Kamis, 24 Juli 2008

DEMOKRASI ATAU THEOKRASI?

Pada suatu ketika, bangsa Israel mendatangi nabi Natan yang telah menjadi tua dan meminta seorang raja. Permintaan ini mengesalkan sang nabi. Tetapi ternyata bukan hanya sang nabi yang dibuat kesal, tetapi Allah. Ia menyatakan: “sebab bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah yang mereka tolak, supaya jangan Aku menjadi raja atas mereka” (1 Samuel 8:7).

Dari perkataan Tuhan tersebut, terlihat nyata sekali bahwa Ia menghendaki sebuah theokrasi. Allah memerintah dan berkuasa sebagai raja.

Dalam sejarah Israel, khususnya ketika mereka keluar dari Mesir, Theokrasi bukanlah suatu gagasan yang abstrak, sebaliknya justru konkrit. Theokrasi telah terwujud melalui kepemimpinan Musa yang dilanjutkan oleh Yosua dan para hakim dan nabi.

Theokrasi dengan demikian sesungguhnya bukanlah sebuah masyarakat tanpa pemimpin. Pemimpin tetap ada. Namun pemimpin memiliki peranan sebagai penyambung lidah Allah; penerus perintah Allah. Dan Kitab Suci mencatat peranan yang sedemikian, di mana para pemimpin tersebut selalu menyampaikan apa yang menjadi titah Allah, Sang Pemimpin yang sesungguhnya. Musa menegaskan: “Bangsa ini datang kepadaku untuk menanyakan petunjuk Allah” (Keluaran 18:15).

Bukan berarti bahwa dengan demikian pemimpin terlepas dari kesalahan, apalagi dari tanggung jawab. Catatan hidup Musa menunjukkan bahwa ia beberapa kali melakukan kesalahan yang membuatnya menerima hukuman dari Allah.

Allah menghendaki Israel menjadi “kerajaan imam dan bangsa yang kudus” bagiNya (Keluaran 19:6). Allah menginginkan Israel menjadi bangsa yang kudus, yaitu dipisahkan dari bangsa-bangsa lain yang serta –merta berbeda dengan bangsa-bangsa lain tersebut. Mereka dipisahkan untuk menjadi kumpulan imam yang membawa dan memimpin bangsa-bangsa lain beribadah kepada Allah.

Bila melihat hubungan antar sesama yang terjadi dan juga dititahkan Allah, maka kehidupan Israel dalam periode waktu ini bersifat egaliter. Yitro mengajurkan pengangkatan pemimpin-pemimpin kepada Musa hanya dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah hukum di antara rakyat Israel, dan bukan dalam rangka membangun strata sosial-politik dalam masyarakat. Seorang budak Ibrani dapat menjadi seorang merdeka di tahun ketujuh. Bahkan Allah melarang mereka untuk menindas dan menekan orang asing. Ia menyatakan kepada bangsa Israel, “kamu pun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir” (Keluaran 22:21).

Sekalipun Allah menjadi kesal atas keinginan Israel untuk memiliki seorang raja, namun sebelumnya Ia telah mengantisipasi hal tersebut. Hal ini terlihat nyata dalam Ulangan 17:14-20. Ia memberikan sebuah hukum tentang raja kepada Musa, kalau-kalau Israel meminta seorang raja.

Pengangkatan seorang raja atas Israel membawa dampak akan hadirnya kelas-kelas yang berbeda dalam masyarakat yang kemudian hari menjadi sama dengan bangsa-bangsa lain di sekitarnya. Muncul dinasti raja, kelompok bangsawan, saudagar, rakyat biasa bahkan budak-budak. Sesuatu yang sesungguhnya tidak dikehendaki oleh Allah.

Dari sebuah bangsa yang theokratis, Israel berubah menjadi bangsa yang otokratis. Raja memiliki kekuasaan yang tak terbatas. Dapat dikatakan, inilah awal kehancuran Israel.

Ketika Yesus hadir di bumi, ia memiliki banyak murid. Ada setidaknya dua kejadian di mana ribuan orang mengikut Dia. Dari sekian banyak, Ia memilih duabelas orang untuk menjadi rasul-rasulNya (Yun.: apostoloi), yaitu orang-orang utusanNya. Yesus telah menetapkan bahwa pola kepemimpinan yang harus diterapkan para rasul adalah pemimpin yang melayani. Pemimpin pelayan.

Ia menyatakan: “barangsiapa hendak menjadi pemimpin hendaklah ia menjadi pelayan” (Matius 23:11), di mana sebelumnya, Ia juga mengatakan: “Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias” (Matius 23:10).

Ketika Yesus hendak naik ke sorga, Ia terlebih dahulu menunjuk Petrus untuk menggantikan posisiNya sebagai pelayan para pengikutNya. Ia berkata, “Gembalakanlah domba-dombaKu” kepada Petrus. Ia tidak menyatakan: “Pimpinlah domba-dombaKu”, tetapi “gembalakanlah”.

Pengangkatan Petrus jelas sebuah theokrasi; penunjukan langsung oleh Tuhan tanpa disertai persidangan. Tuhan tidak menanyakan pendapat rasul-rasulNya yang lain. Kisah Para Rasul mencatat bagaimana jemaat mula-mula hidup. Banyak di antara mereka yang menjual harta-benda mereka dan membagikannya kepada yang berkekurangan, sehingga keadaannya menjadi seperti yang Paulus katakan: “Orang yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan" (2 Korintus 8:15) mengutip dari Keluaran 16:18.

Pemilihan pengganti Yudas Iskariot bukan menggunakan cara-cara persidangan atau rapat, tetapi undi. Ini adalah metode yang sudah lama digunakan oleh para imam dalam menentukan suatu pilihan. Memang jemaat memberikan dua orang calon. Namun pemilihannya diserahkan kepada Tuhan karena mereka percaya undi yang menggunakan dua buah batu, yaitu urim dan tumim, merupakan sarana Tuhan menunjukkan kehendakNya.

Ketika para rasul memiliki tanggung jawab yang semakin besar dan tidak lagi dapat dipikul, mereka menyerahkan kepada jemaat untuk memilih tujuh orang diaken. Para rasul tidak turut campur dalam pemilihan tersebut. Jemaat memilih ketujuh orang tersebut berdasarkan kriteria penuh iman dan Roh Kudus. Dalam kejadian ini, nuansa demokrasi mulai nampak. Jemaat memilih sendiri, bahkan secara langsung. Jemaat terlibat dalam memilih para pemimpinnya. Namun pemilihan tersebut disertai kriteria-kriteria yang menjadi tolok ukur.

Di sinilah letak perbedaannya. Keduabelas rasul adalah pilihan Tuhan sendiri. Dan kerasulan tidak pernah lagi terulangi dan menjadi hak istimewa keduabelas orang tersebut. Kemudiannya, kerasulan bukan lagi jabatan individual, tetapi disandang oleh gereja yang mewarisi ajaran para rasul.

Namun dalam merintis jemaat, para rasul yang merintis memiliki otoritas untuk memilih para penatua (Yun.: presbuteroi) yang adalah para pemimpin atas jemaat tersebut (Kisah Para Rasul 14:23).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat campuran antara theokrasi dengan demokrasi. Theokrasi dilakukan dengan kesungguhan memohon petunjuk Tuhan tanpa disertai otokrasi dan korupsi, sementara demokrasi dilakukan dengan kepatuhan pada nilai-nilai dan integritas ilahi tanpa disertai intrik-intrik lobi, politik uang dan kekuatan massa, apalagi prostitusi.
(c) Asigor P. Sitanggang

Tidak ada komentar: