Minggu, 24 Mei 2009

Prophet and Prophetism

NABI DAN NUBUAT


Nabi
Kata ‘nabi’ sejajar dengan kata navi di dalam bahasa Ibrani. Asal-mula kita navi telah menjadi perdebatan yang lama. Sebagian mengaitkan akar kata kerja dengan perilaku tidak terkendali seakan-akan seorang navi adalah pribadi yang melulu ekstatis. Dan memang nabi-nabi Kanaan, ekstasi (keadaan tidak sadar atau tidak terkendali dan berada di dalam suasana yang lain seakan-akan berada di dunia lain) adalah ciri khas nabi-nabi Israel. Melalui musik (2 Raj. 3:15), dan dengan tarian (1 Raj. 18:26), mereka mencapai keadaan penuh gairah dan semangat serta dikuasai oleh yang ilahi (Curt Kuhl, The Old Testament: Its Origin and Composition Richmond: John Knoxx Press, 1961, h. 155).
Yang lain mengaitkannya dengan ‘menyembur keluar’ seakan-akan di bawah pengilhaman ilahi. Yang lebih realistis adalah mengaitkannya dengan akar kata bentuk Akkadian nabu yang berarti ‘memanggil,’ ‘mengumumkan’, sehingga navi dengan demikian adalah ‘pembaca pengumuman’(R.K. Harrison, Introduction to Old Testament Grand Rapids: Eerdmans, 1969, h. 742).
Tetapi ada ahli lain, Albright, yang menunjukkan bahwa penafsiran umum navi sebagai ‘pembicara’ tidak tepat, karena navi adalah sosok yang khusus di hadapan Allah. Menurutnya, navi harus ditafsirkan di dalam pengertian pasif, yaitu sebagai seseorang yang dipanggil oleh Allah, dan bukan di dalam pengertian aktif, yaitu sebagai seseorang yang memanggil manusia di dalam Nama Ilahi (Harrison, th.1969, h. 742).
Penggunaan istilah tersebut di dalam Alkitab digambarkan paling nyata di dalam pesan Allah kepada Musa, yiatu pada waktu Musa diumpamakan seperti ‘Allah’ dan Harun digambarkan sebagai ‘penyambung lidah’ (Kel. 4:15-16), dan pada waktu Musa digambarkan sebagai ‘Allah bagi Firaun’ dan ‘Harun’ adalah nabnya’ (Kel. 7:1-2). Di sini jelas bahwa nabi dilukiskan sebagai penyambung lidah Allah (W.S. LaSor et al. Pengantar Perjanjian Lama, Jakarta: BPK GM, 1994, h. 184).
Di dalam bahasa Yunani digunakan istilah profetes, yang pada dasarnya berarti ‘seorang yang berbicara atas nama dewa dan menyampaikan kehendaknya kepada manusia’. Istilah ini berasal dari dua kata, fetes, yang berarti ‘berbicara’, dan pro, yang berarti ‘atas nama’ dan ‘sebelumnya,’ sehingga profetes dapat berarti ‘berbicara atas nama, mengumumkan’ atau ‘mengatakan sebelumnya, atau meramalkan’. Jadi seorang nabi bukan hanya seorang yang memiliki fungsi meramalkan tetapi juga mengumumkan sesuatu. Kedua arti ini terkandung di dalam profetes dan ditemukan di dalam Alkitab (LaSor, 1994, 1: h. 184).
Meskipun orang pertama yang disebut navi di dalam Perjanjian Lama adalah Abraham (Kej. 20:7), kenabian (prophetisme) sedemikian di antara orang-orang Ibrani dapat dikatakan secara sah bermula pada secara historis pada Musa. Musa kemudian menjadi sebuah tolok ukur perbandingan bagi nabi-nabi berikutnya (Ul. 18:15 dst; 34:10). Ini mungkin tidak lebih daripada suatu tindakan pengamanan dasar, karena ternyata istilah Perjanjian Lama navi diterapkan kepada suatu rentang kepribadian yang luas dengan banyak fungsi, yang beragam dari yang primitif hingga yang sangat canggih, termasuk yang bersifat visioner maupun individual dan etis.

Pelihat
Terdapat dua istilah lain yang ditujukan kepada nabi-nabi Ibrani, yaitu ro’eh dan hozeh. Ro’eh adalah bentuk partisif aktif dari kata kerja “melihat” dan secara umum diterjemahkan sebagai “pelihat”. Hozeh adalah bentuk partisif aktif dari kata kerja lain yang juga berarti “melihat” tetapi karena tidak memiliki kesejajaran, di dalam bahasa Inggris tetap diterjemahkan nabi. Di dalam konteks-konteks di mana kedua istilah ini muncul, mereka menyarankan beberapa kesejajaran fungsi-fungsi kenabian, sebagai contoh, 2 Samuel 24:11, di mana nabi Gad adalah pelihat di dalam istana Daud, atau 2 Raja-raja 17:13, di mana nabi dan pelihat secara seimbang bertanggung jawab untuk memperingatkan kedua kerajaan. (Harrison, th.1969, h. 743).
Menurut para ahli, adalah suatu hal yang menyedihkan bahwa tulisan-tulisan kanonis Ibrani tidak menyimpan makna yang menyeluruh dan akurat atas ketiga istilah yang telah disebutkan di atas dalam kaitan dengan kenabian dan keilahian pada masa kuno. Sebelum zaman Samuel utusan ilahi disebut sebagai seorang “manusia Allah” di dalam acuan umum kepada navi, dan selama masa awal kerajaan kedua ungkapan tersebut (navi dan ro’eh) memiliki arti yang sinonim. 1 Samuel 9:9 menunjukkan ada suatu masa di mana navi dan ro’eh adalah dua hal yang berbeda.
Di sepanjang penggunaan Perjanjian Lama, hozeh memiliki arti yang sama dengan ro’eh. Keduanya digunakan di dalam kaitan dengan keilahian (Zak. 10:2; Yeh. 21:21), persepsi akan kejadian-kejadian penting (Mzm. 46:8; Yes. 5:12), pengkajian karakter (1 Sam. 16:1; Mzm. 11:4, 7), penglihatan dari Allah (Mzm. 27:4; Yes. 6:5), kegiatan kenabian secara umum (Yes. 1:1; Yeh. 13:3), dan pembalasan dendam (Mzm. 58:10; 54:7). Dan orang-orang yang diberikan karunia-karunia kenabian atau keilahian diperhadapkan dengan banyak keadaan yang sangat beragam. (Harrison, th.1969, h. 744).
Nubuat adalah bagian penting di dalam peribadahan agama Yahudi kuno terbukti melalui penemuan-penemuan naskah-naskah Ugaritik (naskah-naskah kuno di dalam tulisan Ugarit). Dan karena nabi-nabi adalah orang-orang yang memiliki hubungan khusus dengan Allah, maka tidak aneh jika mereka sering berada di tempat-tempat peribadahan (bukit-bukit pengorbanan). Namun demikian, mereka berbeda dengan imam-imam yang adalah pelayan-pelayan resmi peribadahan, mereka bukanlah pelayan-pelayan resmi yang ditahbiskan (Harrison, th.1969, h. 746).

Hakekat Kenabian
Hakekat inspirasi kenabian bagi banyak ahli telah menjadi perdebatan panjang. Sementara penglihatan-penglihatan, mimpi-mimpi, tindakan-tindakan simbolik, keadaan tidak sadar diri, dan yang sejenisnya telah sering memainkan peranan di dalam membentuk ungkapan khusus yang terekam di dalam teks Kitab Suci, perlu diamati bahwa sang nabi memberikan pengantar atas beritanya dengan pernyataan bahwa itu membentuk suatu ungkapan akan suatu pengalaman pribadi yang langsung akan wahyu ilahi (misalnya Kel. 4:15 dst; 7:1 dst; Yer. 1:9; 23:22; Hos. 1:1, dll.).
Pada banyak kejadian, aktivitas Roh Allah dikaitkan dengan fungsi-fungsi kenabian (Bil. 11:29; 1 Sam. 10:6 dst; 1 Taw. 12:18; 2 Taw. 24:20; Neh. 9:20; Yeh. 11:5; Hos. 9:7; Yl. 2:28 dst), tetapi tanpa suatu konsistensi. Yeremia, sebagai contoh, tidak pernah menyebutkan Roh Allah di dalam kaitan ini. Ini menjadi penting karena ia adalah nabi yang paling menyadari panggilan pelayanannya sebagai nabi, dan ia menyadari bahwa itu berkaitan dengan kendali-kendali batiniah yang tidak dapat kendalikan sama sekali (Harrison, th.1969, h. 751).

Ciri-ciri Nabi
Menurut LaSor, terdapat tiga ciri khas nabi. Ciri yang pertama adalah keadaan ekstase (keadaan di luar kesadaran diri). Ini menjadi ciri utama. Keadaan ekstase ini dapat terjadi secara mendadak dan disertai dengan gerakan-gerakan tubuh yang tidak wajar. Contoh di dalam Perjanjian Lama adalah Raja Saul, ketika ia mendadak dikuasai oleh Roh. Itu sebabnya orang bertanya, “Apa Saul juga termasuk golongan nabi?” (1 Sam. 10:11). Dan Samuel adalah tokoh Alkitab yang menjadi pelopor peralihan masa kekuasaan imam-imam di Silo kepada masa kenabian yang ekstatis (Harrison, thn. 1969, h. 710).
Namun W.R. Smith, seorang ahli Perjanjian Lama, mengatakan hal yang berbeda. Ia mengatakan bahwa Allah berbicara kepada nabi-nabi-Nya tidak dengan proses ajaib atau melalui penglihatan kepada orang gila, tetapi dengan kata-kata yang dapat dimengerti yang ditujukan kepada akal dan hati. Nampaknya kedua hal tersebut terdapat di dalam pemahaman nabi di dalam Alkitab (LaSor et al. 1994, 2: h. 185).
Ciri kedua adalah panggilan. Para nabi yakin bahwa mereka dipanggil secara khusus oleh Allah untuk menyampaikan pesan-pesan Allah. Panggilan ini bersifat obyektif sekaligus subyektif. Obyektif di dalam hal bahwa panggilan tersebut terjadi secara historis dalam kehidupan sang nabi; dan subyektif di dalam hal bahwa Allah melibatkan pikiran dan perasaan individual sang nabi (LaSor et al. 1994: 185).
Ciri terakhir adalah kekudusan. Allah menggunakan orang-orang kudus sebagai nabi-nabi-Nya. Ini adalah suatu kesimpulan tidak langsung. Sebagai contoh, adalah mustahil bila Natan yang menegur Daud karena perzinahannya dengan Batsyeba tetapi tidak menjaga dan mengendalikan hawa nafsunya. Tetapi di sisi yang lain, Alkitab lebih menekankan penyerahan diri sang nabi sejati kepada Allah daripada keunggulan moralnya (LaSor et al. 1994, 2: 186).

Nubuat
Menurut LaSor, secara umum terdapat dua macam pendekatan terhadap nubuat: yang pertama menekankan unsur ramalan, sementara yang kedua menekankan unsur pemberitaan yang diterapkan pada keadaan saat itu. Di dalam Alkitab, kedua unsur tersebut ada.
Apabila ayat-ayat dari kitab-kitab para nabi diambil dan disatukan sehingga membuat ‘nubuat yang membuktikan kebenaran Alkitab’ atau ‘membuktikan Yesus Kristus sudah terdapat di dalam nbuuat,’ maka kita dapat menimbulkan kesan bahwa dalam nubuat ‘sejarah telah ditulis sebelumnya.’ Namun bila kita mempelajari semua kitab itu, konsep ini ternyata tidak ada.
Sesungguhnya setiap nabi dan pemberitaannya menunjukkan bahwa ia benar-benar terlibat dalam peristiwa-peristiwa yang dialami bangsanya sendiri. Ia berbicara tentang raja dan praktek penyembahan berhala, nabi upahan, imam palsu, pedagang dengan neraca palsu, hakim yang berpihak pada orang kaya dan tidak adil kepada orang-orang miskin, perempuan serakah yang mendorong suaminya melakukan hal-hal yang jahat untuk menjadi kaya, dll. Semua hal ini adalah ‘nubuat’ di dalam pengertian Alkitab. Nubuat adalah pesan Allah kepada umat-Nya. Nubuat pada saat yang sama adalah ancaman yang mengandung hukuman sekaligus berita yang berisikan harapan.
Allah tidak hanya memperhatikan masa kini saja. Sejak semula, Ia telah menyusun rencana-Nya bagi manusia dan tidak pernah melupakan tujuan dan pekerjaan-Nya. Ia menyatakan tujuan itu kepada para nabi (Am. 3:7). Karena itu, nubuat bukan hanya merupakan pesan Allah tentang keadaan kini, tetapi juga memperlhatikan bagaimana keadaan itu sesuai dengan rencana-Nya, bagaimana Ia akan memakainya untuk mengadili, memurnikan atau menghibur dan mendorong umat-Nya. Nubuat dengan demikian adalah pesan Allah untuk masa kini dalam terang rencana penyelamatan-Nya yang terus berlangsung. Nubuat yang bersifat ramalan hampir selalu dihubungkan dengan keadaan zaman nabi yang mengucapkannya.
Karena rencana penyelamatan Allah memuncak pada Yesus Kristus, maka segala nubuat menunjuk pada Dia. Dalam arti ini, Ia ‘menggenapi’ nubuat, atau nubuat itu digenapi di dalam Dia. Inilah batasan-batasan yang diambil dari bukti-bukti Alkitab. Oleh karena itu, jabatan, fungsi dan peranan nabi, nubuat dan hal-hal kenabian di masa Gereja sekarang bukan lagi milik orang per orang tetapi milik Gereja secara kolektif.


Bibliografi

Harrison, R.K. Introduction to Old Testament Grand Rapids: Eerdmans, 1969.

Kuhl, Curt The Old Testament: Its Origin and Composition Richmond: John Knoxx Press, 1961.

LaSor W.S. et al. Pengantar Perjanjian Lama, Jakarta: BPK GM, 1994

Tidak ada komentar: