dipegang teguh, setiap orang yang memegangnya dengan teguh tidak akan melanggar hukum taurat dan kitab para nabi, tetapi bukan secara harfiah melainkan secara hakiki (esensial) dan pemaknaan. Bila demikian, jelas bahwa Yesus mengajarkan kepada para pengikut-Nya untuk hidup di dalam hakekat dan makna Perjanjian Lama, dan bukan lagi aturan-aturan harfiah.
Dan bila kembali kepada teks Efesus 2:15, maka jelas bahwa Paulus menangkap makna dan hakekat yang diajarkan Tuhan Yesus Kristus. Hukum Taurat telah dinyatakan batal oleh kematian dan kebangkitan Yesus Kristus.
Dan bila mengkaji ulang ajaran-ajaran gereja kita masing-masing, seharusnyalah kita tidak lagi menyerap atau mengadopsi ajaran-ajaran Perjanjian Lama secara harfiah ataupun melakukan perintah-perintah Taurat secara harfiah. Dan bila kajian itu dilakukan, maka kita akan menemukan banyak ajaran atau perintah Taurat yang masih diberlakukan di Gereja. Beberapa contoh dapat dikemukakan, misalnya:
1. Perlakuan hari Minggu seperti hari Sabat oleh sebagian gereja;
2. Pembedaan makanan halal-haram, termasuk di dalamnya larangan untuk memakan makanan yang mengandung atau berasal dari darah. Untuk aspek makanan ini, Yesus sendiri menegaskan bahwa apa yang masuk ke dalam mulut tidak menajiskan seseorang tetapi yang keluar dari mulutlah yang menajiskannya. Injil Markus mencatat hal ini dengan komentarnya: "Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal" (Lihat teks keseluruhan dalam Mrk. 7:1-22). Perikop ini menunjukkan bahwa bagi Yesus, makanan tidak memiliki nilai-nilai religius; sebaliknya, makanan hanya memiliki nilai jasmani karena yang dimakan "tidak masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban" (ay. 19a). Oleh karena itu, pemilihan makanan bukan lagi berdasarkan haram-halal dan alasan nilai-nilai religius, tetapi kesehatan; berguna atau tidak bagi kesehatan jasmani;
3.Doa-doa di dalam Perjanjian Lama, secara khusus doa Yabes.
4. Persepuluhan. Persepuluhan adalah salah satu aturan di dalam Hukum Taurat. Bagi umat Perjanjian Baru, "hidupku bukan aku lagi tetapi Kristus dalamku"; "kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar" menunjukkan bahwa seluruh hidup orang percaya milik Tuhan. "Seluruh hidup" berarti termasuk di dalamnya seluruh harta. Sehingga bukan lagi sepersepuluh, tetapi sepuluhpersepuluh alias 100% milik Tuhan. Penggunaan setiap rupiahnya bukan lagi berdasarkan pengelolaan kita sendiri, tetapi berdasarkan pengaturan Tuhan. Dengan demikian, jumlah yang kita berikan sebagai persembahan kepada Gereja, tidak lagi secara hukum wajib 10% tetapi berdasarkan kebutuhan kita atas tuntunan Tuhan. Bisa saja kebutuhan kita sedang banyak dan kita tidak mampu memberikan bahkan 1%; lain waktu, bisa saja Tuhan meminta kita memberikan 25% ataupun lebih ketika keuangan kita sedang longgar. Tetapi celakalah kita bila rupiah-rupiah milik Tuhan yang dipercayakan kepada kita digunakan untuk hal-hal yang tidak Tuhan kehendaki, seperti minuman keras, merokok, foya-foya, memuaskan hasrat dan hawa nafsu, dst.
5. dan banyak hal lain lagi.
Adalah tugas gereja untuk mengkaji ulang terus-menerus doktrin dan ajaran gereja agar tidak keliru memaknai Taurat dan Perjanjian Lama.
Soli Deo gloria
Tampilkan postingan dengan label Ecclesiology. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ecclesiology. Tampilkan semua postingan
Rabu, 22 Juli 2009
Minggu, 20 Juli 2008
KOMPROMI ATAU TRANSFORMASI?
Kristus telah menebus semua hutang kita dan memakukan surat hutang tersebut di kayu salib. Kematian Kristus ini membebaskan kita, orang yang menerima anugerahNya, dari semua roh yang ada di dalam dunia ini. Setiap orang percaya telah merdeka dari ikatan dengan roh-roh dunia. Dengan demikian ia tidak perlu lagi menundukkan diri kepada roh-roh dunia. Roh-roh dunia ini termanifestasi dalam berbagai macam peraturan duniawi yang menyelusup dalam bentuk-bentuk keagamaan yang berbau atau bernuansa Kristiani, padahal sejati-jatinya tidak demikian.
Paulus menyatakan bahwa ketika kita ditebus oleh Kristus, sesungguhnya kita telah mati bersama Dia, dan dengan demikian tidak hidup lagi di dalam dunia. Tidak hidup lagi dalam dunia bukan dalam pengertian bahwa kita semua kemudian bunuh diri. Ataupun kita orang percaya harus menjadi eksentrik, eksklusif atau mengucilkan diri dari komunitas ataupun lingkungan. Bukan demikian pemahaman alkitabiah yang benar.
Bila melihat teks aslinya, maka terjemahan yang lebih tepat untuk ayat 20a adalah sbb.: “bila kamu telah mati bersama Kristus dari unsur-unsur dunia ini” Dalam teks asli tidak ada kata bebas, sebaliknya dalam teks Indonesia tidak ada kata unsur-unsur (Yun.: stoikeion). Dalam teks ini kata yang digunakan untuk mati (Yun.: apothnesko) bukanlah kata figuratif atau kata yang bermakna konotatif (samaran/bukan arti yang sebenarnya), melainkan mati secara harafiah, seperti matinya tubuh manusia.
Jelas maknanya adalah bahwa orang yang telah ditebus oleh Tuhan Yesus haruslah tidak dapat dirangsang, digoda atau dirayu sama sekali oleh unsur-unsur dunia. Mengapa? Karena ia sudah mati terhadap unsur-unsur tersebut. Seperti halnya orang mati tidak mungkin ia bereaksi terhadap apapun yang dilakukan orang-orang lain terhadap dirinya. Bila dia dipukul, dijotos, dijewer, dll., ia tidak akan bereaksi. Ya, karena ia sudah mati. Demikianlah bila kita mati terhadap unsur-unsur dunia ini. Kita sama sekali tidak memberikan respons terhadap rangsangan, godaan dan rayuan dunia.
Bila kita telah mati bersama Kristus terhadap unsur-unsur dunia, maka sesungguhnya kita tidak boleh bahkan tidak bisa lagi hidup di dunia. Maksudnya tentu dalam pengertian bahwa kita tidak lagi hidup dengan gaya, cara dan arah seperti sebelumnya ketika kita masih hidup dalam kesia-siaan, dalam keduniawian, dan dalam keegoisan, dengan semua sifat dunia. Cara hidup kita tidak lagi seperti umumnya orang di dunia hidup. Cara hidup kita bercorak sorgawi, dan panutannya adalah seperti Kristus hidup di muka bumi ini. Bagaimana Ia hidup di bumi ini, demikianlah sepatutnya kita hidup.
Oleh karena itu, setiap orang percaya tidak perlu lagi menundukkan diri pada berbagai macam aturan dunia. Aturan dunia yang dimaksud adalah aturan-aturan yang berkaitan dengan hal-hal yang “rohani”, bahkan seakan-akan bernuansa atau berwarna Kristiani, padahal sebetulnya tidak sama sekali.
Dalam perikop ini, Paulus memberikan contoh, seperti: jangan pegang ini, jangan makan ini, jangan sentuh itu. Aturan-aturan, atau lebih tepatnya, larangan-larangan (ada juga yang berupa perintah-perintah) ini, bukan sekadar aturan, tetapi diberikan muatan rohani atau Kristiani di dalamnya. Sementara Alkitab tidak mengajarkan demikian. Tetapi diupayakan dasar-dasar Alkitab untuk mendukungnya.
Pada zaman Paulus, ada banyak pengajar Kristen yang masih dipengaruhi oleh Yudaisme (agama Yahudi), yang dipenuhi oleh berbagai macam aturan. Namun banyak juga pengajar Kristen yang dipengaruhi oleh agama-agama kafir yang sebagian, mirip dengan Yudaisme, penuh dengan peraturan-peraturan untuk dapat mencapai sorga atau untuk menghadap Tuhan. Bagi Paulus, semua peraturan tersebut, yang tidak alkitabiah, hanya membuat jemaat terbelenggu dan itu berasal dari roh-roh dunia.
Perlu diperhatikan di sini, bahwa roh-roh jahat bukan hanya dan bukan terutama terwujud di dalam ikatan-ikatan yang harus diusir dan ditengking melalui pelayanan pelepasan. Bagi Paulus ternyata bahwa lebih berbahaya konsep-konsep yang menguasai dan diyakini Gereja tetapi tidak alkitabiah yang berasal dari roh-roh dunia, daripada roh-roh yang mengikat dan harus diusir.
Di dalam dunia modern, terdapat banyak contoh sederhana: Gereja aliran tertentu selalu mengadakan penantian sepuluh hari menjelang hari Pentakosta untuk mendapatkan pencurahan Roh Kudus.
Banyak pendeta dan/atau gereja yang melarang makan makanan tertentu, atau minum minuman tertentu. Sebuah gereja bahkan melarang minum fanta atau cocacola. Ada yang melarang wanita memakai pakaian pria, termasuk celana panjang.
Roh nenek moyang dapat diinjili, sehingga opung, eyang, engkong, opa, yang belum sempat jadi Kristen, ketika diinjili, dapat menjadi Kristen. Ridicule.
Gereja terlalu permisif atau kompromistik dengan adat istiadat, sehingga cenderung sinkretistik. Banyak bentuk adat yang masih mewarisi penyembahan dinamisme dan animisme tetapi ditolerir begitu saja. Gereja tidak boleh anti adat-istiadat, tetapi sebaliknya Gereja juga tidak boleh tunduk dan takluk kepada adat-istiadat. Gereja -seperti dikatakan oleh John Calvin- harus mentransformasi budaya, termasuk ada-istiadat di dalamnya.
Gereja cenderung bersikap rasisme atau rasialisme atau setidaknya memiliki kecenderungan berpihak pada etnis-etnis tertentu. padahal Alkitab sendiri sudah katakan bahwa tidak ada lagi orang ‘jauh’ dan orang ‘dekat’, tidak ada lagi Yahudi atau Yunani, semuanya telah menjadi satu karena Kristus.
Ada gereja yang bersifat nasional, tetapi kesukuannya terlalu kental. Ini terlihat dari namanya. Salah satu cabangnya ada di Papua, tetapi masih menggunakan nama gereja suku tertentu di wilayah barat Indonesia. Bahkan ketika membuka cabang di New York, masih mengunakan nama suku tertentu tersebut.
Belum lagi gereja yang namanya di bagian akhir ada nama negara yang menunjukkan sifat nasionalitasnya, justru terjebak pada isu pri-dan-nonpri. Padahal, bila melihat Matius 5:5: “Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi,” maka semua orang percaya yang lemah lembut adalah pribumi dan tidak ada yang non-pri.. Bahkan mereka yang dianiaya karena Kristus adalah prisorga seperti dikatakan Mat. 5:10: “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga”. Oleh karena itu, hilangkan kebiasaan menekankan pri dan non pri, karena semua orang percaya yang lemah lembut dan siap menderita bagi Kristus adalah pribumi dan prisorga. Yang perlu ditekankan adalah bersediakah Gereja menjadi lemah lembut dan menderita bagi Kristus?
Belum lagi penekanan yang sangat berlebihan yang diberikan pada satu sisi Kekristenan, seperti minyak urapan, perjamuan kudus, karunia-karunia, bahasa lidah, pembesaran gereja atas nama penginjilan padahal hanya merebut domba-domba Gereja lain, dan berbagai peraturan lainnya. Semua penekanan yang menjadi ‘peraturan’ –tetulis ataupun tidak tertulis– sangat membahayakan Gereja Tuhan itu sendiri dan menjadi agen-agen pembusukan dan pengkafiran Gereja.
Kekristenan adalah agama roh. Artinya, sesungguhnya Kekristenan tidak memiliki ritus-ritus atau ritual-ritual dan berbagai macam aturan tidak boleh begini dan tidak boleh begitu atau harus begini dan harus begitu, yang kalau tidak dilakukan akan membuat seseorang masuk neraka dan tidak bisa masuk sorga. Menurut Paulus sendiri, seperti yang tercantum dalam Kolose 2:20-23, larangan-larangan atau perintah-perintah itu, atau berbagai aturan dan sikap yang diperankan Gereja, adalah rupa-rupa peraturan dunia yang merupakan perwujudan dari roh-roh dunia. Sementara, setiap orang percaya telah mati atas roh-roh dunia.
Bahkan, ketika Tuhan Yesus memerintahkan untuk Gereja melakukan baptisan dan perjamuan, yang merupakan sakramen Kristen, muatan yang terkandung di dalamnya tidak lebih hanya bersifat simbolik. Sebagai contoh, baptisan. Baptisan adalah suatu tindakan simbolik di mana pelakunya melambangkan dirinya mati bersama Kristus terhadap dosa untuk bangkit bersama-sama Yesus di dalam kemuliaan (lihat Rm. 4:1-6). Bila melihat hakekat baptisan pada ayat yang disebutkan di atas, maka yang berarti bukanlah baptisannya, melainkan mati terhadap dosa dan hidup dalam Kristus. Bila seorang Kristen telah dibaptis namun tidak sungguh-sungguh sudah mati terhadap dosa dan hidup dalam Kristus, maka baptisan tersebut tidak ada gunanya sama sekali.
Yang dikembangkan di dalam kehidupan orang-orang percaya adalah manusia batiniahnya; bagaimana orang-orang percaya hidup dalam tuntunan Roh Kudus dan FirmanNya; bagaimana orang-orang percaya semakin serupa dengan Kristus sesuai kesaksian Alkitab. Menjadi serupa dengan Kristus. Imitatio Christi. Itulah tujuan hidup kita. Dan inilah visi Gereja. (c) Asigor P. Sitanggang
Paulus menyatakan bahwa ketika kita ditebus oleh Kristus, sesungguhnya kita telah mati bersama Dia, dan dengan demikian tidak hidup lagi di dalam dunia. Tidak hidup lagi dalam dunia bukan dalam pengertian bahwa kita semua kemudian bunuh diri. Ataupun kita orang percaya harus menjadi eksentrik, eksklusif atau mengucilkan diri dari komunitas ataupun lingkungan. Bukan demikian pemahaman alkitabiah yang benar.
Bila melihat teks aslinya, maka terjemahan yang lebih tepat untuk ayat 20a adalah sbb.: “bila kamu telah mati bersama Kristus dari unsur-unsur dunia ini” Dalam teks asli tidak ada kata bebas, sebaliknya dalam teks Indonesia tidak ada kata unsur-unsur (Yun.: stoikeion). Dalam teks ini kata yang digunakan untuk mati (Yun.: apothnesko) bukanlah kata figuratif atau kata yang bermakna konotatif (samaran/bukan arti yang sebenarnya), melainkan mati secara harafiah, seperti matinya tubuh manusia.
Jelas maknanya adalah bahwa orang yang telah ditebus oleh Tuhan Yesus haruslah tidak dapat dirangsang, digoda atau dirayu sama sekali oleh unsur-unsur dunia. Mengapa? Karena ia sudah mati terhadap unsur-unsur tersebut. Seperti halnya orang mati tidak mungkin ia bereaksi terhadap apapun yang dilakukan orang-orang lain terhadap dirinya. Bila dia dipukul, dijotos, dijewer, dll., ia tidak akan bereaksi. Ya, karena ia sudah mati. Demikianlah bila kita mati terhadap unsur-unsur dunia ini. Kita sama sekali tidak memberikan respons terhadap rangsangan, godaan dan rayuan dunia.
Bila kita telah mati bersama Kristus terhadap unsur-unsur dunia, maka sesungguhnya kita tidak boleh bahkan tidak bisa lagi hidup di dunia. Maksudnya tentu dalam pengertian bahwa kita tidak lagi hidup dengan gaya, cara dan arah seperti sebelumnya ketika kita masih hidup dalam kesia-siaan, dalam keduniawian, dan dalam keegoisan, dengan semua sifat dunia. Cara hidup kita tidak lagi seperti umumnya orang di dunia hidup. Cara hidup kita bercorak sorgawi, dan panutannya adalah seperti Kristus hidup di muka bumi ini. Bagaimana Ia hidup di bumi ini, demikianlah sepatutnya kita hidup.
Oleh karena itu, setiap orang percaya tidak perlu lagi menundukkan diri pada berbagai macam aturan dunia. Aturan dunia yang dimaksud adalah aturan-aturan yang berkaitan dengan hal-hal yang “rohani”, bahkan seakan-akan bernuansa atau berwarna Kristiani, padahal sebetulnya tidak sama sekali.
Dalam perikop ini, Paulus memberikan contoh, seperti: jangan pegang ini, jangan makan ini, jangan sentuh itu. Aturan-aturan, atau lebih tepatnya, larangan-larangan (ada juga yang berupa perintah-perintah) ini, bukan sekadar aturan, tetapi diberikan muatan rohani atau Kristiani di dalamnya. Sementara Alkitab tidak mengajarkan demikian. Tetapi diupayakan dasar-dasar Alkitab untuk mendukungnya.
Pada zaman Paulus, ada banyak pengajar Kristen yang masih dipengaruhi oleh Yudaisme (agama Yahudi), yang dipenuhi oleh berbagai macam aturan. Namun banyak juga pengajar Kristen yang dipengaruhi oleh agama-agama kafir yang sebagian, mirip dengan Yudaisme, penuh dengan peraturan-peraturan untuk dapat mencapai sorga atau untuk menghadap Tuhan. Bagi Paulus, semua peraturan tersebut, yang tidak alkitabiah, hanya membuat jemaat terbelenggu dan itu berasal dari roh-roh dunia.
Perlu diperhatikan di sini, bahwa roh-roh jahat bukan hanya dan bukan terutama terwujud di dalam ikatan-ikatan yang harus diusir dan ditengking melalui pelayanan pelepasan. Bagi Paulus ternyata bahwa lebih berbahaya konsep-konsep yang menguasai dan diyakini Gereja tetapi tidak alkitabiah yang berasal dari roh-roh dunia, daripada roh-roh yang mengikat dan harus diusir.
Di dalam dunia modern, terdapat banyak contoh sederhana: Gereja aliran tertentu selalu mengadakan penantian sepuluh hari menjelang hari Pentakosta untuk mendapatkan pencurahan Roh Kudus.
Banyak pendeta dan/atau gereja yang melarang makan makanan tertentu, atau minum minuman tertentu. Sebuah gereja bahkan melarang minum fanta atau cocacola. Ada yang melarang wanita memakai pakaian pria, termasuk celana panjang.
Roh nenek moyang dapat diinjili, sehingga opung, eyang, engkong, opa, yang belum sempat jadi Kristen, ketika diinjili, dapat menjadi Kristen. Ridicule.
Gereja terlalu permisif atau kompromistik dengan adat istiadat, sehingga cenderung sinkretistik. Banyak bentuk adat yang masih mewarisi penyembahan dinamisme dan animisme tetapi ditolerir begitu saja. Gereja tidak boleh anti adat-istiadat, tetapi sebaliknya Gereja juga tidak boleh tunduk dan takluk kepada adat-istiadat. Gereja -seperti dikatakan oleh John Calvin- harus mentransformasi budaya, termasuk ada-istiadat di dalamnya.
Gereja cenderung bersikap rasisme atau rasialisme atau setidaknya memiliki kecenderungan berpihak pada etnis-etnis tertentu. padahal Alkitab sendiri sudah katakan bahwa tidak ada lagi orang ‘jauh’ dan orang ‘dekat’, tidak ada lagi Yahudi atau Yunani, semuanya telah menjadi satu karena Kristus.
Ada gereja yang bersifat nasional, tetapi kesukuannya terlalu kental. Ini terlihat dari namanya. Salah satu cabangnya ada di Papua, tetapi masih menggunakan nama gereja suku tertentu di wilayah barat Indonesia. Bahkan ketika membuka cabang di New York, masih mengunakan nama suku tertentu tersebut.
Belum lagi gereja yang namanya di bagian akhir ada nama negara yang menunjukkan sifat nasionalitasnya, justru terjebak pada isu pri-dan-nonpri. Padahal, bila melihat Matius 5:5: “Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi,” maka semua orang percaya yang lemah lembut adalah pribumi dan tidak ada yang non-pri.. Bahkan mereka yang dianiaya karena Kristus adalah prisorga seperti dikatakan Mat. 5:10: “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga”. Oleh karena itu, hilangkan kebiasaan menekankan pri dan non pri, karena semua orang percaya yang lemah lembut dan siap menderita bagi Kristus adalah pribumi dan prisorga. Yang perlu ditekankan adalah bersediakah Gereja menjadi lemah lembut dan menderita bagi Kristus?
Belum lagi penekanan yang sangat berlebihan yang diberikan pada satu sisi Kekristenan, seperti minyak urapan, perjamuan kudus, karunia-karunia, bahasa lidah, pembesaran gereja atas nama penginjilan padahal hanya merebut domba-domba Gereja lain, dan berbagai peraturan lainnya. Semua penekanan yang menjadi ‘peraturan’ –tetulis ataupun tidak tertulis– sangat membahayakan Gereja Tuhan itu sendiri dan menjadi agen-agen pembusukan dan pengkafiran Gereja.
Kekristenan adalah agama roh. Artinya, sesungguhnya Kekristenan tidak memiliki ritus-ritus atau ritual-ritual dan berbagai macam aturan tidak boleh begini dan tidak boleh begitu atau harus begini dan harus begitu, yang kalau tidak dilakukan akan membuat seseorang masuk neraka dan tidak bisa masuk sorga. Menurut Paulus sendiri, seperti yang tercantum dalam Kolose 2:20-23, larangan-larangan atau perintah-perintah itu, atau berbagai aturan dan sikap yang diperankan Gereja, adalah rupa-rupa peraturan dunia yang merupakan perwujudan dari roh-roh dunia. Sementara, setiap orang percaya telah mati atas roh-roh dunia.
Bahkan, ketika Tuhan Yesus memerintahkan untuk Gereja melakukan baptisan dan perjamuan, yang merupakan sakramen Kristen, muatan yang terkandung di dalamnya tidak lebih hanya bersifat simbolik. Sebagai contoh, baptisan. Baptisan adalah suatu tindakan simbolik di mana pelakunya melambangkan dirinya mati bersama Kristus terhadap dosa untuk bangkit bersama-sama Yesus di dalam kemuliaan (lihat Rm. 4:1-6). Bila melihat hakekat baptisan pada ayat yang disebutkan di atas, maka yang berarti bukanlah baptisannya, melainkan mati terhadap dosa dan hidup dalam Kristus. Bila seorang Kristen telah dibaptis namun tidak sungguh-sungguh sudah mati terhadap dosa dan hidup dalam Kristus, maka baptisan tersebut tidak ada gunanya sama sekali.
Yang dikembangkan di dalam kehidupan orang-orang percaya adalah manusia batiniahnya; bagaimana orang-orang percaya hidup dalam tuntunan Roh Kudus dan FirmanNya; bagaimana orang-orang percaya semakin serupa dengan Kristus sesuai kesaksian Alkitab. Menjadi serupa dengan Kristus. Imitatio Christi. Itulah tujuan hidup kita. Dan inilah visi Gereja. (c) Asigor P. Sitanggang
Langganan:
Postingan (Atom)