KEMURNIAN HATI
Dari seluruh Alkitab frasa ‘hati yang murni’ muncul hanya enam kali, yaitu Mazmur 24:4, Kisah Rasul 23:1, Kisah Rasul 24:16, 1 Timotius 1:5, 1 Timotius 1:19 dan 2 Timotius 1: 3. Masing-masing memiliki konteksnya sendiri. Kita akan menggabungkan semua pemahaman yang ada tentang hati yang murni dan membuat suatu konsep alkitabiah tentang kemurnian hati atau hati yang murni.
Sebelum membahas konsep tersebut, adalah perlu untuk memahami terminologi kata tersebut. Hati di dalam teks Ibrani adalah lev dan Yunani adalah kardia. Kedua kata tersebut secara harfiah berarti jantung. Tentu kita ingat istilah kardiologi (ilmu kedokteran tentang jantung). Istilah ‘hati’ digunakan penerjemah LAI sebagai terjemahan bebas atas levi dan kardia karena tidak tepat bila diterjemahkan ‘jantung’. Baik lev, kardia maupun heart (Inggris) menunjuk dua hal, yaitu jantung sebagai organ tubuh yang memompa darah sekaligus unsur batiniah manusia. Di dalam hal ini, istilah yang sesuai untuk bahasa Indonesia adalah ‘hati’ dan bukan ‘jantung’.
Dan ‘hati’ atau lev dan kardia ketika digunakan di dalam Alkitab, bila tidak menunjuk kepada organ tubuh manusia, berarti atau digunakan untuk menunjuk kepada manusia seutuhnya. ‘Hati’ adalah suatu ungkapan yang dipergunakan Alkitab untuk mengungkapkan segi hidup manusia yang tidak nampak, yang tersembunyi di belakang yang tampak, yang menjadi asas pribadi manusia. Dengan hatinya manusia dapat mengetahui, dapat mengerti dll. Dengan ungkapan hati ini Alkitab juga menunjuk kepada manusia dalam keseluruhannya (atau keutuhannya) dari segi batin. Hati dengan demikian adalah batin manusia.
Terdapat 24 kata di dalam teks Ibrani (menurut kamus BDB) dan 18 kata di dalam teks Yunani (menurut Thayer) yang berarti atau terkait dengan ‘murni’. Dan dari 42 kata tersebut, secara ringkas kata ‘murni‘ dapat didefinisikan sbb.: “terpisah, bersih, tidak tercampur unsur-unsur lain, tanpa cacat dan noda, tulus, tidak curang, tidak licik, lurus, halal, tanpa pengaruh dosa, bersih secara moral, bersinar, benar, bersih dari kesalahan, bebas dari hukuman, utuh atau sempurna”.
Hati yang murni, dengan demikian secara etimologis adalah batin yang lurus, benar, bermoral dan bersih dari dosa, kejahatan, kecurangan, kelicikan, cacat, noda dan hukuman”. Dan dalam pembahasan ini tentu yang menjadi tolok ukur atau standar adalah Firman Allah, yaitu Allah. Ketika dikatakan lurus, misalnya, ukurannya adalah Firman Allah. Demikian pula dengan benar, moral dan seterusnya.
Apakah gambaran hati yang murni itu?
Gambaran yang lengkap atau utuh mengenai hati yang murni adalah yang diperagakan oleh Yesus Kristus sendiri. Beberapa contoh dapat disebutkan di sini. Misalnya, ketika Ia bertemu dengan wanita yang ketahuan berzina dan pelacur yang sujud di kaki-Nya. Kedua wanita tersebut memiliki dosa-dosa seksual, tetapi Ia menerima mereka dengan tulus bahkan mengampuni mereka. Ketika Yesus Kristus mengobrak-abrik Bait Allah, Ia mengekspresikan amarah tanpa berbuat dosa. Amarah-Nya hanya karena Bait Allah dilecehkan. Ketika Ia bergumul mengenai sengsara yang Ia hadapi, Ia memilih mengikuti kehendak Bapa dan bukan kehendak-Nya sendiri. Ketika Ia disalib, dengan segala kesempatan dan kemampuan yang dapat Ia lakukan, Ia memilih tidak melawan dan mematuhi rencana Bapa atas-Nya.
Bagaimana memiliki hati yang murni?
Untuk dapat memiliki hati yang murni, seseorang harus bertobat terlebih dahulu. Bertobat di sini adalah percaya kepada Yesus Kristus dan karena percaya itu mengalami perubahan pikiran atau orientasi kehidupan secara menyeluruh. Metanoia secara harfiah berarti perubahan pikiran. Dalam konsep alkitabiah, perubahan ini tidak sekadar dari bergerak ke arah kiri berubah menjadi ke arah kanan, tetapi berubah dari dunia menjadi sorga. Yohanes 3:3 menjelaskannya. Seseorang harus dilahirkan kembali. Teks asli Yunani (Yun.: gennethe anothen) berarti dilahirkan dari atas. Ini untuk membedakan dunia bawah, yaitu bumi dengan dunia atas, yaitu sorga. Seseorang haruslah memiliki sorga sebagai orientasi kehidupan untuk dapat memiliki hati yang murni.
Pertobatan ini memberikan perubahan hati (lih. Yeh. 11:19; 36:26). Menurut teks ini, Allah sendiri yang memberikan hati tersebut, yaitu ketika seseorang bertobat. Allah menyediakan hati yang baru.
Namun, di sisi lain, karena setiap orang percaya telah berubah orientasi kehidupan, ia diminta bertanggungjawab untuk mengubah dirinya. Roma 12:1-3 menegaskan hal tersebut. Dan ada penekanan pada pikiran di sini (budi = nous yang berarti pikiran). Berubah di sini tujuannya adalah untuk tidak menjadi sama dengan dunia.
Perubahan ini berlangsung terus-menerus (2 Kor. 4:16), yaitu setiap hari. Dan tujuan perubahan tersebut adalah menjadi serupa dengan Kristus (Rm. 8:29; Rm. 12:2; 2 Kor. 3:18; Flp. 3:8). Menjadi serupa (summorfos: sun, bersama-sama dan morfe, bentuk atau kodrat, hakekat, berarti ‘menjadi sama bentuk, kodrat atau hakekat’) dengan Kristus berarti memiliki hati yang serupa dengan Kristus; memiliki batin yang serupa dengan Kristus.
Minggu, 24 Mei 2009
Bersyukur kepada Tuhan
BERSYUKUR KEPADA TUHAN
1 Tawarikh 16:34
“Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya”
Apakah bersyukur itu? Bersyukur itu sama dengan mengucapkan terima kasih. Bersyukur kepada Tuhan berarti mengucapkan rasa syukur atau terima kasih kepada Tuhan. Ada banyak sekali landasan kita patut bersyukur kepada Tuhan:
1. Dia adalah pencipta kita. Ada orang-orang tertentu menyesal mengapa Tuhan menciptakan dirinya. Ayub adalah salah satu di antara orang-orang tersebut (lih. Ayub 3:3, 10-12, 16). Sebaliknya, kita perlu mengucap syukur kepada Allah karena Ia menciptakan kita. Jika Alkitab mengatakan bahwa burung-burung berkicau memuji Tuhan, maka manusia harus lebih dari burung-burung di dalam mengucap syukur kepada Tuhan. Mengapa? Karena Tuhan menciptakan manusia, dan hanya manusia dan tiada mahluk, segambar dan serupa dengan Allah; karena hanya manusia yang kepadanya diberikan keistimewaan untuk memiliki relasi dengan Allah. Pertanyaan sederhana yang perlu direnungkan adalah, kapan terakhir kali kita bersyukur kepada Allah karena kita adalah manusia dan bukan hewan? Kapankah terakhir kali kita bersyukur atas segala yang dijadikan-Nya? (Lih Mazmur 139: 14 Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya).
2. Allah adalah baik. Ini adalah karakteristik (kepribadian) Allah. Berbicara tentang karakteristik-karakteristik (kepribadian- kepribadian) Allah, tentu bukanlah hal yang temporer, melainkan permanen; bukan juga kondisional tetapi non-kondisional atau tanpa syarat. Kebaikan Allah adalah sebuah kemutlakan dan tidak disyaratkan oleh kondisi atau keadaan apapun, terlebih oleh kondisi atau keadaan sang ciptaan, yaitu manusia. Dengan demikian, apapun keadaan seseorang, Allah adalah baik baginya. Baik atau buruk, senang atau susah, sehat atau sakit, kaya atau miskin, kuat atau lemah, muda atau tua, terhormat atau tidak, mendapat berkat atau laknat (musibah), Allah adalah baik.
3. Allah adalah penyelamat. I Tawarikh 16:35 menyatakan: “Dan katakanlah: "Selamatkanlah kami, ya TUHAN Allah, Penyelamat kami, dan kumpulkanlah dan lepaskanlah kami dari antara bangsa-bangsa, supaya kami bersyukur kepada nama-Mu yang kudus, dan bermegah dalam puji-pujian kepada-Mu.”
Bagaimanakah kita mengucapkan syukur kepada Allah? (Lihat juga Mazmur 106:47).
1. Melalui perkataan atau ucapan bibir. Ibrani 13:15 menyatakan: “Sebab itu marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya”. Perkataan ini menjadi kesaksian hidup bagi orang-orang lain akan Allah (Lih. 2 Sam 22:50).
2. Melalui nyanyian yang memuji dan memuliakan Tuhan. II Tawarikh 5:13 mencatat: “Lalu para peniup nafiri dan para penyanyi itu serentak memperdengarkan paduan suaranya untuk menyanyikan puji-pujian dan syukur kepada TUHAN. Mereka menyaringkan suara dengan nafiri, ceracap dan alat-alat musik sambil memuji TUHAN dengan ucapan: "Sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya." Pada ketika itu rumah itu, yakni rumah TUHAN, dipenuhi awan”.
3. Melalui perbuatan. (Lih. Mzm. 50:23).
Untuk apakah kita mengucapkan syukur?
1. Karena kita menerima warisan sorgawi. Kita dahulu adalah hamba dosa dan sekarang menjadi pewaris Kerajaan Allah (Rm. 6:17). Ibrani 12:28 menyatakan: “Jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut”. Lihat juga Kol 1:12
2. Untuk segala sesuatu yang telah terjadi atas kehidupan kita. I Tesalonika 5:18 menyatakan: “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu”. Lihat juga Kol. 3:17; Ef. 5:20.
3. Untuk menggantikan semua hal, di hati dan perkataan, yang negative (Ef. 5:4). Sekalipun di dalam kesusahan, kecemasan, ketakutan, kekuatiran, dll., mengucap syukur menggantikan semua hal tersebut (Flp 4:6). Pengalaman Paulus dan Silas, rekan sepelayanannya, membuktikan hal tersebut (Kis. 16: 25 dst).
Amin.
1 Tawarikh 16:34
“Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya”
Apakah bersyukur itu? Bersyukur itu sama dengan mengucapkan terima kasih. Bersyukur kepada Tuhan berarti mengucapkan rasa syukur atau terima kasih kepada Tuhan. Ada banyak sekali landasan kita patut bersyukur kepada Tuhan:
1. Dia adalah pencipta kita. Ada orang-orang tertentu menyesal mengapa Tuhan menciptakan dirinya. Ayub adalah salah satu di antara orang-orang tersebut (lih. Ayub 3:3, 10-12, 16). Sebaliknya, kita perlu mengucap syukur kepada Allah karena Ia menciptakan kita. Jika Alkitab mengatakan bahwa burung-burung berkicau memuji Tuhan, maka manusia harus lebih dari burung-burung di dalam mengucap syukur kepada Tuhan. Mengapa? Karena Tuhan menciptakan manusia, dan hanya manusia dan tiada mahluk, segambar dan serupa dengan Allah; karena hanya manusia yang kepadanya diberikan keistimewaan untuk memiliki relasi dengan Allah. Pertanyaan sederhana yang perlu direnungkan adalah, kapan terakhir kali kita bersyukur kepada Allah karena kita adalah manusia dan bukan hewan? Kapankah terakhir kali kita bersyukur atas segala yang dijadikan-Nya? (Lih Mazmur 139: 14 Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya).
2. Allah adalah baik. Ini adalah karakteristik (kepribadian) Allah. Berbicara tentang karakteristik-karakteristik (kepribadian- kepribadian) Allah, tentu bukanlah hal yang temporer, melainkan permanen; bukan juga kondisional tetapi non-kondisional atau tanpa syarat. Kebaikan Allah adalah sebuah kemutlakan dan tidak disyaratkan oleh kondisi atau keadaan apapun, terlebih oleh kondisi atau keadaan sang ciptaan, yaitu manusia. Dengan demikian, apapun keadaan seseorang, Allah adalah baik baginya. Baik atau buruk, senang atau susah, sehat atau sakit, kaya atau miskin, kuat atau lemah, muda atau tua, terhormat atau tidak, mendapat berkat atau laknat (musibah), Allah adalah baik.
3. Allah adalah penyelamat. I Tawarikh 16:35 menyatakan: “Dan katakanlah: "Selamatkanlah kami, ya TUHAN Allah, Penyelamat kami, dan kumpulkanlah dan lepaskanlah kami dari antara bangsa-bangsa, supaya kami bersyukur kepada nama-Mu yang kudus, dan bermegah dalam puji-pujian kepada-Mu.”
Bagaimanakah kita mengucapkan syukur kepada Allah? (Lihat juga Mazmur 106:47).
1. Melalui perkataan atau ucapan bibir. Ibrani 13:15 menyatakan: “Sebab itu marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya”. Perkataan ini menjadi kesaksian hidup bagi orang-orang lain akan Allah (Lih. 2 Sam 22:50).
2. Melalui nyanyian yang memuji dan memuliakan Tuhan. II Tawarikh 5:13 mencatat: “Lalu para peniup nafiri dan para penyanyi itu serentak memperdengarkan paduan suaranya untuk menyanyikan puji-pujian dan syukur kepada TUHAN. Mereka menyaringkan suara dengan nafiri, ceracap dan alat-alat musik sambil memuji TUHAN dengan ucapan: "Sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya." Pada ketika itu rumah itu, yakni rumah TUHAN, dipenuhi awan”.
3. Melalui perbuatan. (Lih. Mzm. 50:23).
Untuk apakah kita mengucapkan syukur?
1. Karena kita menerima warisan sorgawi. Kita dahulu adalah hamba dosa dan sekarang menjadi pewaris Kerajaan Allah (Rm. 6:17). Ibrani 12:28 menyatakan: “Jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut”. Lihat juga Kol 1:12
2. Untuk segala sesuatu yang telah terjadi atas kehidupan kita. I Tesalonika 5:18 menyatakan: “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu”. Lihat juga Kol. 3:17; Ef. 5:20.
3. Untuk menggantikan semua hal, di hati dan perkataan, yang negative (Ef. 5:4). Sekalipun di dalam kesusahan, kecemasan, ketakutan, kekuatiran, dll., mengucap syukur menggantikan semua hal tersebut (Flp 4:6). Pengalaman Paulus dan Silas, rekan sepelayanannya, membuktikan hal tersebut (Kis. 16: 25 dst).
Amin.
Doa dab Tanggung Jawab
PERANAN DOA DAN PERANAN TANGGUNG JAWAB
DI DALAM MENJALANI HIDUP
Pendahuluan
Tentu kita semua sudah tahu tentang doa dan pasti sudah berdoa dengan tekun. Namun tidak keliru bila kita belajar kembali apakah doa secara ringkas. Di dalam teks Ibrani, ada 12 kata yang terkait dan diterjemahkan menjadi doa dan di dalam teks Yunani ada 7 kata.
Secara ringkas mari kita lihat pertama-tama dari teks Ibrani:
1. ba’u berarti petisi atau permintaan;
2. baqash berarti mencari di dalam doa; memohon;
3. darash juga berarti mencari (termasuk mencari Allah);
4. hamah berarti berseru, menjerit;
5. khannoth berarti berbelas kasihan;
6. khalah berarti memelas dalam kesakitan;
7. lakhash berarti berbisik (di dalam doa);
8. maseth berarti mengangkat tangan (seperti di dalam berdoa);
9. athar berarti membakar dupa, bersyafaat bagi orang-orang lain;
10. siyakh dan siykhakh berarti merenung, kontemplasi;
11. takhanun, takhanunah berarti doa yang sungguh-sungguh;
12. tephillah berarti nyanyian doa;
Sekarang mari kita lihat dari teks Yunani:
1. ara berarti doa (yg dinaikkan ke sorga);
2. de’esis berarti permohonan;
3. enteukhis berarti bersyafaat;
4. eukhe berarti sebuah harapan;
5. proseukhe berarti berdoa sungguh-sungguh;
6. proseukhomai berarti menyembah Allah;
7. leiturgeuo berarti mengabdi kepada negara; melayani Kristus baik melalui doa maupun menasehati orang lain tentang keselamatan.
Definisi Doa
Dari kesembilanbelas definisi kata tersebut dengan demikian dapat dipahami apa yang Alkitab ajarkan tentang doa. Paling tidak dapat dibangun definisi doa sbb.:
Doa adalah komunikasi dan percakapan dengan Allah; komunikasi jiwa dengan Allah, bukan hanya di dalam kontemplasi atau meditasi saja tetapi komunikasi langsung dengan Allah. Berdoa berarti mencari Tuhan; mencurahkan jiwa kepada Tuhan; dan mendekat kepada Allah.
Menurut Fausett, bagi orang-orang yang menentang doa (biasanya orang-orang skeptis), setidaknya ada dua argumentasi yang umum diajukan:
1. Manusia tunduk kepada hukum-hukum universal dan general;
2. kuasa predestinasi, hikmat dan kasih Allah membuat doa tidak berguna dan tidak perlu.
Terhadap kedua argumentasi tersebut, responsnya adalah bahwa:
1. hukum-hukum general adalah nama lain untuk kehendak Allah. Ada hukum-hukum yang lebih tinggi dari hukum general. Dan hukum general tunduk kepada hukum yang lebih tinggi tersebut.
2. Manusia diciptakan sebagai agen moral yang bebas menentukan sendiri.
Manusia, sejak jatuh ke dalam dosa, dilahirkan di dalam kelemahan. Kelemahan kita membawa diri kita sendiri kepada kasih, pemeliharaan dan kuasa Allah Bapa. “Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan” (Rm. 8:26).
Relasi Doa dengan Perbuatan
“Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya” (Mt. 6:8). Di sini Tuhan tidak melarang kita meminta kepada-Nya, tetapi Tuhan ingin kita tahu bahwa Bapa mengetahui semua keperluan kita. Ia mengetahui karena Ia mengasihi. Dan yang paling tahu apa yang kita perlukan adalah Allah.
Kita boleh berdoa untuk berkat tertentu, temporer dan rohani tetapi di dalam penundukan akan kehendak Allah bagi diri kita sendiri. “Jadilah kehendak-Mu” (Mt. 6:10) dan “jikalau kita meminta sesuatu kepada-Nya menurut kehendak-Nya” (1 Yoh. 5:14-15) adalah batasan atau limitasinya. Setiap doa yang benar dan sejati berisikan limitasi atau batasan ini. Ia tidak akan berdoa di luar kehendak Allah. Maka Allah kemudian menganugerahkan petisinya atau bahkan yang lebih baik dari itu sehingga tidak ada doa yang sejati yang sia-sia (2 Kor. 12:7-10; Luk. 22:42; Ibr. 5:7).
Dalam hal ini ia juga tahu dan yakin sekali bahwa yang ia kerjakan diberkati oleh Allah. Tetapi jika seseorang tidak yakin apa yang dilakukannya diberkati Allah atau tidak, maka dua hal yang harus direnungkan, (1) apakah ia sudah mempercayakan kehidupannya kepada Allah di dalam Yesus Kristus;(2) apakah ia mengerti kebenaran Firman Allah.
Doa menghasilkan dan menguatkan di dalam pikiran kita ketergantungan kepada Allah, iman dan kasih. Lebih jauh, doa tidak menggantikan kerja dan karya. Berdoa dan bekerja saling melengkapi dan memberikan keseimbangan (contoh: Neh. 4:9).
Dengan demikian, segala sesuatu yang kita jalani di dalam segala aspek kehidupan, kita jalani dengan bekerja dan berkarya semaksimal mungkin. Sebagai contoh, bila seseorang ingin memperoleh nilai yang baik di dalam perkuliahannya, ia harus rajin belajar. Bila ia ingin memperoleh nilai yang bukan hanya baik, tetapi terbaik, ia harus belajar dengan tingkat kerajinan dua kali lipat atau lebih. Bila seseorang ingin meraih karir yang baik, ia harus bekerja giat; bila ia menginginkan karir yang gemilang, ia harus bekerja dengan kerajinan dua kali lipat atau lebih. Ia harus gila-gilaan di dalam belajar atau bekerja.
Demikianlah Amsal menegaskan: “Tangan yang lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin menjadikan kaya” (Ams. 10:4), Adalah tanggung jawabnya untuk belajar rajin, bekerja rajin. Dan juga adalah tanggung jawab setiap orang percaya untuk menjaga kesehatan, untuk berhati-hati di dalam menjalani kehidupan, untuk tidak mencari musuh, untuk hidup di dalam kasih dan menghindari permusuhan, untuk taat kepada hukum, dst.
Tetapi dalam pada itu, ketika ia mempersiapkan dirinya dengan belajar sangat giat, ia juga berdoa dan meminta berkat kepada Allah. Dan ketika ia memperoleh nilai yang baik, atau bahkan yang terbaik, ia bersyukur bahwa itu adalah semata-mata karena berkat Allah. Ia menyadari bahwa berkat tersebut berasal dari Allah semata-mata. Amsal 10:22 menekankan hal tersebut: “Berkat Tuhanlah yang menjadikan kaya, susah payah tidak akan menambahinya”.
Ini menjadi jauh lebih jelas lagi di dalam Perjanjian Baru. Filipi 2:13 menyatakan: “karena Allah-lah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya” (lihat juga Rm. 9:16, 20, 21; Flp. 1:6). Ketiga perikop tersebut hendak menegaskan bahwa semua yang kita miliki, kerjakan dan raih adalah karya Allah di dalam kehidupan kita. Allah yang mengerjakan dari awal, mulai dari kehendak atau kemauan, juga kekuatan (semangat, gairah, persistensi dan konsistensi) untuk melaluinya, kemampuan (teknik, keahlian dan kreativitas) untuk melakukan, bahkan sampai pada pekerjaan (karya, hasil dan buah) yang terselesaikan dengan sempurna. Semua Allah yang mengerjakan di dalam diri kita.
Kesimpulan
Dengan demikian setiap orang percaya akan bertanggungjawab atas semua aspek kehidupannya dan menggarapnya sungguh-sungguh. Tidak ada satu aspekpun di dalam kehidupannya di mana ia tidak bertanggungjawab. Doanya memohon penyertaan dan berkat Tuhan bukan karena ia belum disertai dan diberkati tetapi karena ia meyakini penyertaan dan berkat Tuhan atas kehidupannya. Doa-doanya penuh ucapan syukur, ekspresi kasih kepada Allah dan penyerahan hidup kepada Allah, namun juga pertobatan dan introspeksi diri dengan bercermin pada Kristus. Dan tidak banyak permintaan diajukan di dalam doanya. Dan dengan penuh kerendahan hati, ia hanya mengatakan bahwa semua yang ia alami, kerjakan, miliki dan raih adalah karena Allah mengerjakannya di dalam kehidupannya.
DI DALAM MENJALANI HIDUP
Pendahuluan
Tentu kita semua sudah tahu tentang doa dan pasti sudah berdoa dengan tekun. Namun tidak keliru bila kita belajar kembali apakah doa secara ringkas. Di dalam teks Ibrani, ada 12 kata yang terkait dan diterjemahkan menjadi doa dan di dalam teks Yunani ada 7 kata.
Secara ringkas mari kita lihat pertama-tama dari teks Ibrani:
1. ba’u berarti petisi atau permintaan;
2. baqash berarti mencari di dalam doa; memohon;
3. darash juga berarti mencari (termasuk mencari Allah);
4. hamah berarti berseru, menjerit;
5. khannoth berarti berbelas kasihan;
6. khalah berarti memelas dalam kesakitan;
7. lakhash berarti berbisik (di dalam doa);
8. maseth berarti mengangkat tangan (seperti di dalam berdoa);
9. athar berarti membakar dupa, bersyafaat bagi orang-orang lain;
10. siyakh dan siykhakh berarti merenung, kontemplasi;
11. takhanun, takhanunah berarti doa yang sungguh-sungguh;
12. tephillah berarti nyanyian doa;
Sekarang mari kita lihat dari teks Yunani:
1. ara berarti doa (yg dinaikkan ke sorga);
2. de’esis berarti permohonan;
3. enteukhis berarti bersyafaat;
4. eukhe berarti sebuah harapan;
5. proseukhe berarti berdoa sungguh-sungguh;
6. proseukhomai berarti menyembah Allah;
7. leiturgeuo berarti mengabdi kepada negara; melayani Kristus baik melalui doa maupun menasehati orang lain tentang keselamatan.
Definisi Doa
Dari kesembilanbelas definisi kata tersebut dengan demikian dapat dipahami apa yang Alkitab ajarkan tentang doa. Paling tidak dapat dibangun definisi doa sbb.:
Doa adalah komunikasi dan percakapan dengan Allah; komunikasi jiwa dengan Allah, bukan hanya di dalam kontemplasi atau meditasi saja tetapi komunikasi langsung dengan Allah. Berdoa berarti mencari Tuhan; mencurahkan jiwa kepada Tuhan; dan mendekat kepada Allah.
Menurut Fausett, bagi orang-orang yang menentang doa (biasanya orang-orang skeptis), setidaknya ada dua argumentasi yang umum diajukan:
1. Manusia tunduk kepada hukum-hukum universal dan general;
2. kuasa predestinasi, hikmat dan kasih Allah membuat doa tidak berguna dan tidak perlu.
Terhadap kedua argumentasi tersebut, responsnya adalah bahwa:
1. hukum-hukum general adalah nama lain untuk kehendak Allah. Ada hukum-hukum yang lebih tinggi dari hukum general. Dan hukum general tunduk kepada hukum yang lebih tinggi tersebut.
2. Manusia diciptakan sebagai agen moral yang bebas menentukan sendiri.
Manusia, sejak jatuh ke dalam dosa, dilahirkan di dalam kelemahan. Kelemahan kita membawa diri kita sendiri kepada kasih, pemeliharaan dan kuasa Allah Bapa. “Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan” (Rm. 8:26).
Relasi Doa dengan Perbuatan
“Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya” (Mt. 6:8). Di sini Tuhan tidak melarang kita meminta kepada-Nya, tetapi Tuhan ingin kita tahu bahwa Bapa mengetahui semua keperluan kita. Ia mengetahui karena Ia mengasihi. Dan yang paling tahu apa yang kita perlukan adalah Allah.
Kita boleh berdoa untuk berkat tertentu, temporer dan rohani tetapi di dalam penundukan akan kehendak Allah bagi diri kita sendiri. “Jadilah kehendak-Mu” (Mt. 6:10) dan “jikalau kita meminta sesuatu kepada-Nya menurut kehendak-Nya” (1 Yoh. 5:14-15) adalah batasan atau limitasinya. Setiap doa yang benar dan sejati berisikan limitasi atau batasan ini. Ia tidak akan berdoa di luar kehendak Allah. Maka Allah kemudian menganugerahkan petisinya atau bahkan yang lebih baik dari itu sehingga tidak ada doa yang sejati yang sia-sia (2 Kor. 12:7-10; Luk. 22:42; Ibr. 5:7).
Dalam hal ini ia juga tahu dan yakin sekali bahwa yang ia kerjakan diberkati oleh Allah. Tetapi jika seseorang tidak yakin apa yang dilakukannya diberkati Allah atau tidak, maka dua hal yang harus direnungkan, (1) apakah ia sudah mempercayakan kehidupannya kepada Allah di dalam Yesus Kristus;(2) apakah ia mengerti kebenaran Firman Allah.
Doa menghasilkan dan menguatkan di dalam pikiran kita ketergantungan kepada Allah, iman dan kasih. Lebih jauh, doa tidak menggantikan kerja dan karya. Berdoa dan bekerja saling melengkapi dan memberikan keseimbangan (contoh: Neh. 4:9).
Dengan demikian, segala sesuatu yang kita jalani di dalam segala aspek kehidupan, kita jalani dengan bekerja dan berkarya semaksimal mungkin. Sebagai contoh, bila seseorang ingin memperoleh nilai yang baik di dalam perkuliahannya, ia harus rajin belajar. Bila ia ingin memperoleh nilai yang bukan hanya baik, tetapi terbaik, ia harus belajar dengan tingkat kerajinan dua kali lipat atau lebih. Bila seseorang ingin meraih karir yang baik, ia harus bekerja giat; bila ia menginginkan karir yang gemilang, ia harus bekerja dengan kerajinan dua kali lipat atau lebih. Ia harus gila-gilaan di dalam belajar atau bekerja.
Demikianlah Amsal menegaskan: “Tangan yang lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin menjadikan kaya” (Ams. 10:4), Adalah tanggung jawabnya untuk belajar rajin, bekerja rajin. Dan juga adalah tanggung jawab setiap orang percaya untuk menjaga kesehatan, untuk berhati-hati di dalam menjalani kehidupan, untuk tidak mencari musuh, untuk hidup di dalam kasih dan menghindari permusuhan, untuk taat kepada hukum, dst.
Tetapi dalam pada itu, ketika ia mempersiapkan dirinya dengan belajar sangat giat, ia juga berdoa dan meminta berkat kepada Allah. Dan ketika ia memperoleh nilai yang baik, atau bahkan yang terbaik, ia bersyukur bahwa itu adalah semata-mata karena berkat Allah. Ia menyadari bahwa berkat tersebut berasal dari Allah semata-mata. Amsal 10:22 menekankan hal tersebut: “Berkat Tuhanlah yang menjadikan kaya, susah payah tidak akan menambahinya”.
Ini menjadi jauh lebih jelas lagi di dalam Perjanjian Baru. Filipi 2:13 menyatakan: “karena Allah-lah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya” (lihat juga Rm. 9:16, 20, 21; Flp. 1:6). Ketiga perikop tersebut hendak menegaskan bahwa semua yang kita miliki, kerjakan dan raih adalah karya Allah di dalam kehidupan kita. Allah yang mengerjakan dari awal, mulai dari kehendak atau kemauan, juga kekuatan (semangat, gairah, persistensi dan konsistensi) untuk melaluinya, kemampuan (teknik, keahlian dan kreativitas) untuk melakukan, bahkan sampai pada pekerjaan (karya, hasil dan buah) yang terselesaikan dengan sempurna. Semua Allah yang mengerjakan di dalam diri kita.
Kesimpulan
Dengan demikian setiap orang percaya akan bertanggungjawab atas semua aspek kehidupannya dan menggarapnya sungguh-sungguh. Tidak ada satu aspekpun di dalam kehidupannya di mana ia tidak bertanggungjawab. Doanya memohon penyertaan dan berkat Tuhan bukan karena ia belum disertai dan diberkati tetapi karena ia meyakini penyertaan dan berkat Tuhan atas kehidupannya. Doa-doanya penuh ucapan syukur, ekspresi kasih kepada Allah dan penyerahan hidup kepada Allah, namun juga pertobatan dan introspeksi diri dengan bercermin pada Kristus. Dan tidak banyak permintaan diajukan di dalam doanya. Dan dengan penuh kerendahan hati, ia hanya mengatakan bahwa semua yang ia alami, kerjakan, miliki dan raih adalah karena Allah mengerjakannya di dalam kehidupannya.
Kamis, 24 Juli 2008
DEMOKRASI ATAU THEOKRASI?
Pada suatu ketika, bangsa Israel mendatangi nabi Natan yang telah menjadi tua dan meminta seorang raja. Permintaan ini mengesalkan sang nabi. Tetapi ternyata bukan hanya sang nabi yang dibuat kesal, tetapi Allah. Ia menyatakan: “sebab bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah yang mereka tolak, supaya jangan Aku menjadi raja atas mereka” (1 Samuel 8:7).
Dari perkataan Tuhan tersebut, terlihat nyata sekali bahwa Ia menghendaki sebuah theokrasi. Allah memerintah dan berkuasa sebagai raja.
Dalam sejarah Israel, khususnya ketika mereka keluar dari Mesir, Theokrasi bukanlah suatu gagasan yang abstrak, sebaliknya justru konkrit. Theokrasi telah terwujud melalui kepemimpinan Musa yang dilanjutkan oleh Yosua dan para hakim dan nabi.
Theokrasi dengan demikian sesungguhnya bukanlah sebuah masyarakat tanpa pemimpin. Pemimpin tetap ada. Namun pemimpin memiliki peranan sebagai penyambung lidah Allah; penerus perintah Allah. Dan Kitab Suci mencatat peranan yang sedemikian, di mana para pemimpin tersebut selalu menyampaikan apa yang menjadi titah Allah, Sang Pemimpin yang sesungguhnya. Musa menegaskan: “Bangsa ini datang kepadaku untuk menanyakan petunjuk Allah” (Keluaran 18:15).
Bukan berarti bahwa dengan demikian pemimpin terlepas dari kesalahan, apalagi dari tanggung jawab. Catatan hidup Musa menunjukkan bahwa ia beberapa kali melakukan kesalahan yang membuatnya menerima hukuman dari Allah.
Allah menghendaki Israel menjadi “kerajaan imam dan bangsa yang kudus” bagiNya (Keluaran 19:6). Allah menginginkan Israel menjadi bangsa yang kudus, yaitu dipisahkan dari bangsa-bangsa lain yang serta –merta berbeda dengan bangsa-bangsa lain tersebut. Mereka dipisahkan untuk menjadi kumpulan imam yang membawa dan memimpin bangsa-bangsa lain beribadah kepada Allah.
Bila melihat hubungan antar sesama yang terjadi dan juga dititahkan Allah, maka kehidupan Israel dalam periode waktu ini bersifat egaliter. Yitro mengajurkan pengangkatan pemimpin-pemimpin kepada Musa hanya dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah hukum di antara rakyat Israel, dan bukan dalam rangka membangun strata sosial-politik dalam masyarakat. Seorang budak Ibrani dapat menjadi seorang merdeka di tahun ketujuh. Bahkan Allah melarang mereka untuk menindas dan menekan orang asing. Ia menyatakan kepada bangsa Israel, “kamu pun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir” (Keluaran 22:21).
Sekalipun Allah menjadi kesal atas keinginan Israel untuk memiliki seorang raja, namun sebelumnya Ia telah mengantisipasi hal tersebut. Hal ini terlihat nyata dalam Ulangan 17:14-20. Ia memberikan sebuah hukum tentang raja kepada Musa, kalau-kalau Israel meminta seorang raja.
Pengangkatan seorang raja atas Israel membawa dampak akan hadirnya kelas-kelas yang berbeda dalam masyarakat yang kemudian hari menjadi sama dengan bangsa-bangsa lain di sekitarnya. Muncul dinasti raja, kelompok bangsawan, saudagar, rakyat biasa bahkan budak-budak. Sesuatu yang sesungguhnya tidak dikehendaki oleh Allah.
Dari sebuah bangsa yang theokratis, Israel berubah menjadi bangsa yang otokratis. Raja memiliki kekuasaan yang tak terbatas. Dapat dikatakan, inilah awal kehancuran Israel.
Ketika Yesus hadir di bumi, ia memiliki banyak murid. Ada setidaknya dua kejadian di mana ribuan orang mengikut Dia. Dari sekian banyak, Ia memilih duabelas orang untuk menjadi rasul-rasulNya (Yun.: apostoloi), yaitu orang-orang utusanNya. Yesus telah menetapkan bahwa pola kepemimpinan yang harus diterapkan para rasul adalah pemimpin yang melayani. Pemimpin pelayan.
Ia menyatakan: “barangsiapa hendak menjadi pemimpin hendaklah ia menjadi pelayan” (Matius 23:11), di mana sebelumnya, Ia juga mengatakan: “Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias” (Matius 23:10).
Ketika Yesus hendak naik ke sorga, Ia terlebih dahulu menunjuk Petrus untuk menggantikan posisiNya sebagai pelayan para pengikutNya. Ia berkata, “Gembalakanlah domba-dombaKu” kepada Petrus. Ia tidak menyatakan: “Pimpinlah domba-dombaKu”, tetapi “gembalakanlah”.
Pengangkatan Petrus jelas sebuah theokrasi; penunjukan langsung oleh Tuhan tanpa disertai persidangan. Tuhan tidak menanyakan pendapat rasul-rasulNya yang lain. Kisah Para Rasul mencatat bagaimana jemaat mula-mula hidup. Banyak di antara mereka yang menjual harta-benda mereka dan membagikannya kepada yang berkekurangan, sehingga keadaannya menjadi seperti yang Paulus katakan: “Orang yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan" (2 Korintus 8:15) mengutip dari Keluaran 16:18.
Pemilihan pengganti Yudas Iskariot bukan menggunakan cara-cara persidangan atau rapat, tetapi undi. Ini adalah metode yang sudah lama digunakan oleh para imam dalam menentukan suatu pilihan. Memang jemaat memberikan dua orang calon. Namun pemilihannya diserahkan kepada Tuhan karena mereka percaya undi yang menggunakan dua buah batu, yaitu urim dan tumim, merupakan sarana Tuhan menunjukkan kehendakNya.
Ketika para rasul memiliki tanggung jawab yang semakin besar dan tidak lagi dapat dipikul, mereka menyerahkan kepada jemaat untuk memilih tujuh orang diaken. Para rasul tidak turut campur dalam pemilihan tersebut. Jemaat memilih ketujuh orang tersebut berdasarkan kriteria penuh iman dan Roh Kudus. Dalam kejadian ini, nuansa demokrasi mulai nampak. Jemaat memilih sendiri, bahkan secara langsung. Jemaat terlibat dalam memilih para pemimpinnya. Namun pemilihan tersebut disertai kriteria-kriteria yang menjadi tolok ukur.
Di sinilah letak perbedaannya. Keduabelas rasul adalah pilihan Tuhan sendiri. Dan kerasulan tidak pernah lagi terulangi dan menjadi hak istimewa keduabelas orang tersebut. Kemudiannya, kerasulan bukan lagi jabatan individual, tetapi disandang oleh gereja yang mewarisi ajaran para rasul.
Namun dalam merintis jemaat, para rasul yang merintis memiliki otoritas untuk memilih para penatua (Yun.: presbuteroi) yang adalah para pemimpin atas jemaat tersebut (Kisah Para Rasul 14:23).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat campuran antara theokrasi dengan demokrasi. Theokrasi dilakukan dengan kesungguhan memohon petunjuk Tuhan tanpa disertai otokrasi dan korupsi, sementara demokrasi dilakukan dengan kepatuhan pada nilai-nilai dan integritas ilahi tanpa disertai intrik-intrik lobi, politik uang dan kekuatan massa, apalagi prostitusi.
(c) Asigor P. Sitanggang
Dari perkataan Tuhan tersebut, terlihat nyata sekali bahwa Ia menghendaki sebuah theokrasi. Allah memerintah dan berkuasa sebagai raja.
Dalam sejarah Israel, khususnya ketika mereka keluar dari Mesir, Theokrasi bukanlah suatu gagasan yang abstrak, sebaliknya justru konkrit. Theokrasi telah terwujud melalui kepemimpinan Musa yang dilanjutkan oleh Yosua dan para hakim dan nabi.
Theokrasi dengan demikian sesungguhnya bukanlah sebuah masyarakat tanpa pemimpin. Pemimpin tetap ada. Namun pemimpin memiliki peranan sebagai penyambung lidah Allah; penerus perintah Allah. Dan Kitab Suci mencatat peranan yang sedemikian, di mana para pemimpin tersebut selalu menyampaikan apa yang menjadi titah Allah, Sang Pemimpin yang sesungguhnya. Musa menegaskan: “Bangsa ini datang kepadaku untuk menanyakan petunjuk Allah” (Keluaran 18:15).
Bukan berarti bahwa dengan demikian pemimpin terlepas dari kesalahan, apalagi dari tanggung jawab. Catatan hidup Musa menunjukkan bahwa ia beberapa kali melakukan kesalahan yang membuatnya menerima hukuman dari Allah.
Allah menghendaki Israel menjadi “kerajaan imam dan bangsa yang kudus” bagiNya (Keluaran 19:6). Allah menginginkan Israel menjadi bangsa yang kudus, yaitu dipisahkan dari bangsa-bangsa lain yang serta –merta berbeda dengan bangsa-bangsa lain tersebut. Mereka dipisahkan untuk menjadi kumpulan imam yang membawa dan memimpin bangsa-bangsa lain beribadah kepada Allah.
Bila melihat hubungan antar sesama yang terjadi dan juga dititahkan Allah, maka kehidupan Israel dalam periode waktu ini bersifat egaliter. Yitro mengajurkan pengangkatan pemimpin-pemimpin kepada Musa hanya dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah hukum di antara rakyat Israel, dan bukan dalam rangka membangun strata sosial-politik dalam masyarakat. Seorang budak Ibrani dapat menjadi seorang merdeka di tahun ketujuh. Bahkan Allah melarang mereka untuk menindas dan menekan orang asing. Ia menyatakan kepada bangsa Israel, “kamu pun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir” (Keluaran 22:21).
Sekalipun Allah menjadi kesal atas keinginan Israel untuk memiliki seorang raja, namun sebelumnya Ia telah mengantisipasi hal tersebut. Hal ini terlihat nyata dalam Ulangan 17:14-20. Ia memberikan sebuah hukum tentang raja kepada Musa, kalau-kalau Israel meminta seorang raja.
Pengangkatan seorang raja atas Israel membawa dampak akan hadirnya kelas-kelas yang berbeda dalam masyarakat yang kemudian hari menjadi sama dengan bangsa-bangsa lain di sekitarnya. Muncul dinasti raja, kelompok bangsawan, saudagar, rakyat biasa bahkan budak-budak. Sesuatu yang sesungguhnya tidak dikehendaki oleh Allah.
Dari sebuah bangsa yang theokratis, Israel berubah menjadi bangsa yang otokratis. Raja memiliki kekuasaan yang tak terbatas. Dapat dikatakan, inilah awal kehancuran Israel.
Ketika Yesus hadir di bumi, ia memiliki banyak murid. Ada setidaknya dua kejadian di mana ribuan orang mengikut Dia. Dari sekian banyak, Ia memilih duabelas orang untuk menjadi rasul-rasulNya (Yun.: apostoloi), yaitu orang-orang utusanNya. Yesus telah menetapkan bahwa pola kepemimpinan yang harus diterapkan para rasul adalah pemimpin yang melayani. Pemimpin pelayan.
Ia menyatakan: “barangsiapa hendak menjadi pemimpin hendaklah ia menjadi pelayan” (Matius 23:11), di mana sebelumnya, Ia juga mengatakan: “Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias” (Matius 23:10).
Ketika Yesus hendak naik ke sorga, Ia terlebih dahulu menunjuk Petrus untuk menggantikan posisiNya sebagai pelayan para pengikutNya. Ia berkata, “Gembalakanlah domba-dombaKu” kepada Petrus. Ia tidak menyatakan: “Pimpinlah domba-dombaKu”, tetapi “gembalakanlah”.
Pengangkatan Petrus jelas sebuah theokrasi; penunjukan langsung oleh Tuhan tanpa disertai persidangan. Tuhan tidak menanyakan pendapat rasul-rasulNya yang lain. Kisah Para Rasul mencatat bagaimana jemaat mula-mula hidup. Banyak di antara mereka yang menjual harta-benda mereka dan membagikannya kepada yang berkekurangan, sehingga keadaannya menjadi seperti yang Paulus katakan: “Orang yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan" (2 Korintus 8:15) mengutip dari Keluaran 16:18.
Pemilihan pengganti Yudas Iskariot bukan menggunakan cara-cara persidangan atau rapat, tetapi undi. Ini adalah metode yang sudah lama digunakan oleh para imam dalam menentukan suatu pilihan. Memang jemaat memberikan dua orang calon. Namun pemilihannya diserahkan kepada Tuhan karena mereka percaya undi yang menggunakan dua buah batu, yaitu urim dan tumim, merupakan sarana Tuhan menunjukkan kehendakNya.
Ketika para rasul memiliki tanggung jawab yang semakin besar dan tidak lagi dapat dipikul, mereka menyerahkan kepada jemaat untuk memilih tujuh orang diaken. Para rasul tidak turut campur dalam pemilihan tersebut. Jemaat memilih ketujuh orang tersebut berdasarkan kriteria penuh iman dan Roh Kudus. Dalam kejadian ini, nuansa demokrasi mulai nampak. Jemaat memilih sendiri, bahkan secara langsung. Jemaat terlibat dalam memilih para pemimpinnya. Namun pemilihan tersebut disertai kriteria-kriteria yang menjadi tolok ukur.
Di sinilah letak perbedaannya. Keduabelas rasul adalah pilihan Tuhan sendiri. Dan kerasulan tidak pernah lagi terulangi dan menjadi hak istimewa keduabelas orang tersebut. Kemudiannya, kerasulan bukan lagi jabatan individual, tetapi disandang oleh gereja yang mewarisi ajaran para rasul.
Namun dalam merintis jemaat, para rasul yang merintis memiliki otoritas untuk memilih para penatua (Yun.: presbuteroi) yang adalah para pemimpin atas jemaat tersebut (Kisah Para Rasul 14:23).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat campuran antara theokrasi dengan demokrasi. Theokrasi dilakukan dengan kesungguhan memohon petunjuk Tuhan tanpa disertai otokrasi dan korupsi, sementara demokrasi dilakukan dengan kepatuhan pada nilai-nilai dan integritas ilahi tanpa disertai intrik-intrik lobi, politik uang dan kekuatan massa, apalagi prostitusi.
(c) Asigor P. Sitanggang
Senin, 21 Juli 2008
SIAPAKAH YESUS YANG ANDA KENAL?
Ketika Yesus berada di kampung halamanNya (kota Nazaret) dan memberitakan Injil di sana, sebagian besar umat Yahudi menolak Yesus. Mengapa mereka menolak Yesus?
Terlihat jelas dalam Luk. 4:23 bahwa ketika Yesus berkhotbah di depan mereka, mereka belum melihat Yesus mengadakan mukjizat-mukjizat. Mereka mendengar bahwa di Kapenaum, Yesus mengadakan begitu banyak mukjizat. Karena begitu banyak mukjizat yang terjadi, berita menyebar hingga ke kampung halamanNya. Orang-orang di sana penasaran. Siapa sih orang ini?
Ketika Yesus datang ke Nazaret, setelah dari Kapernaum, Ia berkhotbah di sinagoge. Ia berkhotbah dengan penuh kuasa. Tetapi setelah berkhotbah berapi-api, ternyata mereka mengenali Yesus.
Bukan mengenali Yesus dalam identitas sorgawi dan kekalNya, tetapi di dalam identitas lahiriahNya: Ia anak Yusuf. Mat. 13:55 mengatakan bahwa Ia adalah anak tukang kayu. Dalam Injil Markus lebih jelas lagi, Yesus adalah seorang tukang kayu. Tukang kayu dalam bahasa Yunani adalah tekton, yang memang berarti tukang kayu. Tetapi tukang kayu yang dimaksud adalah seorang buruh kasar. Dalam bahasa Inggris seringkali disebut manual worker: pekerja dengan tangan. Mereka mengenal ibu Yesus, Maria, dan adik-adikNya, Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon dan adik-adik perempuanNya. Karena mereka mengenal Yesus dengan latar belakang lahiriahNya, mereka menolak Yesus.
Hanya karena mereka mengenali latar belakang lahariah Yesus, mereka kecewa dan menolak Yesus. Dalam bahasa Inggris disebut offended, yang berarti terluka. dalam bahasa Yunani digunakan skandalizo. Arti harafiah kata tersebut adalah, menyandungi, membuat orang lain jatuh dalam dosa, dan menjatuhkan.
Bagi banyak orang, keberadaan Yesus menjadi berkat, seperti misalnya, perempuan yang kedapatan berzinah, Maria-Marta, lima ribu orang, empat ribu orang yang diberi makan, dan masih banyak lagi. Bahkan Injil Yohanes katakan tak terbilang perbuatan Yesus. Mengapa Yesus yang sama; pribadi yang sama, keberadaan yang sama dengan kuasa dan otoritas yang sama memberikan hasil yang sangat berbeda, bahkan bertolak belakang?
Jawabannya adalah karena penerimaan yang berbeda, atau bertolak belakang. Mereka, orang-orang Nazaret, kecewa karena mereka memiliki konsep Yesus (baca: Mesias) menurut hati mereka sendiri, bukan menurut apa yang ada pada diri Yesus.
Ketika Yesus datang ke bumi, Ia adalah Allah yang menjadi manusia. Namun bukan sekadar manusia. Manusia yang sangat hina, apalagi bila dibandingkan kemuliaan yang tak terbatas yang Ia miliki dalam kesetaraanNya dengan Allah (Ef. 2:1-8). Ia menjadi manusia yang begitu hina. Ia lahir di kandang, kandang domba. Bukan hanya itu, Ia yang adalah keturunan Daud, lahir di keluarga miskin, dengan seorang ayah tukang kayu. Bahkan Yesus sendiri seorang tukang kayu. Ia dilahirkan dan dibesarkan di daerah miskin. Galilea adalah provinsi yang paling miskin dan buruk. Bukan hanya miskin, bahkan menurut sejarah, Galilea merupakan provinsi yang dicap sebagai sarang penyamun. Namun Ia memilih lahir di sana.
Ketika Ia memberitakan Injil, Ia mendirikan suatu gerakan, yang merupakan gerakan rakyat jelata. Dan saat itu, terdapat banyak gerakan seperti ini. Orang-orang Yahudi menolakNya dan orang-orang Yunani-Romawi mengejekNya. Orang-orang kekaisaran Romawi menganggap Yesus orang gila, penyesat, dan pemberontak. Ajaran-ajaran yang Yesus ajarkan dianggap sesat. Bagi orang-orang percaya saat ini kebangkitan orang mati adalah hal yang wajar, tetapi bagi orang-orang Romawi dan Yunani saat itu, itu merupakan pengajaran yang dipandang menyesatkan. Ketika Yesus menyatakan diri Anak Allah, orang-orang Yahudi menganggap Ia adalah penyesat, nabi palsu, dan berbagai tuduhan lainnya.
Demikian pula ketika murid-murid melanjutkan pemberitaan Injil. Di mana-mana dianggap sesat. Tetapi justru gerakan ini kemudian hari berkembang pesat. Tetapi kini orang-orang percaya mengetahui gambaran yang sebenarnya mengenai gerakan Yesus. Ketika orang-orang bergabung denganNya, yang bergabung adalah orang-orang susah, miskin, papa, dan seterusnya (1 Kor. 1:18-25). Baru sekitar abad ke-4, kekristenan menjadi agama negara, dan banyak orang kaya berlomba menjadi orang Kristen. Inilah tahap awal pembusukan kekristenan.
Saat ini beragam orang menjadi Kristen. Pada zamanNya, banyak orang kecewa, termasuk ribuan orang yang telah kenyang dengan makan makanan mukjizat (lima roti dua ikan untuk 5000 orang laki-laki dewasa), hanya karena ternyata Yesus tidak seperti yang mereka bayangkan dan inginkan.
Siapakah Yesus yang dicari orang-orang percaya? Siapkah orang-orang percaya menerima Yesus, ketika Ia datang dalam kehinaan seperti ketika Ia datang kepada bangsa Israel? Bila orang-orang percaya ada dalam posisi orang-orang Yahudi kala itu, berjumpa dengan Yesus yang lebih banyak diikuti oleh orang-orang miskin, penyakitan dengan bau busuk tubuhnya, mengembara ke mana-mana seakan-akan tidak jelas tujuannya, siapkah orang-orang percaya menerima Dia dalam keadaan seperti itu? Siapkah orang-orang percaya ketika ternyata memang kelimpahan ada padaNya namun juga ada kesengsaraan?
Yesus adalah Juruselamat yang membawa orang-orang percaya kepada Kerajaan Allah; Ia bukan Juruselamat ekonomi dan keuangan. Yesus adalah Allah dan Penguasa, dan bukan pesuruh. Ia bukanlah seorang office boy atau cleaning service yang dapat diperintah sesuka hati.
Banyak orang percaya berharap mereka memperoleh sesuatu ketika mengikut Yesus. Benar memang ada pengharapan, tetapi pengharapan akan kehidupan yang kekal. Bukan kehidupan berlimpah saat ini. Benar ada berkat, tetapi juga ada derita.
Ketika orang-orang percaya mengucapkan Doa Bapa Kami, mereka mengucapkan “datanglah kerajaanMu”. Kapankah sesungguhnya itu datang? Penggenapannya nanti, tetapi sekarang ini, setiap orang percaya harus hidup dalam pola Kerajaan Allah. Semua orang percaya sesungguhnya adalah agen-agen Kerajaan Sorga yang menghadirkan sorga ini ke bumi dan bukan membawa neraka kepada orang-orang lain. Bukan mengocehkannya, tetapi menerapkannya.
Terlihat jelas dalam Luk. 4:23 bahwa ketika Yesus berkhotbah di depan mereka, mereka belum melihat Yesus mengadakan mukjizat-mukjizat. Mereka mendengar bahwa di Kapenaum, Yesus mengadakan begitu banyak mukjizat. Karena begitu banyak mukjizat yang terjadi, berita menyebar hingga ke kampung halamanNya. Orang-orang di sana penasaran. Siapa sih orang ini?
Ketika Yesus datang ke Nazaret, setelah dari Kapernaum, Ia berkhotbah di sinagoge. Ia berkhotbah dengan penuh kuasa. Tetapi setelah berkhotbah berapi-api, ternyata mereka mengenali Yesus.
Bukan mengenali Yesus dalam identitas sorgawi dan kekalNya, tetapi di dalam identitas lahiriahNya: Ia anak Yusuf. Mat. 13:55 mengatakan bahwa Ia adalah anak tukang kayu. Dalam Injil Markus lebih jelas lagi, Yesus adalah seorang tukang kayu. Tukang kayu dalam bahasa Yunani adalah tekton, yang memang berarti tukang kayu. Tetapi tukang kayu yang dimaksud adalah seorang buruh kasar. Dalam bahasa Inggris seringkali disebut manual worker: pekerja dengan tangan. Mereka mengenal ibu Yesus, Maria, dan adik-adikNya, Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon dan adik-adik perempuanNya. Karena mereka mengenal Yesus dengan latar belakang lahiriahNya, mereka menolak Yesus.
Hanya karena mereka mengenali latar belakang lahariah Yesus, mereka kecewa dan menolak Yesus. Dalam bahasa Inggris disebut offended, yang berarti terluka. dalam bahasa Yunani digunakan skandalizo. Arti harafiah kata tersebut adalah, menyandungi, membuat orang lain jatuh dalam dosa, dan menjatuhkan.
Bagi banyak orang, keberadaan Yesus menjadi berkat, seperti misalnya, perempuan yang kedapatan berzinah, Maria-Marta, lima ribu orang, empat ribu orang yang diberi makan, dan masih banyak lagi. Bahkan Injil Yohanes katakan tak terbilang perbuatan Yesus. Mengapa Yesus yang sama; pribadi yang sama, keberadaan yang sama dengan kuasa dan otoritas yang sama memberikan hasil yang sangat berbeda, bahkan bertolak belakang?
Jawabannya adalah karena penerimaan yang berbeda, atau bertolak belakang. Mereka, orang-orang Nazaret, kecewa karena mereka memiliki konsep Yesus (baca: Mesias) menurut hati mereka sendiri, bukan menurut apa yang ada pada diri Yesus.
Ketika Yesus datang ke bumi, Ia adalah Allah yang menjadi manusia. Namun bukan sekadar manusia. Manusia yang sangat hina, apalagi bila dibandingkan kemuliaan yang tak terbatas yang Ia miliki dalam kesetaraanNya dengan Allah (Ef. 2:1-8). Ia menjadi manusia yang begitu hina. Ia lahir di kandang, kandang domba. Bukan hanya itu, Ia yang adalah keturunan Daud, lahir di keluarga miskin, dengan seorang ayah tukang kayu. Bahkan Yesus sendiri seorang tukang kayu. Ia dilahirkan dan dibesarkan di daerah miskin. Galilea adalah provinsi yang paling miskin dan buruk. Bukan hanya miskin, bahkan menurut sejarah, Galilea merupakan provinsi yang dicap sebagai sarang penyamun. Namun Ia memilih lahir di sana.
Ketika Ia memberitakan Injil, Ia mendirikan suatu gerakan, yang merupakan gerakan rakyat jelata. Dan saat itu, terdapat banyak gerakan seperti ini. Orang-orang Yahudi menolakNya dan orang-orang Yunani-Romawi mengejekNya. Orang-orang kekaisaran Romawi menganggap Yesus orang gila, penyesat, dan pemberontak. Ajaran-ajaran yang Yesus ajarkan dianggap sesat. Bagi orang-orang percaya saat ini kebangkitan orang mati adalah hal yang wajar, tetapi bagi orang-orang Romawi dan Yunani saat itu, itu merupakan pengajaran yang dipandang menyesatkan. Ketika Yesus menyatakan diri Anak Allah, orang-orang Yahudi menganggap Ia adalah penyesat, nabi palsu, dan berbagai tuduhan lainnya.
Demikian pula ketika murid-murid melanjutkan pemberitaan Injil. Di mana-mana dianggap sesat. Tetapi justru gerakan ini kemudian hari berkembang pesat. Tetapi kini orang-orang percaya mengetahui gambaran yang sebenarnya mengenai gerakan Yesus. Ketika orang-orang bergabung denganNya, yang bergabung adalah orang-orang susah, miskin, papa, dan seterusnya (1 Kor. 1:18-25). Baru sekitar abad ke-4, kekristenan menjadi agama negara, dan banyak orang kaya berlomba menjadi orang Kristen. Inilah tahap awal pembusukan kekristenan.
Saat ini beragam orang menjadi Kristen. Pada zamanNya, banyak orang kecewa, termasuk ribuan orang yang telah kenyang dengan makan makanan mukjizat (lima roti dua ikan untuk 5000 orang laki-laki dewasa), hanya karena ternyata Yesus tidak seperti yang mereka bayangkan dan inginkan.
Siapakah Yesus yang dicari orang-orang percaya? Siapkah orang-orang percaya menerima Yesus, ketika Ia datang dalam kehinaan seperti ketika Ia datang kepada bangsa Israel? Bila orang-orang percaya ada dalam posisi orang-orang Yahudi kala itu, berjumpa dengan Yesus yang lebih banyak diikuti oleh orang-orang miskin, penyakitan dengan bau busuk tubuhnya, mengembara ke mana-mana seakan-akan tidak jelas tujuannya, siapkah orang-orang percaya menerima Dia dalam keadaan seperti itu? Siapkah orang-orang percaya ketika ternyata memang kelimpahan ada padaNya namun juga ada kesengsaraan?
Yesus adalah Juruselamat yang membawa orang-orang percaya kepada Kerajaan Allah; Ia bukan Juruselamat ekonomi dan keuangan. Yesus adalah Allah dan Penguasa, dan bukan pesuruh. Ia bukanlah seorang office boy atau cleaning service yang dapat diperintah sesuka hati.
Banyak orang percaya berharap mereka memperoleh sesuatu ketika mengikut Yesus. Benar memang ada pengharapan, tetapi pengharapan akan kehidupan yang kekal. Bukan kehidupan berlimpah saat ini. Benar ada berkat, tetapi juga ada derita.
Ketika orang-orang percaya mengucapkan Doa Bapa Kami, mereka mengucapkan “datanglah kerajaanMu”. Kapankah sesungguhnya itu datang? Penggenapannya nanti, tetapi sekarang ini, setiap orang percaya harus hidup dalam pola Kerajaan Allah. Semua orang percaya sesungguhnya adalah agen-agen Kerajaan Sorga yang menghadirkan sorga ini ke bumi dan bukan membawa neraka kepada orang-orang lain. Bukan mengocehkannya, tetapi menerapkannya.
Minggu, 20 Juli 2008
KOMPROMI ATAU TRANSFORMASI?
Kristus telah menebus semua hutang kita dan memakukan surat hutang tersebut di kayu salib. Kematian Kristus ini membebaskan kita, orang yang menerima anugerahNya, dari semua roh yang ada di dalam dunia ini. Setiap orang percaya telah merdeka dari ikatan dengan roh-roh dunia. Dengan demikian ia tidak perlu lagi menundukkan diri kepada roh-roh dunia. Roh-roh dunia ini termanifestasi dalam berbagai macam peraturan duniawi yang menyelusup dalam bentuk-bentuk keagamaan yang berbau atau bernuansa Kristiani, padahal sejati-jatinya tidak demikian.
Paulus menyatakan bahwa ketika kita ditebus oleh Kristus, sesungguhnya kita telah mati bersama Dia, dan dengan demikian tidak hidup lagi di dalam dunia. Tidak hidup lagi dalam dunia bukan dalam pengertian bahwa kita semua kemudian bunuh diri. Ataupun kita orang percaya harus menjadi eksentrik, eksklusif atau mengucilkan diri dari komunitas ataupun lingkungan. Bukan demikian pemahaman alkitabiah yang benar.
Bila melihat teks aslinya, maka terjemahan yang lebih tepat untuk ayat 20a adalah sbb.: “bila kamu telah mati bersama Kristus dari unsur-unsur dunia ini” Dalam teks asli tidak ada kata bebas, sebaliknya dalam teks Indonesia tidak ada kata unsur-unsur (Yun.: stoikeion). Dalam teks ini kata yang digunakan untuk mati (Yun.: apothnesko) bukanlah kata figuratif atau kata yang bermakna konotatif (samaran/bukan arti yang sebenarnya), melainkan mati secara harafiah, seperti matinya tubuh manusia.
Jelas maknanya adalah bahwa orang yang telah ditebus oleh Tuhan Yesus haruslah tidak dapat dirangsang, digoda atau dirayu sama sekali oleh unsur-unsur dunia. Mengapa? Karena ia sudah mati terhadap unsur-unsur tersebut. Seperti halnya orang mati tidak mungkin ia bereaksi terhadap apapun yang dilakukan orang-orang lain terhadap dirinya. Bila dia dipukul, dijotos, dijewer, dll., ia tidak akan bereaksi. Ya, karena ia sudah mati. Demikianlah bila kita mati terhadap unsur-unsur dunia ini. Kita sama sekali tidak memberikan respons terhadap rangsangan, godaan dan rayuan dunia.
Bila kita telah mati bersama Kristus terhadap unsur-unsur dunia, maka sesungguhnya kita tidak boleh bahkan tidak bisa lagi hidup di dunia. Maksudnya tentu dalam pengertian bahwa kita tidak lagi hidup dengan gaya, cara dan arah seperti sebelumnya ketika kita masih hidup dalam kesia-siaan, dalam keduniawian, dan dalam keegoisan, dengan semua sifat dunia. Cara hidup kita tidak lagi seperti umumnya orang di dunia hidup. Cara hidup kita bercorak sorgawi, dan panutannya adalah seperti Kristus hidup di muka bumi ini. Bagaimana Ia hidup di bumi ini, demikianlah sepatutnya kita hidup.
Oleh karena itu, setiap orang percaya tidak perlu lagi menundukkan diri pada berbagai macam aturan dunia. Aturan dunia yang dimaksud adalah aturan-aturan yang berkaitan dengan hal-hal yang “rohani”, bahkan seakan-akan bernuansa atau berwarna Kristiani, padahal sebetulnya tidak sama sekali.
Dalam perikop ini, Paulus memberikan contoh, seperti: jangan pegang ini, jangan makan ini, jangan sentuh itu. Aturan-aturan, atau lebih tepatnya, larangan-larangan (ada juga yang berupa perintah-perintah) ini, bukan sekadar aturan, tetapi diberikan muatan rohani atau Kristiani di dalamnya. Sementara Alkitab tidak mengajarkan demikian. Tetapi diupayakan dasar-dasar Alkitab untuk mendukungnya.
Pada zaman Paulus, ada banyak pengajar Kristen yang masih dipengaruhi oleh Yudaisme (agama Yahudi), yang dipenuhi oleh berbagai macam aturan. Namun banyak juga pengajar Kristen yang dipengaruhi oleh agama-agama kafir yang sebagian, mirip dengan Yudaisme, penuh dengan peraturan-peraturan untuk dapat mencapai sorga atau untuk menghadap Tuhan. Bagi Paulus, semua peraturan tersebut, yang tidak alkitabiah, hanya membuat jemaat terbelenggu dan itu berasal dari roh-roh dunia.
Perlu diperhatikan di sini, bahwa roh-roh jahat bukan hanya dan bukan terutama terwujud di dalam ikatan-ikatan yang harus diusir dan ditengking melalui pelayanan pelepasan. Bagi Paulus ternyata bahwa lebih berbahaya konsep-konsep yang menguasai dan diyakini Gereja tetapi tidak alkitabiah yang berasal dari roh-roh dunia, daripada roh-roh yang mengikat dan harus diusir.
Di dalam dunia modern, terdapat banyak contoh sederhana: Gereja aliran tertentu selalu mengadakan penantian sepuluh hari menjelang hari Pentakosta untuk mendapatkan pencurahan Roh Kudus.
Banyak pendeta dan/atau gereja yang melarang makan makanan tertentu, atau minum minuman tertentu. Sebuah gereja bahkan melarang minum fanta atau cocacola. Ada yang melarang wanita memakai pakaian pria, termasuk celana panjang.
Roh nenek moyang dapat diinjili, sehingga opung, eyang, engkong, opa, yang belum sempat jadi Kristen, ketika diinjili, dapat menjadi Kristen. Ridicule.
Gereja terlalu permisif atau kompromistik dengan adat istiadat, sehingga cenderung sinkretistik. Banyak bentuk adat yang masih mewarisi penyembahan dinamisme dan animisme tetapi ditolerir begitu saja. Gereja tidak boleh anti adat-istiadat, tetapi sebaliknya Gereja juga tidak boleh tunduk dan takluk kepada adat-istiadat. Gereja -seperti dikatakan oleh John Calvin- harus mentransformasi budaya, termasuk ada-istiadat di dalamnya.
Gereja cenderung bersikap rasisme atau rasialisme atau setidaknya memiliki kecenderungan berpihak pada etnis-etnis tertentu. padahal Alkitab sendiri sudah katakan bahwa tidak ada lagi orang ‘jauh’ dan orang ‘dekat’, tidak ada lagi Yahudi atau Yunani, semuanya telah menjadi satu karena Kristus.
Ada gereja yang bersifat nasional, tetapi kesukuannya terlalu kental. Ini terlihat dari namanya. Salah satu cabangnya ada di Papua, tetapi masih menggunakan nama gereja suku tertentu di wilayah barat Indonesia. Bahkan ketika membuka cabang di New York, masih mengunakan nama suku tertentu tersebut.
Belum lagi gereja yang namanya di bagian akhir ada nama negara yang menunjukkan sifat nasionalitasnya, justru terjebak pada isu pri-dan-nonpri. Padahal, bila melihat Matius 5:5: “Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi,” maka semua orang percaya yang lemah lembut adalah pribumi dan tidak ada yang non-pri.. Bahkan mereka yang dianiaya karena Kristus adalah prisorga seperti dikatakan Mat. 5:10: “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga”. Oleh karena itu, hilangkan kebiasaan menekankan pri dan non pri, karena semua orang percaya yang lemah lembut dan siap menderita bagi Kristus adalah pribumi dan prisorga. Yang perlu ditekankan adalah bersediakah Gereja menjadi lemah lembut dan menderita bagi Kristus?
Belum lagi penekanan yang sangat berlebihan yang diberikan pada satu sisi Kekristenan, seperti minyak urapan, perjamuan kudus, karunia-karunia, bahasa lidah, pembesaran gereja atas nama penginjilan padahal hanya merebut domba-domba Gereja lain, dan berbagai peraturan lainnya. Semua penekanan yang menjadi ‘peraturan’ –tetulis ataupun tidak tertulis– sangat membahayakan Gereja Tuhan itu sendiri dan menjadi agen-agen pembusukan dan pengkafiran Gereja.
Kekristenan adalah agama roh. Artinya, sesungguhnya Kekristenan tidak memiliki ritus-ritus atau ritual-ritual dan berbagai macam aturan tidak boleh begini dan tidak boleh begitu atau harus begini dan harus begitu, yang kalau tidak dilakukan akan membuat seseorang masuk neraka dan tidak bisa masuk sorga. Menurut Paulus sendiri, seperti yang tercantum dalam Kolose 2:20-23, larangan-larangan atau perintah-perintah itu, atau berbagai aturan dan sikap yang diperankan Gereja, adalah rupa-rupa peraturan dunia yang merupakan perwujudan dari roh-roh dunia. Sementara, setiap orang percaya telah mati atas roh-roh dunia.
Bahkan, ketika Tuhan Yesus memerintahkan untuk Gereja melakukan baptisan dan perjamuan, yang merupakan sakramen Kristen, muatan yang terkandung di dalamnya tidak lebih hanya bersifat simbolik. Sebagai contoh, baptisan. Baptisan adalah suatu tindakan simbolik di mana pelakunya melambangkan dirinya mati bersama Kristus terhadap dosa untuk bangkit bersama-sama Yesus di dalam kemuliaan (lihat Rm. 4:1-6). Bila melihat hakekat baptisan pada ayat yang disebutkan di atas, maka yang berarti bukanlah baptisannya, melainkan mati terhadap dosa dan hidup dalam Kristus. Bila seorang Kristen telah dibaptis namun tidak sungguh-sungguh sudah mati terhadap dosa dan hidup dalam Kristus, maka baptisan tersebut tidak ada gunanya sama sekali.
Yang dikembangkan di dalam kehidupan orang-orang percaya adalah manusia batiniahnya; bagaimana orang-orang percaya hidup dalam tuntunan Roh Kudus dan FirmanNya; bagaimana orang-orang percaya semakin serupa dengan Kristus sesuai kesaksian Alkitab. Menjadi serupa dengan Kristus. Imitatio Christi. Itulah tujuan hidup kita. Dan inilah visi Gereja. (c) Asigor P. Sitanggang
Paulus menyatakan bahwa ketika kita ditebus oleh Kristus, sesungguhnya kita telah mati bersama Dia, dan dengan demikian tidak hidup lagi di dalam dunia. Tidak hidup lagi dalam dunia bukan dalam pengertian bahwa kita semua kemudian bunuh diri. Ataupun kita orang percaya harus menjadi eksentrik, eksklusif atau mengucilkan diri dari komunitas ataupun lingkungan. Bukan demikian pemahaman alkitabiah yang benar.
Bila melihat teks aslinya, maka terjemahan yang lebih tepat untuk ayat 20a adalah sbb.: “bila kamu telah mati bersama Kristus dari unsur-unsur dunia ini” Dalam teks asli tidak ada kata bebas, sebaliknya dalam teks Indonesia tidak ada kata unsur-unsur (Yun.: stoikeion). Dalam teks ini kata yang digunakan untuk mati (Yun.: apothnesko) bukanlah kata figuratif atau kata yang bermakna konotatif (samaran/bukan arti yang sebenarnya), melainkan mati secara harafiah, seperti matinya tubuh manusia.
Jelas maknanya adalah bahwa orang yang telah ditebus oleh Tuhan Yesus haruslah tidak dapat dirangsang, digoda atau dirayu sama sekali oleh unsur-unsur dunia. Mengapa? Karena ia sudah mati terhadap unsur-unsur tersebut. Seperti halnya orang mati tidak mungkin ia bereaksi terhadap apapun yang dilakukan orang-orang lain terhadap dirinya. Bila dia dipukul, dijotos, dijewer, dll., ia tidak akan bereaksi. Ya, karena ia sudah mati. Demikianlah bila kita mati terhadap unsur-unsur dunia ini. Kita sama sekali tidak memberikan respons terhadap rangsangan, godaan dan rayuan dunia.
Bila kita telah mati bersama Kristus terhadap unsur-unsur dunia, maka sesungguhnya kita tidak boleh bahkan tidak bisa lagi hidup di dunia. Maksudnya tentu dalam pengertian bahwa kita tidak lagi hidup dengan gaya, cara dan arah seperti sebelumnya ketika kita masih hidup dalam kesia-siaan, dalam keduniawian, dan dalam keegoisan, dengan semua sifat dunia. Cara hidup kita tidak lagi seperti umumnya orang di dunia hidup. Cara hidup kita bercorak sorgawi, dan panutannya adalah seperti Kristus hidup di muka bumi ini. Bagaimana Ia hidup di bumi ini, demikianlah sepatutnya kita hidup.
Oleh karena itu, setiap orang percaya tidak perlu lagi menundukkan diri pada berbagai macam aturan dunia. Aturan dunia yang dimaksud adalah aturan-aturan yang berkaitan dengan hal-hal yang “rohani”, bahkan seakan-akan bernuansa atau berwarna Kristiani, padahal sebetulnya tidak sama sekali.
Dalam perikop ini, Paulus memberikan contoh, seperti: jangan pegang ini, jangan makan ini, jangan sentuh itu. Aturan-aturan, atau lebih tepatnya, larangan-larangan (ada juga yang berupa perintah-perintah) ini, bukan sekadar aturan, tetapi diberikan muatan rohani atau Kristiani di dalamnya. Sementara Alkitab tidak mengajarkan demikian. Tetapi diupayakan dasar-dasar Alkitab untuk mendukungnya.
Pada zaman Paulus, ada banyak pengajar Kristen yang masih dipengaruhi oleh Yudaisme (agama Yahudi), yang dipenuhi oleh berbagai macam aturan. Namun banyak juga pengajar Kristen yang dipengaruhi oleh agama-agama kafir yang sebagian, mirip dengan Yudaisme, penuh dengan peraturan-peraturan untuk dapat mencapai sorga atau untuk menghadap Tuhan. Bagi Paulus, semua peraturan tersebut, yang tidak alkitabiah, hanya membuat jemaat terbelenggu dan itu berasal dari roh-roh dunia.
Perlu diperhatikan di sini, bahwa roh-roh jahat bukan hanya dan bukan terutama terwujud di dalam ikatan-ikatan yang harus diusir dan ditengking melalui pelayanan pelepasan. Bagi Paulus ternyata bahwa lebih berbahaya konsep-konsep yang menguasai dan diyakini Gereja tetapi tidak alkitabiah yang berasal dari roh-roh dunia, daripada roh-roh yang mengikat dan harus diusir.
Di dalam dunia modern, terdapat banyak contoh sederhana: Gereja aliran tertentu selalu mengadakan penantian sepuluh hari menjelang hari Pentakosta untuk mendapatkan pencurahan Roh Kudus.
Banyak pendeta dan/atau gereja yang melarang makan makanan tertentu, atau minum minuman tertentu. Sebuah gereja bahkan melarang minum fanta atau cocacola. Ada yang melarang wanita memakai pakaian pria, termasuk celana panjang.
Roh nenek moyang dapat diinjili, sehingga opung, eyang, engkong, opa, yang belum sempat jadi Kristen, ketika diinjili, dapat menjadi Kristen. Ridicule.
Gereja terlalu permisif atau kompromistik dengan adat istiadat, sehingga cenderung sinkretistik. Banyak bentuk adat yang masih mewarisi penyembahan dinamisme dan animisme tetapi ditolerir begitu saja. Gereja tidak boleh anti adat-istiadat, tetapi sebaliknya Gereja juga tidak boleh tunduk dan takluk kepada adat-istiadat. Gereja -seperti dikatakan oleh John Calvin- harus mentransformasi budaya, termasuk ada-istiadat di dalamnya.
Gereja cenderung bersikap rasisme atau rasialisme atau setidaknya memiliki kecenderungan berpihak pada etnis-etnis tertentu. padahal Alkitab sendiri sudah katakan bahwa tidak ada lagi orang ‘jauh’ dan orang ‘dekat’, tidak ada lagi Yahudi atau Yunani, semuanya telah menjadi satu karena Kristus.
Ada gereja yang bersifat nasional, tetapi kesukuannya terlalu kental. Ini terlihat dari namanya. Salah satu cabangnya ada di Papua, tetapi masih menggunakan nama gereja suku tertentu di wilayah barat Indonesia. Bahkan ketika membuka cabang di New York, masih mengunakan nama suku tertentu tersebut.
Belum lagi gereja yang namanya di bagian akhir ada nama negara yang menunjukkan sifat nasionalitasnya, justru terjebak pada isu pri-dan-nonpri. Padahal, bila melihat Matius 5:5: “Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi,” maka semua orang percaya yang lemah lembut adalah pribumi dan tidak ada yang non-pri.. Bahkan mereka yang dianiaya karena Kristus adalah prisorga seperti dikatakan Mat. 5:10: “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga”. Oleh karena itu, hilangkan kebiasaan menekankan pri dan non pri, karena semua orang percaya yang lemah lembut dan siap menderita bagi Kristus adalah pribumi dan prisorga. Yang perlu ditekankan adalah bersediakah Gereja menjadi lemah lembut dan menderita bagi Kristus?
Belum lagi penekanan yang sangat berlebihan yang diberikan pada satu sisi Kekristenan, seperti minyak urapan, perjamuan kudus, karunia-karunia, bahasa lidah, pembesaran gereja atas nama penginjilan padahal hanya merebut domba-domba Gereja lain, dan berbagai peraturan lainnya. Semua penekanan yang menjadi ‘peraturan’ –tetulis ataupun tidak tertulis– sangat membahayakan Gereja Tuhan itu sendiri dan menjadi agen-agen pembusukan dan pengkafiran Gereja.
Kekristenan adalah agama roh. Artinya, sesungguhnya Kekristenan tidak memiliki ritus-ritus atau ritual-ritual dan berbagai macam aturan tidak boleh begini dan tidak boleh begitu atau harus begini dan harus begitu, yang kalau tidak dilakukan akan membuat seseorang masuk neraka dan tidak bisa masuk sorga. Menurut Paulus sendiri, seperti yang tercantum dalam Kolose 2:20-23, larangan-larangan atau perintah-perintah itu, atau berbagai aturan dan sikap yang diperankan Gereja, adalah rupa-rupa peraturan dunia yang merupakan perwujudan dari roh-roh dunia. Sementara, setiap orang percaya telah mati atas roh-roh dunia.
Bahkan, ketika Tuhan Yesus memerintahkan untuk Gereja melakukan baptisan dan perjamuan, yang merupakan sakramen Kristen, muatan yang terkandung di dalamnya tidak lebih hanya bersifat simbolik. Sebagai contoh, baptisan. Baptisan adalah suatu tindakan simbolik di mana pelakunya melambangkan dirinya mati bersama Kristus terhadap dosa untuk bangkit bersama-sama Yesus di dalam kemuliaan (lihat Rm. 4:1-6). Bila melihat hakekat baptisan pada ayat yang disebutkan di atas, maka yang berarti bukanlah baptisannya, melainkan mati terhadap dosa dan hidup dalam Kristus. Bila seorang Kristen telah dibaptis namun tidak sungguh-sungguh sudah mati terhadap dosa dan hidup dalam Kristus, maka baptisan tersebut tidak ada gunanya sama sekali.
Yang dikembangkan di dalam kehidupan orang-orang percaya adalah manusia batiniahnya; bagaimana orang-orang percaya hidup dalam tuntunan Roh Kudus dan FirmanNya; bagaimana orang-orang percaya semakin serupa dengan Kristus sesuai kesaksian Alkitab. Menjadi serupa dengan Kristus. Imitatio Christi. Itulah tujuan hidup kita. Dan inilah visi Gereja. (c) Asigor P. Sitanggang
MENJADI MANUSIA
Seorang filsuf Yunani, Plato, mengatakan bahwa manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jiwa dan tubuh. Jiwa lebih tinggi dari tubuh. Tubuh menjadi penjara bagi jiwa. Untuk itu manusia harus banyak melakukan meditasi untuk mati raga sehingga hidupnya dikendalikan oleh jiwanya.
Muridnya, Aristoteles, mengatakan bahwa manusia adalah mahluk atau binatang yang berakal (animal rationale). Yang membedakannya dengan hewan hanyalah ia memiliki rasio. Selebihnya, ia tidak berbeda dengan binatang. Walaupun ini tidak sesuai dengan pemberitaan Kitab Suci, namun sekarang ini nyata sekali bahwa manusia seringkali tidak lebih dari binatang! Ayah memperkosa anak kandungnya. Anak memperkosa ibu kandungnya. Manusia begitu mudah mencabut nyawa sesamanya. Seorang wakil rakyat meminta pelacur sebagai salah satu bentuk gratifikasi. Dan masih banyak lagi.
Manusia seperti singa yang ketika terancam akan segera memberikan perlawanan atau pembalasan, di mana prinsipnya adalah to kill or to be killed (membunuh atau dibunuh). Lucunya, di Gereja, seringkali jemaat, bahkan pelayan jemaat, juga memiliki prinsip seperti ini.
Betapa seringnya manusia menjelekkan sesamanya (dalam bentuk gosip, fitnah, hujatan, dll.). Betapa seringnya ia bergembira atas kesusahan dan penderitaan orang-orang lain. Bukankah ini serupa dengan prinsip di atas? Mungkin ia tidak membunuh atau dibunuh secara fisik, tetapi secara karakter. Namun tetap itu merupakan suatu peragaan nafsu binatang.
Tidaklah seluruhnya keliru bila kemudian, pikiran yang tidak dikendalikan oleh firman Tuhan yang dimiliki Charles Darwin kemudian menyatakan bahwa manusia berasal dari kera. Jangan-jangan manusia lebih rendah dari kera. Pernahkah ada dalam berita, seorang anak kera membunuh induk kera? Pernahkah ada kera yang membalak hutan? Pernahkah ada kera mengeksploitasi alam?
Dalam Kejadian 1:26-27, diceritakan bahwa ketika Allah menciptakan manusia, Ia menciptakan dengan suatu metode yang sangat berbeda dengan metode yang Ia gunakan untuk menciptakan semua ciptaanNya yang lain. Ketika Ia menciptakan alam semesta, Ia hanya menyatakan: “Jadilah terang,” “Jadilah cakrawala,” “Jadilah …,” maka semua itu jadi! Dengan hanya mengucapkannya, semuanya itu terjadi. Bahkan ada seseorang secara berkelakar, menyatakan seandainya Allah tidur beristirahat, dan dalam tidurNya Ia berkata, “jadilah A atau jadilah B,” maka semua itu tetap terjadi.
Tetapi ketika Ia menciptakan manusia, Ia mengadakan kesepakatan terlebih dahulu dalam persidangan ilahi Allah Tritunggal. Ingatlah perkataan: “Baiklah Kita menjadikan manusia …” (Kej 1:26 – cetak miring tambahan penulis). Kemudian Ia menciptakan suatu cetak biru (blue print - meminjam istilah modern) manusia, yaitu segambar (Ibr.: tselem; Yun. eikon; Lat.: imago) dan serupa (Ibr.: demuth; Yun. homoiosis; Lat.: similitudo) dengan Allah.
Setelah itu, Ia membuat tubuh manusia dari debu tanah dan mendesainnya dengan kedua belah tanganNya sendiri dengan indahnya sehingga secara fisik gambar dan rupa itu dapat tertampilkan. Ketika dikatakan bahwa Allah membentuk tubuh manusia (Ing.: to carve), maka terdapat nilai seni di sana dan menunjukkan betapa Allah sangat menyayangi ciptaanNya yang khusus ini.
Terakhir, tetapi bukan yang terkecil, Ia menghembuskan nafas (Ibr.: neshama) kehidupan kepada manusia sehingga memiliki roh (Ibr.: ruakh) dan menjadi mahluk yang hidup (Ibr. nefesh). Allah menghendaki roh ini menjadi line komunikasi Allah dengan manusia.
Jadi manusia adalah gambar dan rupa Allah yang memiliki nafas hidup atau roh yang berasal dari Allah. Namun, ketika manusia jatuh ke dalam dosa, gambar dan rupa itu, meskipun masih ada, telah menjadi rusak. Kedatangan Kristus ke bumi disertai kematian dan kebangkitanNya, membuat setiap orang yang percaya kepadaNya memperoleh pemulihan gambar dan rupa Allah dalam suatu proses terus-menerus dijadikan segambar dan serupa dengan Allah.
Ketiga kondisi tersebutlah (cetak biru, metode penciptaan dan pemberian nafas hidup) yang membedakan manusia dengan binatang menurut Alkitab. Bila Charles Darwin mengatakan bahwa manusia adalah keturunan kera, biarlah itu hanya untuk nenek moyang Darwin saja. Jelas sekali perbedaan antara manusia dengan hewan.
R. Soedarmo dalam buku dogmatikanya menjelaskan perbedaan dasar manusia dan hewan. Hewan memang memiliki pengetahuan, tetapi ia tidak memiliki akal budi. Ia mungkin memiliki seni, tetapi tidak berbudaya. Ia mungkin berkumpul, tetapi tidak mampu bersekutu. Yang paling membedakan adalah ia tidak hidup dalam kasih dan tidak mengenal serta bersekutu dengan Tuhan.
Menurut kesaksian Injil dan pengakuan iman kita, Yesus adalah sekaligus Allah dan manusia. Bila hendak melihat Allah, lihatlah Yesus. Bila ingin melihat manusia yang sejati, lihatlah Yesus. Dalam hidupNya di bumi, Ia memiliki hubungan yang sejati dengan Allah dan dengan sesamaNya manusia. Dengan demikian manusia hanya menjadi manusia yang sejati jikalau ia memiliki dua hubungan tersebut, yaitu hubungan yang intim dengan Allah sekaligus hubungan yang karib dengan sesamanya manusia. Dan manusia dipanggil untuk memulihkan gambar dan rupa Allah yang telah rusak tersebut. Panggilan tersebut diwujudkan untuk tidak lagi hidup dalam nafsu binatang, tetapi sebagai manusia sebagaimana selayaknya.(C) Asigor Sitanggang.
Muridnya, Aristoteles, mengatakan bahwa manusia adalah mahluk atau binatang yang berakal (animal rationale). Yang membedakannya dengan hewan hanyalah ia memiliki rasio. Selebihnya, ia tidak berbeda dengan binatang. Walaupun ini tidak sesuai dengan pemberitaan Kitab Suci, namun sekarang ini nyata sekali bahwa manusia seringkali tidak lebih dari binatang! Ayah memperkosa anak kandungnya. Anak memperkosa ibu kandungnya. Manusia begitu mudah mencabut nyawa sesamanya. Seorang wakil rakyat meminta pelacur sebagai salah satu bentuk gratifikasi. Dan masih banyak lagi.
Manusia seperti singa yang ketika terancam akan segera memberikan perlawanan atau pembalasan, di mana prinsipnya adalah to kill or to be killed (membunuh atau dibunuh). Lucunya, di Gereja, seringkali jemaat, bahkan pelayan jemaat, juga memiliki prinsip seperti ini.
Betapa seringnya manusia menjelekkan sesamanya (dalam bentuk gosip, fitnah, hujatan, dll.). Betapa seringnya ia bergembira atas kesusahan dan penderitaan orang-orang lain. Bukankah ini serupa dengan prinsip di atas? Mungkin ia tidak membunuh atau dibunuh secara fisik, tetapi secara karakter. Namun tetap itu merupakan suatu peragaan nafsu binatang.
Tidaklah seluruhnya keliru bila kemudian, pikiran yang tidak dikendalikan oleh firman Tuhan yang dimiliki Charles Darwin kemudian menyatakan bahwa manusia berasal dari kera. Jangan-jangan manusia lebih rendah dari kera. Pernahkah ada dalam berita, seorang anak kera membunuh induk kera? Pernahkah ada kera yang membalak hutan? Pernahkah ada kera mengeksploitasi alam?
Dalam Kejadian 1:26-27, diceritakan bahwa ketika Allah menciptakan manusia, Ia menciptakan dengan suatu metode yang sangat berbeda dengan metode yang Ia gunakan untuk menciptakan semua ciptaanNya yang lain. Ketika Ia menciptakan alam semesta, Ia hanya menyatakan: “Jadilah terang,” “Jadilah cakrawala,” “Jadilah …,” maka semua itu jadi! Dengan hanya mengucapkannya, semuanya itu terjadi. Bahkan ada seseorang secara berkelakar, menyatakan seandainya Allah tidur beristirahat, dan dalam tidurNya Ia berkata, “jadilah A atau jadilah B,” maka semua itu tetap terjadi.
Tetapi ketika Ia menciptakan manusia, Ia mengadakan kesepakatan terlebih dahulu dalam persidangan ilahi Allah Tritunggal. Ingatlah perkataan: “Baiklah Kita menjadikan manusia …” (Kej 1:26 – cetak miring tambahan penulis). Kemudian Ia menciptakan suatu cetak biru (blue print - meminjam istilah modern) manusia, yaitu segambar (Ibr.: tselem; Yun. eikon; Lat.: imago) dan serupa (Ibr.: demuth; Yun. homoiosis; Lat.: similitudo) dengan Allah.
Setelah itu, Ia membuat tubuh manusia dari debu tanah dan mendesainnya dengan kedua belah tanganNya sendiri dengan indahnya sehingga secara fisik gambar dan rupa itu dapat tertampilkan. Ketika dikatakan bahwa Allah membentuk tubuh manusia (Ing.: to carve), maka terdapat nilai seni di sana dan menunjukkan betapa Allah sangat menyayangi ciptaanNya yang khusus ini.
Terakhir, tetapi bukan yang terkecil, Ia menghembuskan nafas (Ibr.: neshama) kehidupan kepada manusia sehingga memiliki roh (Ibr.: ruakh) dan menjadi mahluk yang hidup (Ibr. nefesh). Allah menghendaki roh ini menjadi line komunikasi Allah dengan manusia.
Jadi manusia adalah gambar dan rupa Allah yang memiliki nafas hidup atau roh yang berasal dari Allah. Namun, ketika manusia jatuh ke dalam dosa, gambar dan rupa itu, meskipun masih ada, telah menjadi rusak. Kedatangan Kristus ke bumi disertai kematian dan kebangkitanNya, membuat setiap orang yang percaya kepadaNya memperoleh pemulihan gambar dan rupa Allah dalam suatu proses terus-menerus dijadikan segambar dan serupa dengan Allah.
Ketiga kondisi tersebutlah (cetak biru, metode penciptaan dan pemberian nafas hidup) yang membedakan manusia dengan binatang menurut Alkitab. Bila Charles Darwin mengatakan bahwa manusia adalah keturunan kera, biarlah itu hanya untuk nenek moyang Darwin saja. Jelas sekali perbedaan antara manusia dengan hewan.
R. Soedarmo dalam buku dogmatikanya menjelaskan perbedaan dasar manusia dan hewan. Hewan memang memiliki pengetahuan, tetapi ia tidak memiliki akal budi. Ia mungkin memiliki seni, tetapi tidak berbudaya. Ia mungkin berkumpul, tetapi tidak mampu bersekutu. Yang paling membedakan adalah ia tidak hidup dalam kasih dan tidak mengenal serta bersekutu dengan Tuhan.
Menurut kesaksian Injil dan pengakuan iman kita, Yesus adalah sekaligus Allah dan manusia. Bila hendak melihat Allah, lihatlah Yesus. Bila ingin melihat manusia yang sejati, lihatlah Yesus. Dalam hidupNya di bumi, Ia memiliki hubungan yang sejati dengan Allah dan dengan sesamaNya manusia. Dengan demikian manusia hanya menjadi manusia yang sejati jikalau ia memiliki dua hubungan tersebut, yaitu hubungan yang intim dengan Allah sekaligus hubungan yang karib dengan sesamanya manusia. Dan manusia dipanggil untuk memulihkan gambar dan rupa Allah yang telah rusak tersebut. Panggilan tersebut diwujudkan untuk tidak lagi hidup dalam nafsu binatang, tetapi sebagai manusia sebagaimana selayaknya.(C) Asigor Sitanggang.
Langganan:
Postingan (Atom)