Minggu, 20 Juli 2008

MENJADI MANUSIA

Seorang filsuf Yunani, Plato, mengatakan bahwa manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jiwa dan tubuh. Jiwa lebih tinggi dari tubuh. Tubuh menjadi penjara bagi jiwa. Untuk itu manusia harus banyak melakukan meditasi untuk mati raga sehingga hidupnya dikendalikan oleh jiwanya.
Muridnya, Aristoteles, mengatakan bahwa manusia adalah mahluk atau binatang yang berakal (animal rationale). Yang membedakannya dengan hewan hanyalah ia memiliki rasio. Selebihnya, ia tidak berbeda dengan binatang. Walaupun ini tidak sesuai dengan pemberitaan Kitab Suci, namun sekarang ini nyata sekali bahwa manusia seringkali tidak lebih dari binatang! Ayah memperkosa anak kandungnya. Anak memperkosa ibu kandungnya. Manusia begitu mudah mencabut nyawa sesamanya. Seorang wakil rakyat meminta pelacur sebagai salah satu bentuk gratifikasi. Dan masih banyak lagi.
Manusia seperti singa yang ketika terancam akan segera memberikan perlawanan atau pembalasan, di mana prinsipnya adalah to kill or to be killed (membunuh atau dibunuh). Lucunya, di Gereja, seringkali jemaat, bahkan pelayan jemaat, juga memiliki prinsip seperti ini.
Betapa seringnya manusia menjelekkan sesamanya (dalam bentuk gosip, fitnah, hujatan, dll.). Betapa seringnya ia bergembira atas kesusahan dan penderitaan orang-orang lain. Bukankah ini serupa dengan prinsip di atas? Mungkin ia tidak membunuh atau dibunuh secara fisik, tetapi secara karakter. Namun tetap itu merupakan suatu peragaan nafsu binatang.
Tidaklah seluruhnya keliru bila kemudian, pikiran yang tidak dikendalikan oleh firman Tuhan yang dimiliki Charles Darwin kemudian menyatakan bahwa manusia berasal dari kera. Jangan-jangan manusia lebih rendah dari kera. Pernahkah ada dalam berita, seorang anak kera membunuh induk kera? Pernahkah ada kera yang membalak hutan? Pernahkah ada kera mengeksploitasi alam?
Dalam Kejadian 1:26-27, diceritakan bahwa ketika Allah menciptakan manusia, Ia menciptakan dengan suatu metode yang sangat berbeda dengan metode yang Ia gunakan untuk menciptakan semua ciptaanNya yang lain. Ketika Ia menciptakan alam semesta, Ia hanya menyatakan: “Jadilah terang,” “Jadilah cakrawala,” “Jadilah …,” maka semua itu jadi! Dengan hanya mengucapkannya, semuanya itu terjadi. Bahkan ada seseorang secara berkelakar, menyatakan seandainya Allah tidur beristirahat, dan dalam tidurNya Ia berkata, “jadilah A atau jadilah B,” maka semua itu tetap terjadi.
Tetapi ketika Ia menciptakan manusia, Ia mengadakan kesepakatan terlebih dahulu dalam persidangan ilahi Allah Tritunggal. Ingatlah perkataan: “Baiklah Kita menjadikan manusia …” (Kej 1:26 – cetak miring tambahan penulis). Kemudian Ia menciptakan suatu cetak biru (blue print - meminjam istilah modern) manusia, yaitu segambar (Ibr.: tselem; Yun. eikon; Lat.: imago) dan serupa (Ibr.: demuth; Yun. homoiosis; Lat.: similitudo) dengan Allah.
Setelah itu, Ia membuat tubuh manusia dari debu tanah dan mendesainnya dengan kedua belah tanganNya sendiri dengan indahnya sehingga secara fisik gambar dan rupa itu dapat tertampilkan. Ketika dikatakan bahwa Allah membentuk tubuh manusia (Ing.: to carve), maka terdapat nilai seni di sana dan menunjukkan betapa Allah sangat menyayangi ciptaanNya yang khusus ini.
Terakhir, tetapi bukan yang terkecil, Ia menghembuskan nafas (Ibr.: neshama) kehidupan kepada manusia sehingga memiliki roh (Ibr.: ruakh) dan menjadi mahluk yang hidup (Ibr. nefesh). Allah menghendaki roh ini menjadi line komunikasi Allah dengan manusia.
Jadi manusia adalah gambar dan rupa Allah yang memiliki nafas hidup atau roh yang berasal dari Allah. Namun, ketika manusia jatuh ke dalam dosa, gambar dan rupa itu, meskipun masih ada, telah menjadi rusak. Kedatangan Kristus ke bumi disertai kematian dan kebangkitanNya, membuat setiap orang yang percaya kepadaNya memperoleh pemulihan gambar dan rupa Allah dalam suatu proses terus-menerus dijadikan segambar dan serupa dengan Allah.
Ketiga kondisi tersebutlah (cetak biru, metode penciptaan dan pemberian nafas hidup) yang membedakan manusia dengan binatang menurut Alkitab. Bila Charles Darwin mengatakan bahwa manusia adalah keturunan kera, biarlah itu hanya untuk nenek moyang Darwin saja. Jelas sekali perbedaan antara manusia dengan hewan.
R. Soedarmo dalam buku dogmatikanya menjelaskan perbedaan dasar manusia dan hewan. Hewan memang memiliki pengetahuan, tetapi ia tidak memiliki akal budi. Ia mungkin memiliki seni, tetapi tidak berbudaya. Ia mungkin berkumpul, tetapi tidak mampu bersekutu. Yang paling membedakan adalah ia tidak hidup dalam kasih dan tidak mengenal serta bersekutu dengan Tuhan.
Menurut kesaksian Injil dan pengakuan iman kita, Yesus adalah sekaligus Allah dan manusia. Bila hendak melihat Allah, lihatlah Yesus. Bila ingin melihat manusia yang sejati, lihatlah Yesus. Dalam hidupNya di bumi, Ia memiliki hubungan yang sejati dengan Allah dan dengan sesamaNya manusia. Dengan demikian manusia hanya menjadi manusia yang sejati jikalau ia memiliki dua hubungan tersebut, yaitu hubungan yang intim dengan Allah sekaligus hubungan yang karib dengan sesamanya manusia. Dan manusia dipanggil untuk memulihkan gambar dan rupa Allah yang telah rusak tersebut. Panggilan tersebut diwujudkan untuk tidak lagi hidup dalam nafsu binatang, tetapi sebagai manusia sebagaimana selayaknya.(C) Asigor Sitanggang.

Tidak ada komentar: